Solilokui

Saatnya Menanam Aren

Selidik punya selidik, tingginya demand gula aren ternyata karena industri hulunya belum banyak disentuh. Aren belum dibudidayakan. Pohon aren yang sekarang ada, itu tanaman sejak kakek buyut kita. Entah siapa yang menanam. Mungkin saja justru musang.

Oleh  : Alfath*

JERNIH– Aren sedang naik daun. Gulanya jadi primadona. Contohnya gula aren cair. Pemanis pilihan campuran kopi susu, minuman yang digandrungi anak muda zaman now.

Kopi susu gula aren, nama menunya. Sebut saja misalnya brand “Kopi Kenangan”. Jaringan coffee shop ini butuh gula aren cair tidak kurang dari 80 ton setiap bulan. Itu baru satu brand saja. Masih ada ribuan coffee shop di luar sana.

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, tahun 2015, produksi gula aren dari 14 provinsi baru mencapai 35.899 ton per tahun dari luas lahan 70.000 Ha. Sementara konsumsi gula untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia sekitar 4,1 juta ton per tahun. Bank Indonesia menyebutkan, kemampuan produksi gula kita hanya 2,45 juta ton tahun. Masih kurang jauh.  

Belum lagi untuk memenuhi pasar ekspor. Permintaan tertinggi aren berasal dari USA, Cina, Jepang, Kanada, Australia, Singapura, Belgia, Malaysia, Korea, Selandia Baru, Jerman dan Inggris. Angkanya mencapai 17.338 ton per tahun. Sementara kemampuan ekspor baru mencapai 1.200 ton per bulan (Adisatrya Suryo Sulisto, 2015).

Dalam tiga tahun terakhir, mengutip BPS, konsumsi gula merah masyarakat hanya 0,13 ons per kapita per pekan. Atau hanya sekitar 10 persen dari rata-rata konsumsi gula putih. Gula aren termasuk kategori gula merah. Secara kesehatan, gula merah lebih ramah dikonsumsi ketimbang gula putih karena mengandung kadar Glikemik lebih rendah ketimbang gula pasir. Jauh lebih sehat.

Itulah pula yang menyebabkan permintaan gula aren melonjak. Terutama gula semut dan gula aren cair. Orang makin sadar sehat. Takut kena gula.

Namun, karena politik gula tebu yang dibuat sejak zaman Belanda, konsumsi gula aren terpinggirkan. Padahal ia kekayaan hayati Indonesia. Aslinya, ya gula aren sebagai pemanis sehari-hari masyarakat. Sejak zaman dulu.

Tak kurang tokoh sekelas Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris, dalam bukunya “ The Malay Archipelago” (1869), menyebut bahwa gula aren sudah menjadi pemanis yang dipakai masyarakat Nusantara sehari-hari.

Di dunia ini ada 24 spesies aren yang sudah diklasifikasikan oleh para botanis. Kita patut bangga dan bersyukur, karena 11 jenis di antaranya ada di Indonesia. Kita ini sorganya aren.

Selidik punya selidik, tingginya demand gula aren ternyata karena industri hulunya belum banyak disentuh. Aren belum dibudidayakan. Pohon aren yang sekarang ada, itu tanaman sejak kakek buyut kita. Entah siapa yang menanam. Mungkin saja justru musang.

Penanaman pohoh aren baru masih kurang. Makanya laju pertumbuhan produksi aren hanya 1,9 persen per tahun. Dan laju pertumbuhan tanaman budi daya hanya 2,0 persen per tahun. Masih jauh untuk memenuhi permintaan gula nasional.

Tentang produk turunan aren, hampir semua dapat dimanfaatkan. Mulai dari batang, ijuk, kolang-kaling, lidi dan pelepah, sampai nira. Kini nira aren pun diincar pula untuk bahan bio etanol: cuka, alkohol, dan minuman ringan. Permintaan bio etanol aren di Indonesia mencapai 1,43 juta kilo liter per tahun.

Aren tumbuh baik di ketinggian antara 500-1,200 mdpl. Suhu udara rata-rata 20-25° celcius dengan curah hujan antara 1,200-3,500 mm/thn. Di Belitung Timur, tahun 2017 kemarin, rata-rata suhu antara 26-33° celcius dengan curah hujan antara 174,7-606 mm per tahun. Untuk wilayah Belitung Barat, rata-rata curah hujan, 301,81 mm/tahun. Iklim tropis dan basah. Tempat tertinggi ±500 m di puncak Gunung Tajam.

Menurut data LIPI, tanaman aren cocok untuk konservasi air dan tanah marginal. Dapat menjadi alternatif tanaman reboisasi, konservasi dan tanaman penyangga. Aren dapat tumbuh di atas semua jenis tanah dan dataran, tinggi maupun rendah.

Pohon Aren yang bernama latin Arenga pinnata merr ini, termasuk konservatif. Tidak rakus mengambil air dan unsur hara dalam tanah. Sementara sawit dan tebu sebaliknya.

Dalam satu hectare, aren dapat menghasilkan 25 ton gula per tahun. Kalau dibandingkan dengan tanaman penghasil gula lainnya, sebutlah tebu, hanya 14 ton per ha per tahun. Aren bisa dipanen tiap hari. Tebu, tidak.

Seorang pemerhati, penggiat dan pembudidaya aren, tinggal di Sumatera Utara, tak saya sebut namanya, menyarankan menanam aren dengan jarak 4×6 atau 6×6. Beliau juga membuat ilustrasi potensi penghasilan dari aren dari lahan satu hektare.

Dengan jarak tanam longgar, katakanlah 400-an batang. Dapat mulai produksi pada tahun keenam sejak ditanam. Misalnya yang siap sadap 50 persen dari total seluruh pohon dan setiap pohon menghasilkan paling sedikit satu kg gula aren, hitung-hitungan paling konservatifnya:

Dalam setahun 200 x 1 kg gula x Rp15.000 x 364 hari = Rp1.092.000.000. (Satu miliar sembilan puluh dua juta rupiah). Jika angka ini masih harus ‘sharing profit‘ dengan pihak penderes (di beberapa tempat lazim seperti itu), angkanya masih besar. Cukup menggiurkan.

Sayangnya, data tentang aren atau ‘Kabong’ di Belitung, belum tersedia. Tidak tercatat dalam sensus “Belitung Dalam Angka” yang diterbitkan BPS tahun 2018. Pun tahun-tahun sebelumnya. Padahal tanaman ini sangat mudah dijumpai di mana-mana, tumbuh merata hampir di seluruh tempat. Namun sepertinya belum dilirik menjadi salah satu komoditas.

Semoga ke depan dapat menjadi perhatian pemerintah daerah. Jangan sampai seperti pepatah, “tikus mati di lumbung padi”. Sekarat kita, padahal tidur dikelilingi komoditas yang di dunia dihargai tinggi. [ ]

*Konsultan bisnis dan manajemen. Putra Belitung Timur yang tinggal di Denpasar.

Back to top button