SolilokuiVeritas

Reformasi Fiskal Sekarang Juga

Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa negara dengan APBN ribuan triliun rupiah tidak mampu melindungi rakyatnya yang paling lemah? Jawaban pahitnya: pemasukan negara dibajak oligarki, belanja negara diboroskan pejabat, sementara utang ditumpuk tanpa tanggung jawab.

Oleh     :  Rahmat Mulyana*

JERNIH– Nama Affan Kurniawan kini menjadi simbol luka bangsa. Ia seorang anak muda, driver ojek online, yang setiap hari menyusuri jalanan demi menafkahi keluarga.

Namun hidupnya berakhir tragis. Ia wafat dalam kondisi tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan sosial, tanpa kehadiran negara bahkan terbunuh oleh alat negara.

Affan bukan satu-satunya. Jutaan pekerja gig economy—ojek online, kurir, content creator, pekerja lepas digital—menjadi tulang punggung ekonomi baru Indonesia.  Mereka menghidupkan aplikasi, mendukung logistik, dan mengisi ruang digital. Namun ironisnya, mereka justru hidup paling rentan. Tidak ada jaminan kecelakaan, tidak ada pensiun, bahkan jaminan kesehatan pun sering harus ditanggung sendiri.

Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa negara dengan APBN ribuan triliun rupiah tidak mampu melindungi rakyatnya yang paling lemah? Jawaban pahitnya: pemasukan negara dibajak oligarki, belanja negara diboroskan pejabat, sementara utang ditumpuk tanpa tanggung jawab.

                           ***

Penerimaan Negara: Pajak Rakyat, Diskon Oligarki

Indonesia sesungguhnya bukan tanpa uang. Penerimaan negara dari pajak mencapai ribuan triliun setiap tahun. Namun yang terjadi adalah ketidakadilan dalam distribusinya.

Konglomerat besar, terutama penguasa tambang, migas, dan perkebunan, kerap menikmati tax holiday dan berbagai insentif fiskal. Transfer pricing, penghindaran pajak, hingga permainan laporan keuangan membuat penerimaan negara dari kelompok ini jauh di bawah potensi.

Sebaliknya, rakyat kecil dan UMKM justru menjadi objek utama. Setiap pembelian makanan, bensin, pulsa, hingga listrik, selalu ada pajak yang mereka bayar. Pekerja bergaji tetap dipotong pajak penghasilan langsung. Dengan kata lain, rakyat menanggung beban fiskal paling berat, sementara para konglomerat dan oligarki menikmati kelonggaran.

                           ***

Belanja Negara: Boros, Konsumtif, Anti-Rakyat

Jika penerimaan negara sudah timpang, belanja negara lebih menyakitkan lagi. Sebagian besar APBN dihabiskan untuk hal-hal konsumtif, bukan produktif.

Tunjangan DPR dan pejabat negara bisa mencapai miliaran rupiah per bulan bila dihitung fasilitas, rumah dinas, mobil dinas, perjalanan luar negeri, dan tunjangan kesehatan premium.

Anggaran Polri melonjak tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir, sebagian besar untuk menjaga privilege, bukan memperkuat pelayanan publik.  Sementara itu, belanja untuk pendidikan, kesehatan, riset, dan perlindungan sosial stagnan.

 Program-program yang seharusnya menyentuh rakyat justru dikorbankan. Bahkan program dengan niat baik, seperti makan bergizi gratis, justru berpotensi membebani gaji guru dan dosen. Akibatnya, perlindungan sosial makin tipis, sementara rakyat terus dibebani pajak dan biaya hidup.

                                    ***

Utang: Dari Instrumen Fiskal ke Kerusakan Moral

Lebih parah lagi, negara menjadikan utang sebagai candu pembangunan semu. Setiap tahun, pemerintah menerbitkan surat utang baru, seolah-olah tidak ada hari esok.

Kini, beban bunga utang saja sudah mencapai Rp 500 triliun per tahun—angka fantastis yang porsinya sangat besar dibandingkan penerimaan negara. Artinya, ratusan triliun dari pajak rakyat hanya habis untuk membayar bunga, bukan membiayai sekolah, rumah sakit, atau perlindungan sosial.

Utang yang terus menumpuk ini bukan hanya masalah teknis fiskal. Ia adalah kerusakan moral. Sebab, elite politik menikmati manfaat jangka pendek, sementara beban diwariskan ke generasi mendatang.  Anak-anak yang hari ini masih duduk di bangku sekolah akan tumbuh dewasa sambil menanggung tagihan utang yang tidak pernah mereka pilih.

Lebih buruk lagi, utang tidak hanya ada di APBN. Ada utang terselubung yang ditanggung BUMN. BUMN karya dipaksa menggarap proyek mercusuar dengan skema pinjaman jumbo. Ketika gagal bayar, akhirnya negara turun tangan menyelamatkan dengan dana APBN.

