Salahkah KSP Moeldoko Ganggu-ganggu Partai Demokrat?
Upaya eksternal itu menemukan momentum dengan kisruh internal Partai Demokrat, yang tampaknya memiliki kerapuhan sendiri seiring pergantian kepemimpinan dari SBY kepada AHY
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Setelah beberapa hari bergulir di media massa, akhirnya publik mendengar lebih banyak tentang apa yang tengah menjadi persoalan di Partai Demokrat. Sebelumnya, kita tahu Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurty Yudhoyono (AHY) melansir pernyataan ke media massa, bahwa ada orang Istana yang bergerak meng-kudeta kepemimpinan di partai berlambang intan perdamaian itu. Belakangan, tudingan itu clear mengarah langsung ke Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (purn) Moeldoko.
Moeldoko sendiri belakangan tak lagi berupaya menampik tudingan tersebut. Melalui sebuah konferensi pers daring, Moeldoko meminta agar isu kudeta Partai Demokrat tidak dikaitkan dengan Istana. Dia pun berharap agar Presiden Jokowi tidak diganggu dalam isu tersebut.
“Beliau dalam hal ini tidak tahu sama sekali, nggak tahu apa-apa. Jadi itu urusan saya. Moeldoko ini bukan selaku KSP, “kata Moeldoko dalam jumpa pers daring tersebut.
Barangkali, Moeldoko lebih punya keberanian setelah guliran isu tersebut di media tak sepenuhnya menyudutkan dirinya. Misalnya, seorang pengamat politik bernama Said Salahudin menyatakan, kalau pun Moeldoko memang melakukan hal itu, secara hukum tak ada yang salah. Tak ada yang dilanggarnya.
Masyarakat, kata Said, belum pernah mendengar ada keputusan pengadilan yang membatasi hak politik Moeldoko. Artinya, Moeldoko setelah pensiun dari dinas ketentaraan memiliki hak dipilih dan juga memilih. Hak itu bisa diwujudkan saat Pemilu dengan menjadi calon, termasuk menjadi calon presiden atas usulan partai politik. “Untuk menjadi calon, mengimplementasikan hak dipilihnya, dia kan perlu partai. Nah, untuk mendapat dukungan dari berbagai partai, itu dapat dilakukan dengan berbagai cara,”ujar Said.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) itu juga mengatakan, sekalipun benar tudingan yang menyebut Moeldoko hendak memanfaatkan situasi kisruh di internal Partai Demokrat saat ini, hal itu juga secara politik tidak ada masalah.
Menunjuk nama-nama kader Partai Demokrat yang disebut-sebut hendak mengkudeta AHY, seperti Marzuki Alie, Max Sopacua dan Jhonny Allen, Said juga menyebutkan, jika tudingan itu benar, mereka tidak melanggar hukum, .
Ia berargumen, setiap kader partai punya tanggung jawab untuk memikirkan masa depan partai. Selain itu, sifat partai politik adalah terbuka sekaligus mandiri. Artinya, anggota partai boleh menyampaikan usulan, pendapat, gagasan, rencana untuk kepentingan partai.
Siapa yang salah, siapa benar?
Saya bukan jenis orang yang senang melihat dikotomi pihak salah dan benar. Hidup seringkali tidak sesederhana itu. Saya setuju, secara hukum Moeldoko tak bisa disalahkan kalau pun ia mencoba-coba—mungkin sebenarnya ia justru tengah mengetes dirinya sendiri—mengganggu kepemimpinan Partai Demokrat.
Tapi barangkali, bisa dikatakan, cara itu menyiratkan Moeldoko bukan seorang yang punya fatsoen dalam berpolitik. Ia juga kurang menghargai Partai Demokrat, atau bahkan kurang menghargai demokrasi itu sendiri.
