Solilokui

Tina Untuk Sultra: Langkah Peduli Guru Besar Kesabaran Nan Setia

Dalam ajaran kuno Tiongkok, Tao, mahaguru kebijaksanaan LaoTse menyatakan, seorang pemimpin haruslah ibarat danau: tenang berkeda-laman, anggun, dan menampung. Tina, tak pelak mencerminkan semua itu. Bukan hanya itu, warga Sultra tahu Tina pun memiliki keberanian yang kadang terasa anomali bagi kebenyakan perempuan.

Oleh    : Tarra Aya Layanna

JERNIHDalam sebuah kisah hikmah dari abad-abad lama ketika dunia Islam berjaya, disebutkan ciri yang membedakan seorang pemimpin dengan sekadar politisi, alias makhluk politik. Pemimpin bergerak maju untuk kepentingan rakyat banyak, orang-orang yang ia kasihi dengan peduli. Politisi mengajukan diri untuk meraih kursi semata demi kepentingan pribadi; paling banter bagi orang-orang yang berada di sekitaran diri.

Ketika tekad Tina Nur Alam untuk maju memasuki kontestasi Pilkada Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mulai beredar, warga Bumi Anoa sempat terbagi dua. Di sebagian kecil kalangan yang belum banyak mengenalnya, meruap pertanyaan skeptis. Apa lagi yang ia cari? Wajar, karena secara pribadi Tina sering dianggap publik telah memiliki segala yang diimpikan warga. Nama baik keluarga yang harum hingga ke asma sang ayah yang telah berpulang; suami yang tak hanya terpandang, melainkan di Sultra dikenal setiap orang; anak-anak yang manis, baik budi dan berbakti; pun kasat matanya kekayaan duniawi yang normal saja membuat orang terpana mengagumi. 

Namun sebagian besar warga Wonua Sorume–julukan lain Sultra yang bermakna Bumi Anggrek–, tahu pasti. Yang masih ingin diraih Tina bukanlah sesuatu yang akhirnya hanya bermuara ke dalam diri. Yang masih ia cari tak ada selain sebuah jalan lapang untuk bisa terus memberi. Jika yang terpikir oleh Tina adalah otoritas sebagai gubernur kepala daerah provinsi, maka itu berarti angan yang tersisa di batinnya adalah memberi kebaikan kepada sesama warga di setidaknya provinsi tempat ia dilahirkan!

“Masih banyak warga Sultra yang belum memperoleh hak mereka sebagai warga, bahkan pada hal-hal yang paling dasar,”kata Tina dalam sebuah obrolan. Yang ia katakan bukan ungkapan orang yang dibacanya dari sebuah berita koran. Telah puluhan tahun Tina menyaksikan dengan keyakinan penglihatan mata kepalanya sendiri. Baik dalam aktivitasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN) Provinsi Sultra atau pun sebagai Ketua PKK Provinsi yang menyambangi setiap ceruk dan pelosok, mendampingi Gubernur Nur Alam, suami yang ia cintai.

Sempat kepedulian dan rasa kasih Tina kepada warga Sultra itu sedikit terlunasi. Yakni pada masa-masa sang suami berkiprah membaktikan waktu, pemikiran, tenaga dan usia sebagai gubernur Sultra. Dadanya membuncah bungah manakala geliat pertambangan di Sultra mendorong pertumbuhan sektor industri Provinsi naik drastis hingga 11,8 persen pada periode 2007-2013. Tatkala target penurunan tingkat pengangguran terbuka Sutra bergerak hingga 111,1 persen; ketika pertumbuhan ekonomi Sultra tercatat 8,4 persen atau jauh di atas pertumbuhan nasional saat itu; pada saat PDRB per kapita melampaui target, mencapai Rp 6,3 juta per tahun, untuk menyebut sedikit contoh.

Itu di luar berbagai hasil nyata kinerja Pemprov di berbagai sektor sosial ekonomi saat itu, seperti sarana-prasarana publik, fasilitas pelabuhan, jembatan yang memudahkan warga saling menyambangi dan menyapa, rumah sakit, pasar-pasar, sarana ibadah, ruang berkumpul dan bersosial, dan sebagainya.