Contoh paling nyata adalah Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC). Proyek ini awalnya dijanjikan tanpa dana APBN. Faktanya, biaya bengkak puluhan triliun, pembiayaan kacau, dan kini jadi beban negara.  Proyek-proyek semacam ini adalah utang bayangan yang tidak masuk neraca resmi, tetapi tetap harus ditanggung rakyat.

                                    ***

Dampak pada Rakyat

Akumulasi semua persoalan ini menghantam rakyat kecil secara langsung. Gig workers tetap bekerja tanpa perlindungan sosial.  Kelas menengah terus diperas pajak, sementara harga energi dan pangan tak kunjung stabil. Rakyat miskin tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena bantuan sosial bocor oleh korupsi dan patronase politik.

Generasi muda lebih parah lagi: mereka dipaksa menanggung utang masa lalu, padahal mereka bahkan tidak ikut memilih kebijakan yang melahirkan utang tersebut. Inilah yang disebut pengkhianatan antargenerasi.

                                    ***

Prinsip Reformasi Fiskal Baru

Untuk keluar dari situasi ini, Indonesia membutuhkan reformasi fiskal menyeluruh. Prinsipnya jelas:

1.       Adil. Pajak harus progresif. Beban utama ditanggung konglomerat SDA, penguasa rente, dan pemilik modal besar, bukan pekerja kecil dan UMKM.

2.      Produktif. Belanja negara dialihkan untuk melindungi rakyat: pendidikan, kesehatan, riset, energi bersih, dan perlindungan sosial.

3.      Transparan. APBN dan utang negara harus terbuka, termasuk utang terselubung di BUMN. Audit independen wajib dilakukan.

4.      Meritokratis. Jabatan fiskal strategis diisi pakar berintegritas, bukan kerabat politik.

5.      Bertanggung Jawab Antargenerasi. Hentikan pola gali lubang tutup lubang. Utang hanya boleh jika benar-benar produktif dan memberi nilai tambah jangka panjang.

                                    **

Agenda Kebijakan Konkret

Reformasi fiskal tidak boleh berhenti di prinsip. Ada langkah nyata yang harus dilakukan segera:

1.       Reformasi Penerimaan.

o       Terapkan pajak progresif untuk SDA dan konglomerat.

o       Pajak digital bagi platform raksasa seperti Google, Meta, Grab, Gojek.

o       Gunakan teknologi blockchain untuk melawan penghindaran pajak.

2.      Reformasi Belanja.

o       Pangkas tunjangan jumbo DPR dan pejabat tinggi.

o       Audit dan potong anggaran Polri yang tidak produktif.

o       Moratorium proyek mercusuar sampai fiskal sehat.

o       Arahkan anggaran ke pendidikan, kesehatan, dan riset.

3.      Reformasi Subsidi.

o       Ubah subsid menjadi bantuan langsung tunai digital untuk 40% rakyat terbawah tanpa dikotori motif politik

o       Skema asuransi pekerja informal dan gig workers dengan sharing APBN.

4.      Transparansi Utang.

o       Publikasikan total utang negara plus utang terselubung BUMN.

o       Audit independen proyek KCIC dan BUMN karya.

o       Pisahkan utang produktif (energi, pendidikan, kesehatan) dari utang konsumtif (proyek politik).

                                    ***

Dari Tragedi Affan Menuju APBN untuk Rakyat

Wafatnya Affan Kurniawan harus menjadi wake-up call bagi bangsa. Ia bukan sekadar korban takdir, melainkan korban negara yang abai. Ia mewakili jutaan rakyat pekerja yang setiap hari menyumbang tenaga, tetapi tidak pernah mendapat perlindungan.

Kerusakan fiskal bukan hanya soal angka defisit dan utang, tetapi juga soal moral. Kita sedang menyaksikan elite menikmati hasil pembangunan semu, sementara generasi muda diwarisi beban ratusan triliun rupiah bunga utang setiap tahun. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi pengkhianatan pada prinsip keadilan antargenerasi.

Reformasi fiskal harus dimulai sekarang juga. Pajak rakyat tidak boleh lagi jadi bancakan oligarki. Belanja negara tidak boleh lagi menjadi pesta pejabat. Utang tidak boleh lagi diwariskan tanpa tanggung jawab.

APBN harus kembali pada fungsinya: alat untuk melindungi rakyat, bukan memperkaya elite.

Affan Kurniawan mungkin sudah tiada. Namun kisahnya harus menjadi pelita yang menyalakan tekad kita semua: mengubah arah fiskal bangsa agar setiap rupiah kembali ke rakyat. Inilah jalan menuju Indonesia yang benar-benar merdeka—bukan di atas kertas, tapi dalam kehidupan sehari-hari warganya. []

*Pengajar di Tazkia

RM 03/09/2025

Check Also
Close
Back to top button