SolilokuiVeritas

Renungan Deden Ridwan: Mama Falak, Menjaga Langit di Tengah Badai

Sejarahwan Sartono Kartodirdjo mencatat. Tarekat sering menjadi aktor utama protes rakyat Banten terhadap kolonial Belanda. Benar. Mama Falak memanfaatkan posisi ini: menggabungkan spiritualitas, pendidikan moral, dan kesadaran politik sunyi. Ia membangun komunitas teguh dan disiplin. Mampu menegakkan hak tanpa kekerasan.

JERNIH—Saudaraku,

Di suatu sore awal tahun 2024, aku bertemu seorang ulama ‘alim: wajah teduh, tenang, ramah. Aura kedalaman ilmu dan keluhuran akhlak tampak jelas di wajahnya. Aku datang bersama teman yang dekat dengan lingkar keluarga pesantren. Seorang santri menyapaku, “Tunggu sebentar, Syaikh masih ada tamu.”

Beberapa saat kemudian kami dipersilakan masuk ke bilik tamu lesehan khas rumah kiai. Permadani merah menghiasi lantai. Dinding dipenuhi foto para ulama dan silsilah keluarga. Rak kitab kuning tertata rapi: mengisyaratkan pemilik rumah bukan sembarang orang.

Ya, penghuni rumah itu: Syaikh K.H. Tb. Hakim Agus Fauzan bin Syaikh K.H. Tb. Zaini Dahlan Thahir Falak, cicit Syaikh K.H. Tb. Muhammad Falak Abbas, lebih dikenal dengan nama Mama Falak. Pewaris sah dan pimpinan Pesantren Pagentongan Bogor. Di sore itu, kami mengobrol penuh makna: sejarah, pemikiran, hikmah, dan perjuangan Mama Falak melawan penjajah Kolonial Belanda.

Ketahuilah. Di Pagentongan, nama Mama Falak bergema. Pun mungkin di ufuk lain negeri ini. Sebutan itu bukan sekadar gelar. “Falak” berarti langit, sekaligus ilmu falak–hisab, rukyat, peredaran benda langit–yang dikuasainya. Ilmu itu bukan angka semata. Ia menyelaraskan hati dengan ritme alam semesta. Panggilan “Mama” lahir dari penghormatan: guru sekaligus bapak-ibu spiritual. Menebarkan cahaya di tengah kesulitan dan kegelapan zaman.

Lahir 1842 di Banten. Mama Falak, menapaki pesantren sejak muda. Menimba ilmu hingga ke Makkah. Berguru pada ulama besar seperti Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Abdul Karim. Pulang ke Bogor menyebarkan ilmu, zikir, dan keberanian. Sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Mama Falak membimbing murid dalam zikir, tasawuf, disiplin sosial, dan kesadaran kritis.

Simaklah. Sejarahwan Sartono Kartodirdjo mencatat. Tarekat sering menjadi aktor utama protes rakyat Banten terhadap kolonial Belanda. Benar. Mama Falak memanfaatkan posisi ini: menggabungkan spiritualitas, pendidikan moral, dan kesadaran politik sunyi. Ia membangun komunitas teguh dan disiplin. Mampu menegakkan hak tanpa kekerasan.

Di Pagentongan, rumah kayu kecil menjadi pusat cahaya. Santri menunggu kata guru, sementara tentara kolonial mondar-mandir. Mama Falak menentang semua aturan kolonial yang hendak menghalangi pesantrennya. Menolak izin yang membatasi kebebasan mengajar dan menebar ilmu. Kesetiaan pada iman, ilmu, dan murid jauh lebih berharga daripada pengakuan formal dari penjajah. Sunyi, tenang, kokoh: itulah perlawanan hakiki. Menjiwai sanu-bari Mamak Falak selama berjuang melawan kaum penjajah.

Catatlah. Aku kira, karamah Mama Falak bukan sekadar keajaiban spektakuler. Melainkan keteguhan moral dan konsistensi hidup. Santri tersesat di hutan menemukan jalan pulang seolah dituntun kehadirannya. Rakyat yang kesulitan dibantu tanpa pamrih. Tindakan dan ucapannya selaras. Membentuk vibrasi khas dan kuat: menenangkan sekaligus meneguhkan hati siapapun yang dekat dengannya. Ilmu, iman, dan akhlak menjadi benteng. Doa menjadi senjata ampuh.

Sangat menarik. Pemikiran fenomenal Mama Falak: “ilmu sebagai perlawanan”. Ilmu falak, ilmu agama, dan tasawuf diintegrasikan menjadi kesatuan etika, spiritualitas, dan perlawanan moral. Santri yang memahami kitab dan tasawuf menjadi pembela kebenaran dan akhlak, jauh lebih kuat daripada senjata. Pendidikan menjadi medan revolusi senyap: ilmu sebagai benteng, iman sebagai senjata. Baginya, tasawuf bukan semata gerakan asketis-spiritual. Melainkan pergerakan transformatif: demi memprotes setiap bentuk ketidakadilan dan kezaliman.

Kini, di era post-truth, ketika kebenaran sering diganti narasi dan informasi menyesatkan acapkali menyebar lebih cepat daripada ilmu, kita belajar dari Mama Falak: tetap kokoh pada ilmu, setia pada nilai, menjaga hati di tengah badai. Pesantren Pagentongan tetap menyala: santri menundukkan kepala dalam zikir, nama Mama Falak disebut dalam setiap doa. Cahaya yang ia nyalakan tak pernah padam; bahkan sekarang pun!

Renungkanlah. Apakah kita, generasi sekarang, berani menjaga ilmu, iman, akhlak di tengah arus zaman yang liar? Apakah cukup setia menyalakan lampu sendiri, meski dunia di sekeliling gelap dan riuh?

Mama Falak sudah tiada, tapi cahayanya tetap menempel di langit Bogor. Dari sinilah kita belajar: keberanian, kesetiaan, dan doa konsisten lebih kuat daripada segala bentuk penindasan. Sunyi bisa lebih keras daripada teriakan. Ilmu bisa menjadi perlawanan, dan cinta bisa menjadi meriam.

Seperti tercermin pada obrolan kami di sore itu. Tentu generasi cicitnya, Syaikh Hakim Pagentongan, terus menyalakan api keilmuan dan perjuangan Mama Falak: menjaga langit, meski badai datang silih berganti. Cahaya itu menuntun kita agar tetap waras, sadar berbasiskan tradisi keilmuan, dan berani berdiri tegak di tengah gelombang zaman.

Saudaraku, ingatlah. Langit yang dijaga Mama Falak bukan di atas kepala, tapi di dalam hati.[ ]

Back to top button