Sebagai anggota Parlemen nasional Tina sangat paham bahwa angka-angka agregat itu berpengaruh pada hal-hal nyata yang dirasakan rakyat di strata kehidupan terbawah. “Sayang, sepeninggal Bapak, capaian-capaian itu kurang bisa dipertahankan, apalagi ditingkatkan,”kata Tina. Benar, sang suami, Nur Alam, selalu saja mengatakan,”Banyak orang mengira pertumbuhan ekonomi itu diciptakan pemerintah. Padahal pada pertumbuhan ekonomi itu ada andil besar rumah tangga dan warga.” Namun Tina yang menyandang gelar magister manajemen itu mengerti, kadang sang suami terlalu berendah hati.

Kegundahan di satu sisi, dan kepedulian pada sisi lain itulah, tampaknya, yang mendorong Tina mengambil langkah mantap. Ia yakin, kepedulian dan idealisme sangat sukar , kalaupun tidak mustahil dititipkan kepada orang lain. Bila peduli, orang sebaiknya menjalaninya sendiri. Di sisi lain, ia ingat betul sindiran halus seorang penyair sufi Persia, Sa’di Asy-Sirazi, meski kian lamat karena datang dari abad-abad lewat. “Jika kau tidak merasakan apa yang orang lain derita, tak pantas kau menyebut diri manusia.” Belum lagi Tina yang sangat berharap syafaat Manusia Agung yang menjadi teladan hidup, Muhammad SAW, di akhirat kelak, sadar bahwa itu hanya mungkin diperolehnya sebagai buah tanaman kepedulian dan sifat senang berbagi. ”Man la yarham, la yurham. Siapa yang tak bisa mencintai, tak akan mungkin dicintai.” Terutama oleh Sang Maha Cinta, Allah SWT.  

                                                    ***

Becermin dari kiprah dan langkah yang telah dijalaninya, banyak orang percaya Tina mampu melunaskan cita-citanya membawa Sultra dan warganya berkembang lebih baik lagi. Bukan kepercayaan kosong yang datang dari sifat taklid tanpa reserve, tentu. Dua periode menjadi mata, telinga dan hati rakyat Sultra di Komisi VI DPR RI yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM dan BUMN, Tina tak sekadar belajar banyak. Pengalaman itu juga menempa keyakinannya bahwa kesejahteraan rakyat Sultra itu bisa dicapai dan masuk akal.

Belum lagi ia pun ditempa pekerjaan nyata sebagai eksekutif di sekian banyak jabatan dan penugasan. Misalnya kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sultra, kepala Bagian Tatalaksana Pemprov dan sebaganya. Belum lagi godokan berbagai organisasi, seperti ketua BK3S Prov. Sultra, ketua PKK Provinsi Sultra, ketua DPW PUAN Prov. Sultra yang kian mematangkan pengalaman dan pribadinya.

Wajar bila mantan Gubernur Nur Alam mengatakan, bukan karena istrinya bila ia meyakini Tina sosok yang mumpuni membawa Sultra kepada masa-masa emas wilayah itu, seiring kesempatan yang kian berdatangan. ”Di semua modal kepemimpinan, Ibu memang  mumpuni,”kata Nur Alam pada sebuah percakapan santai di Jakarta.

Secara genealogis, Tina adalah anak pertama alm. H Abdul Hamid Hasan, wakil ketua DPRD Sulawesi Tenggara periode 1966-1970  sekaligus salah satu pendiri provinsi tersebut. ”banyak sikap dan sifat almarhum yang menurun kepada Tina,” kata Nur Alam. ”Misalnya sifat dan sikap teguh dan ketegasannya.”