Kalau benar ia melakukan apa yang ditudingkan, sangat wajar bila ingatan kita kembali ke masa-masa ketika Orde Baru berkuasa. Pada upaya cawe-cawe pemerintah saat itu untuk mendongkel kepemimpinan Megawati di Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kita tahu, Megawati merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia berdasarkan hasil Kongres Surabaya pada 1993, untuk kepengurusan 1993-1998. Tiba-tiba ada 16 fungsionaris PDI, di bawah pimpinan Fatimah Ahmad, menggelar Kongres di Medan pada 22 Juni 1996, dan memilih Soerjadi sebagai ketua umum untuk periode 1996-1998. Kita pun tahu, pemerintah Presiden Soeharto saat itu mendukung pelaksanaan Kongres Medan, dari setidaknya fakta bahwa kongres itu dibuka dan ditutup Mendagri Yogie S Memet.
Artinya bagi saya, apa yang (hendak) dilakukan Moeldoko, tak lebih baik—kalau tidak boleh kita katakan kongruen alias sama dan sebangun—dari kelakuan Orde Baru saat itu.
Belum lagi kalau urusan anggah-ungguh kita libatkan. Seingat saya, bukankah yang memilih Moeldoko menjadi Panglima TNI saat itu adalah SBY, yang tak lain adalah ayah AHY? Kita bisa mengira apa kata dunia, terutama bagi kita orang Timur, bila itu memang terjadi. Kita mungkin bisa memberi toleransi manakala hal itu dilakukan untuk kepentingan besar bangsa. Tetapi apakah kisruh di internal Demokrat sudah sekrusial itu bagi bangsa?
Dinasti politik
Tetapi bagi saya, SBY-AHY pun punya saham sendiri untuk terjadinya kisruh di internal Partai Demokrat saat ini. Saya kira cukup banyak orang Indonesia yang menyayangkan manakala AHY ‘memutuskan’ mengakhiri kariernya yang cemerlang di TNI, dan masuk dunia politik. Tetapi karena itu sepenuhnya hak AHY, orang tak bisa bilang apa pun.
Apalagi bila seandainya—sudah ‘bila’ ditambah ‘seandainya’ pula, anggaplah untuk memperkuat— karier politik AHY itu tidak dimulai dari Partai Demokrat. Mungkin, bisa saja AHY bergabung dengan partai politik lain, lalu tumbuh dan berkompetisi di dalamnya dengan para politisi di internal partai tersebut secara fair. Kita pasti akan bertepuk tangan manakala kemudian terbukti AHY bisa menduduki pucuk pimpinan partai politik tersebut.
Tetapi yang kita lihat memang tidak demikian. AHY masuk Partai Demokrat, dan meskipun kita semua tak pernah melihat apa yang terjadi di dalam, logika kita wajar mengatakan ia tumbuh dengan perawatan dan perlindungan tak wajar.
Ia laiknya ‘pangeran’ di sebuah intitusi partai politik modern yang seharusnya memberikan kesempatan luas kepada semua untuk berkiprah, berkompetisi dan maju. Jujur, mengingat Pak SBY adalah seorang pemimpin yang juga cendikia, saya cukup kaget manakala langkah itu yang ia ambil untuk putranya.
Jadi, manakala kita diberi tahu seorang politisi senior Partai Demokrat, Yos Sudarso, melalui pemberitaan di berbagai media massa soal adanya empat faksi yang saat ini kurang puas dengan kepemimpinan di Partai Demokrat, kita pun tidak kaget. Yos mengatakan, ada empat faksi yang hadir dalam pertemuan dengan Moeldoko, yakni faksi Subur Budi Santoso, pendukung Hadi Utomo, kader Anas Urbaningrum dan faksi Marzuki Alie.
Konon, keempat faksi itu ingin mengulang apa yang dilakukan para pendiri Partai Demokrat di saat awal, manakala menjemput Pak SBY untuk dijadikan ketua umum PD dan mengantarkannya menjadi presiden Republik Indonesia. Mereka ingin mengulang sejarah, mungkin terilhami pepatah Prancis,”Le histoire se repete.”
Bukan tugas saya, bahkan bukan hobi saya mengganggu para politisi. Hanya sungguh, kejadian-kejadian sejenis itu seperti mengeraskan ajakan Kegelapan untuk memupuk sikap skeptis kepada partai politik di negeri ini. Karena yang terlihat kasat mata tak lain hanya permainan kuasa di antara mereka, tanpa sama sekali ada tersirat keinginan untuk berkhidmat kepada rakyat. [ ]