
Secara logika, rumah di jalan raya itu selayaknya musnah bersama rumah-rumah yang lain. Namun seorang perempuan yang bertahun-tahun selama hidupnya rumahnya tak pernah tertutup, selalu ringan tangan untuk membantu, juga ringan mulut untuk marah-marah terhadap ketidakbenaran di depan matanya. Kebaikannya membuat warga bersiap dengan segala risiko untuk menyelamatkan rumah yang ditinggalinya
Oleh : Geisz Chalifah.
JERNIH– Memasuki bulan Mei tahun 1998. Demonstrasi semakin memanas, ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto mencapai puncaknya.
Pagi hari saya membaca koran Republika. Berita utamanya adalah 5 mahasiswa menghembuskan nyawa. Pikiran saya langsung mengatakan: ini gongnya. Kejadian tewasnya mahasiswa itu akan menjadi bencana.
Dalam situasi itu anak ketiga saya, hasil labnya positif demam berdarah. Rumah sakit yang selalu menjadi rujukan adalah Harapan Kita. Sejak dari anak pertama, kedua, dan ketiga bila ada masalah selalunya dirawat inap di RS Harapan Kita.
Maka pagi itu, 13 Mei 1998, sehari setelah kejadian tewasnya mahasiswa, saya membawa anak saya itu ke RS Harapan Kita, tanpa berpikir bahwa jalan menuju ke sana dari Bungur Senen akan bermasalah.
Kerusuhan melanda Jakarta dan meluas. Saya menelpon ke rumah Ibu saya agar mereka segera pindah ke rumah saya pribadi. Melalui TV di kamar rumah sakit, saya mengikuti terus kejadian demi kejadian.
Daerah Senen mulai terjadi pembakaran dan merembet ke Jalan Letjen Suprapto. Sekeluarga pasrah dengan apa yang akan terjadi. Ibu dan saudara saya lainnya sudah pindah. Saya agak lega, yang terpenting mereka semua sudah selamat. Bahwa rumah itu akan terbakar atau dijarah, kami semua pasrah.
Rumah-rumah (sekaligus toko) di seberang rumah ibu saya sudah dilahap api. Sebagian massa sudah mulai menimpuki dan menggedor rolling door. Melihat situasi demikian (menurut cerita dari warga kepada saya), mereka secara serempak berjaga di depan rumah itu dan mengusir para penjarah.
Warga di Poncol, tanpa toa, tanpa mikrofon, berteriak lantang: “Ini rumah Umi, jangan kalian ganggu!” Demikian pula para pedagang loak yang berdagang berjejer di sisi rumah ikut begadang menjaga rumah ibu saya itu.
Malam itu, di Letjen Suprapto, ±100 m dari Stasiun Senen, berhadapan antara warga setempat dengan massa yang entah dari mana datangnya.
Almarhum abang saya agak panik, khawatir akan ada pertumpahan darah antara warga yang menjaga rumah dengan massa yang bergerak liar. Dia menjaga rumah sambil berusaha menenangkan warga Poncol.
Kedekatan warga kepada almarhumah ibu saya sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Ibu saya bukan perempuan penyabar, bukan yang tutur katanya halus dan lembut. Melainkan perempuan “galak” yang bila anak-anak muda di belakang rumah itu lagi kumpul malam-malam sambil mabuk, maka dia ambil air dengan ember lalu disiramkan ke mereka.
Bukan pula perempuan yang berpendidikan tinggi, hanya perempuan dengan aksen Betawi pada umumnya, yang bila bicara apa adanya. Namun selalu dan selalunya menjadi tempat bagi warga untuk meminta beras, untuk ikut membantu merayakan pernikahan anaknya. Bahkan ada pula “preman” di situ yang minta ke ibu saya untuk melamar anak perempuan yang ingin dinikahinya. Ibu saya setuju dengan satu syarat: kalau sudah menikah harus cari duit yang halal.
Setelah beberapa malam di rumah sakit, anak saya sudah pulih, situasi sudah lebih tenang. Saya bersama anak itu meninggalkan rumah sakit. Sepanjang jalan terlihat gedung-gedung bekas terbakar. Lalu memasuki Letjen Suprapto persis di depan rumah ibu. Saya menghentikan mobil sejenak, melihat ke seberang jalan: rumah-rumah yang sekaligus toko bagian depannya musnah dilalap api. Saya turun dari mobil, melihat sejenak keadaan rumah ibu saya. Para pedagang loak dan warga menghampiri lalu satu sama lain bercerita:
“Rumah ini aman. Kita jaga semalaman bareng-bareng.” Mereka juga menanyakan kondisi ibu saya, seraya mengatakan: “Bilangin Umi, rumahnya aman, kite jagain rame-rame.”
Saya mengucapkan terima kasih lalu melanjutkan perjalanan untuk kembali ke rumah.
Pelajaran mahal hari itu adalah: bukan kekayaan, bukan kesuksesan, bukan pula keterkenalan. Tapi sedekat apa emosi warga dengan kita secara pribadi.
Secara logika, rumah di jalan raya selayaknya musnah bersama rumah-rumah yang lain. Namun seorang perempuan yang bertahun-tahun selama hidupnya, rumahnya tak pernah tertutup, selalu ringan tangan untuk membantu, juga ringan mulut untuk marah-marah terhadap ketidakbenaran di depan matanya.
Kebaikannya membuat warga bersiap dengan segala risiko untuk menyelamatkan rumah yang ditinggalinya. [ ]