Menurut Nur Alam yang telah menjadi suami Tina sejak 1994, istrinya itu juga seorang woman of action, bukan seorang yang berkepribadian NATO alias No Action, Talk Only.  ”Ibu lebih memilih memberikan teladan, bukan memerintah dengan telunjuk,”kata Nu Alam, penerima Bintang Mahaputera Utama pada 2013 itu. Bintang Mahaputera Utama adalah tanda kehormatan yang diberikan negara kepada mereka yang dinilai secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendidikan menyeluruh dalam keseharian sang ayah itulah yang membangun Tina sebagai figur dengan kedewasaan tinggi, bahkan pada saat remaja. ”Sejak pacaran, saya telah melihat Ibu sebagai seseorang dengan kesabaran dan kesetiaan luar biasa,”kata Nur Alam.  Seiring waktu kebersamaan dalam ruah tangga, keyakinan dan rasa percaya Nur Alam akan Tina pun menguat dan mengeras batu. ”Semua urusan beres, tanpa bising yang hanya bikin rungsing,”katanya, berseloroh.

Sementara, kata Nur Alam, seseorang hanya bisa menjadi pemimpin yang baik bila ia menanamkan sikap kesabaran dan kesetiaan dalam dirinya. “Karena pemimpin itu harus figure yang akomodatitf, yang bisa sabar mendengarkan segala macam masukan kritik, dan saran. Sementara pemimpin pun harus selalu komit, yang itu hanya mungkin dilakukan seorang figur yang memiliki kesetiaan yang dalam,”kata dia. “Nah, dalam dua hal itu, Bu Tina adalah seorang guru besar.”

Nur Alam benar. Dalam ajaran kuno Tiongkok, Tao, mahaguru kebijaksanaan LaoTse menyatakan, seorang pemimpin haruslah ibarat danau: tenang berkeda-laman, anggun, dan menampung. Tina, tak pelak mencerminkan semua itu.

Bukan hanya itu, warga Sultra tahu Tina pun memiliki keberanian yang kadang terasa anomali bagi kebenyakan perempuan. Nur Alam punya pengalaman soal itu. Dulu, kata dia, di masa-masa politik lokal Sultra penuh disesaki kekerasan, setiap Nur Alam akan keluar rumah, Tina tak pernah lupa mengingatkannya untuk membawa serta alat-alat pertahanan diri. Misalnya Parang Taawu. Semua itu diingatkan Tina dengan wajah dan intonasi biasa saja. ”Ibu yakin, tak ada yang terjadi di luar iradah (kehendak) Allah,”kata Nur Alam.    Belum lagi saat ikut bersamanya mengunjungi pelosok-pelosok Sultra. ”Saya, Ibu dan rombongan pernah berperahu kecil mengarungi Laut Banda, mengunjungi Pulau Kadatua dan Siompu di saat ombak Musim Timur yang bergejolak. Ibu tenang-tenang saja.”

Sementara keberanian adalah modal, bahkan syarat seorang pemimpin. ”Saat  kita melihat perusahaan-perusahaan besar yang maju dan unggul, jangan salah, ada keputusan-keputusan berani seorang pemimpin di belakang semua itu,” kata mahaguru manajemen dengam maqam dunia, Peter Drucker. ”Keberanian,” kata alm penyair besar WS Rendra, ”adalah cakrawala yang memberi pandangan lapang, luas, mendunia.”

Meski mengaku sedikit kikuk, Nur Alam merasa ada kesamaan kuat antara Tina dengan tokoh besar Bumi Anoa di masa lalu, yakni Wa Kaa Kaa, ratu perempuan pertama dan terkenal dari kerajaan besar Buton.  

Karena kaitan kesamaan dengan Ratu Wa Kaa Kaa itu, selama ini pun terlihat bahwa Tina adalah sosok yang mengenal baik kearifan filsafat lokal “Binci-Binciki Kuli” atau mencubit kulit (sendiri). Jika dirimu sakit bila dicubit, demikian pula orang lain. Janganlah menyakiti, karena sakitnya sama dengan saat kau disakiti. Kepada anak-anaknya, bukan sekali dua Tina mengulang-ulang pepatah tua orang-orang Tolaki. “Inae Konasara Iye Pinesara Inae Liasara Iye Pinekasara. Barang siapa menghargai, dia akan mulia. Barang siapa tak mengahargai, ia tak akan dihargai.” [ ]

Check Also
Close
Back to top button