
Namun jejak paling besarnya ada pada Logos Wacana Ilmu, penerbit yang ia dirikan bersama Azyumardi Azra, Badri Yatim, dan kawan-kawan. Logos bukan sekadar penerbit. Ia adalah rumah gagasan. Melalui Logos, lahir karya-karya yang membuat dunia intelektual Ciputat bergemuruh: menyalakan kilau di jagat keilmuan Indonesia. Ahmad Sanusi adalah direktur utama Logos sepanjang masa. Penjaga rumah gagasan. Pengawal setia denyut intelektual Ciputat.
JERNIH– Saudaraku, Minggu, 31 Agustus 2025, pukul 18.10, seorang penjaga rumah besar Ciputat berpulang ke haribaan-Nya. Namanya Ahmad Sanusi. Aku memanggilnya: Kang Uci. Senior, sahabat, sekaligus guru kami.
Kehadirannya selama ini ibarat bayang yang meneduhkan. Kepergiannya seperti pintu yang mendadak tertutup. Menyisakan keheningan panjang. Membuat airmata mengering.
Ketahuilah. Hampir semua orang di Ciputat berutang budi padanya. Setiap orang punya kisah tentang kebaikannya. Ia hadir di banyak simpul kehidupan mahasiswa: kadang sebagai penggerak, kadang sebagai penolong, kadang sekadar sahabat yang siap menepuk bahu. Pun teman curhat asyik di tengah dompet tipis.
Kang Uci itu bak “pastor”. Penyambung energi tanpa putus. Ia tak pernah lelah membantu. Ya, urusan pemikiran, politik kampus, kaderisasi HMI, sampai soal logistik paling sederhana. Tidak ada tugas yang terlalu kecil baginya. Tidak ada orang yang terlalu sepele untuk diperhatikan.
Namun jejak paling besarnya ada pada Logos Wacana Ilmu, penerbit yang ia dirikan bersama Azyumardi Azra, Badri Yatim, dan kawan-kawan. Logos bukan sekadar penerbit. Ia adalah rumah gagasan. Melalui Logos, lahir karya-karya yang membuat dunia intelektual Ciputat bergemuruh: menyalakan kilau di jagat keilmuan Indonesia. Ahmad Sanusi adalah direktur utama Logos sepanjang masa. Penjaga rumah gagasan. Pengawal setia denyut intelektual Ciputat. Bebas bergerak. Ditemani Mitsubishi Lancer tua dan Vespa sejuta umat. Keren.
Catatlah. Di situlah Islam Mazhab Ciputat menemukan sayapnya: sebuah Islam yang menolak jumud, berani berpikir kritis, terbuka pada ilmu-ilmu modern, namun tetap berakar pada tradisi. Islam yang menyalakan dialog. Menolak eksklusivisme. Mengajarkan keadaban. Islam yang meneguhkan etika: kejujuran, keterbukaan, kesetaraan, tanggung jawab. Islam yang tak berdiam di menara gading. Melainkan hadir di tengah riuh-rendah masyarakat. Menyatukan intelektualitas dengan komitmen kebangsaan. Itulah wajah sejati Mazhab Ciputat: tajam dalam berpikir, luwes dalam bergaul, teguh dalam moral.
Dari rahim gagasan itu, lahirlah nama-nama besar: Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, Mulyadhi Kartanegara, Din Syamsudin, Saiful Mujani, Jamhari Makruf, Masykuri Abdillah, Nadirsyah Hosein, Burhanudin Muhtadi, hingga generasi muda Ciputat hari ini.
Dan Ahmad Sanusi? Ia mungkin bukan orator yang menggelegar. Bukan pula penulis dengan puluhan buku. Tapi ia adalah penjaga rumah itu. Memastikan lampu-lampunya tetap menyala. Pintunya selalu terbuka. Tamu-tamunya disambut dengan kerendahan hati: antusias, ceria, cinta.
Sampai akhir hayatnya, ia tetap setia menjaga. Bahkan di hari-hari terakhir, ada satu hal yang terus ia ingatkan: naskah buku “Arsitek Survei Indonesia: Esai-Esai Politik Saiful Mujani”. Ditulis oleh trio penulis Ciputat: aku sendiri, bersama Asrori S. Karni dan Ilham Khoiri. Kang Uci seakan terobsesi dengan buku itu. Berkali-kali ia mengingatkan agar segera diterbitkan. Bahkan sehari sebelum wafat, ia masih berpesan agar penulisan naskah itu dipastikan selesai. Barangkali inilah wasiat terakhirnya.
Sadarlah. Takdir acap berbicara dengan cara menggetarkan. Pada malam pertama tahlilan, di rumah duka, di hadapan Saiful Mujani dan para sahabat, kabar itu kusampaikan: naskah telah rampung. Sebagian prolog kubacakan. Hadirin bergemuruh. Seakan Ahmad Sanusi, dari rumah abadinya, tersenyum dan berbisik lirih: akhirnya..
Camkanlah. Ketiadaan Ahmad Sanusi bukan sekadar kekosongan seorang pribadi. Kita kehilangan penjaga rumah. Rumah Mazhab Ciputat yang ia rawat dengan kepatuhan seumur hidup.
Benar. Masa depan rumah itu ada di pundak kita. Pertanyaannya: Apakah kita mampu menjaga? Apakah kita sanggup menyalakan lampu-lampunya, membuka pintunya, merawat jiwanya?
Renungkanlah. Ahmad Sanusi telah menunjukkan jalan. Rumah bukanlah sekadar bangunan. Rumah adalah jiwa. Rumah adalah kesetiaan. Rumah adalah api yang dijaga: agar tidak padam. Tetap menghangatkan. Terus memberi terang.
Kini, ia telah kembali ke rumah abadi. Tapi rumah Mazhab Ciputat masih berdiri di sini. Tugas kita hanya satu: jangan biarkan rumah itu gelap.
Karena rumah tanpa penjaga hanyalah dinding dingin.
Tapi rumah dengan jiwa, akan menjadi cahaya.
Dan saudaraku, ingatlah. Cahaya itu tak akan pernah padam. [ ]