
Demokrasi adalah pasar, di mana masyarakat membeli dan menjual pimpinan. Sialnya, pasar ini buka lima tahun sekali. Sifat pasar akan selalu penuh dengan tipu daya, sehingga kita akan tahu hasilnya akan seperti apa.
Oleh : Kurnia Fajar
JERNIH– Kebanyakan orang memang tidak memahami bagaimana ekonomi bekerja. Dalam ketidakpahamannya, mereka sering mudah ditakut-takuti dan terbawa arus, yang pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri.
Ketika terjadi kenaikan harga barang dan pajak maka nilai mata uang akan turun. Nilai uang Rp10 juta misalnya, jika dulu bisa digunakan untuk konsumsi makan dan rekreasi, bahkan bisa untuk berinvestasi, maka saat ini hanya bisa digunakan untuk makan saja.
Lemahnya daya beli, di sisi lain memang jadi problem. Kalau Anda lihat, semua program mitigasi pemerintah ini pada dasarnya untuk menjaga daya beli ini. Dari Bansos, KUR, subsidi energi sampai dengan pembebasan PPN buat barang-barang tertentu. Ada juga wacana untuk menaikkan daya beli, yakni kenaikan upah atau gaji. Ini pedang bermata dua. Di satu sisi ini jelas meningkatkan daya beli konsumen. Di lain pihak, ini akan menjadi ongkos bagi pengusaha yang bisa menaikkan harga. Mudah-mudahan pemerintah bisa membuat kompromi yang ciamik.
Daya beli masyarakat ini juga tergantung pada ketersediaan lapangan kerja. Kita sudah mendengar PHK terjadi di mana-mana. Artinya, daya beli dipastikan rendah. Yang masih open untuk dijadikan concern itu nilai tukar rupiah. Karena nilai tukar tidak hanya ditentukan ekonomi kita melainkan ekonomi dunia. Kebijakan Fed di USA bikin rupiah melemah terhadap dollar. Entah terkerek sampai berapa. Ini sebenarnya membuat kelas menengah menjerit. Negara itu secara natural perlu mendengarkan orang-orang, yang nantinya akan memlih (kembali) di Pemilu. Jadi harus membuat program mitigasi. Sayangnya, setiap kebijakan negara itu tidak bisa membuat bahagia semua orang. Kalau kelas menengah merasa dirugikan, ya mereka boleh teriak dan memperjuangkan kepentingannya.
Saat tulisan ini dibuat, saya sedang menyaksikan open house yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dari deretan orang-orang yang antre, didominasi masyarakat kelas bawah. Muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah mereka mencintai Dedi Mulyadi? Karena kita tahu dari video-video di dalam channel youtube Dedi Mulyadi banyak berdialog dengan masyarakat. Dedi Mulyadi memberikan bantuan spontan, menyapa, memeluk dan tidak jarang bertangis-tangisan dengan masyarakat yang ditemuinya.
Mungkin bagi yang naif, bisa jadi benar mereka mencintai gubernurnya. Namun bagi saya ini adalah suatu fenomena bahwa masyarakat sudah kehilangan harapan, kehilangan pegangan dan petunjuk. Apapun visual yang terlihat akan disambut dengan penuh antusiasme dan cenderung dikejar. Inilah potret kelas bawah Indonesia. Tak salah jika saya katakan negara telah gagal membawa masyarakat menuju kesejahteraan. Agama yang seharusnya memiliki peranan menjaga nilai-nilai optimisme dan harapan, juga gagal memenuhinya.
Bagaimana dengan kelas menengah? Sama saja. Mereka sekarang mencoba bertahan. Padahal selama ini kelas menengah menjadi basis kekuatan ekonomi Indonesia.
Kemudian juga saya baru saja membaca tulisan M Chatib Basri yang berjudul “Kelas Menengah, dari Zona Nyaman ke Zona Makan” di harian Kompas. Saya mengamini betul apa yang terjadi sekarang ini. Kelas menengah yang ambruk dan kelas bawah yang kehilangan harapan. Demokrasi adalah pasar, di mana masyarakat membeli dan menjual pimpinan. Sialnya, pasar ini buka lima tahun sekali. Di desa malah jadi delapan tahun sekali.
Sifat pasar akan selalu penuh dengan tipu daya sehingga kita akan tahu hasilnya akan seperti apa. Layanan purna jual bagus atau jelek dari demokrasi adalah kualitas demokrasi dan ekonomi.
Kemarin, hipotesisnya adalah kelas menengah turun adalah konsekuensi Pandemi COVID-19. Banyak kelas menengah merupakan pemodal bisnis seperti perdagangan, tempat makan dan penyewaan properti seperti tempat kost, losmen. Kelas menegah turun sembilan juta orang. Yang mungkin masalah adalah belanjanya. Salah menempatkan posisi belanja pemerintah justru mempercepat sebab ambruknya kondisi ekonomi saat ini. Belum lagi terbatasnya akses dan kekerasan yang dilakukan oleh negara. Anak-anak muda frustrasi yang tidak memiliki akses memengaruhi kebijakan, dan tidak memiliki akses kepada sumber-sumber ekonomi. Kekerasan oleh negara yang dimaksud adalah kebijakan yg diambil oleh negara yang dampaknya memiskinkan kelas menengah, dan semakin memiskinkan kelas bawah.
Dalam suasanya Idul Fitri ini tidak ada salahnya kita membaca sebuah pengalaman dari seorang Pastor asal Guatemala di bawah ini
“Tidak, kita tidak akan pernah terbiasa dengan rasa sakit, penderitaan, kesengsaraan, kelaparan, kematian … terutama anak-anak!” Berkali-kali saya harus memberikan jawaban ini, berkali-kali saya harus menjelaskan bahwa orang miskin tidak “nyaman” dengan kondisi mereka. Mereka ingin bereaksi, melawan, berjuang melawan kehidupan yang keras dan menyedihkan, kehidupan yang menghancurkan mereka setiap hari dan membuat mereka berjalan di jalan yang penuh rintangan, seringkali tidak dapat diatasi.”
“Orang-orang miskin tidak terbiasa dengan hal itu, mereka memiliki keberanian yang besar, keberanian untuk selalu berharap pada dunia yang berbeda, dunia di mana semua orang setara dan di mana setiap sumber daya dapat didistribusikan secara merata kepada setiap orang, setiap ras, dan setiap agama. Dunia di mana ada rasa hormat terhadap manusia dan alam, dunia di mana ada keadilan dan kedamaian. Orang-orang miskin tidak terbiasa sendirian, ditelantarkan, didiskriminasi, tidak diperhatikan. Mereka mati sebelum ajal menjemput, mereka tahu rasa dan nilai dari segala sesuatu meski rasa sakit menjadi teman perjalanannya.” –Kisah Pastor Angelo Esposito dari Guatemala.
Semoga kita bisa membawa diri dan keluarga kita untuk bertahan di tengah ketidakpastian zaman ini. Tabik! [ ]