Sepatu Anies Baswedan
Kita masih bangga dengan “menjual” upah buruh murah, bersaing terhadap negara sesama ASEAN, seperti Myanmar, Vietnam dll. Kegagalan ini adalah sebuah jebakan (trap), di mana transformasi “skill labor” dari satu industri ke industri lainnya tidak dikontrol. Akibatnya, substitusi import yang seharusnya sebagai sebuah kebijakan transisi, akhirnya menjadi berkepanjangan. Akhirnya, cita-cita menuju negara maju, negara industri, gagal. Kontribusi sektor industri terhadap GDP terus memburuk, jauh di bawah keberhasilan Orde Baru.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH–Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Timur, ketika berkesempatan bicara di depan Anies Baswedan dan jajaran petinggi kaum buruh, kemarin dulu di Jakarta, memperkenalkan diri berasal dari pabrik yang memproduksi sepatu. Merek sepatu itu adalah Ecco, sepatu asal Denmark. Di Surabaya, pabrik sepatu ini dikerjakan puluhan ribu tenaga-tenaga buruh kita dalam naungan PT. Ecco Indonesia.
Dialog buruh dengan Anies Baswedan itu menjadi momen penting bagi arah nasib buruh ke depan. Hampir semua tokoh buruh Indonesia hadir dalam acara itu. Penyelenggara dialog tersebut adalah serikat buruh SPN dan ASPEK, keduanya unsur KSPI, yang beberapa waktu lalu menyatakan dukungan terhadap Ganjar Pranowo. Bahkan, ketua KSPI dan sekaligus Ketua Partai Buruh, Said Iqbal, ketika menyampaikan dukungan itu, mencium tangan Ganjar Pranowo.
Dengan acara dialog buruh dengan Anies tadi malam, terlihat Said Iqbal ditinggalkan oleh kaum buruh. Kaum buruh pasti tidak mendukung rezim pembuat Omnibus Law Ciptaker, di mana Ganjar berada.
Perjuangan kaum buruh saat ini justru bagaimana mencabut UU Omnibus Law. Selain itu buruh menuntut jaminan sosial sebagaimana kaum buruh di negara-negara “welfare state“. Mereka percaya cuma Anies yang bisa merealisasikan itu.
Tapi di sini kita, sebagaimana judul di atas, membahas sepatu Anies Baswedan. Kembali pada judul, ketika ketua SPN memperkenalkan diri sebagai pekerja sepatu Ecco, Anies Baswedan berdiri, memperlihatkan sepatu yang dia pakai. Mereknya Ecco. Anies bertanya, apakah yang dimaksudkan itu seperti sepatu yang dia kenakan? Sambil mencopot dan mengangkat tinggi sepatunya. Ketua SPN Jatim itu lalu mengiyakannya.
Cerita ini saya peroleh dari Jumhur Hidayat, ketua umum KSPSI, serikat buruh terbesar di Indonesia. Meski dia diusulkan kaum buruh sebagai cawapres Anies di forum itu (lihat : politik.rmol.id/read/2023/06/19/578411/disarankan-gandeng-jumhur-hidayat-begini-kata-anies-baswedan), Jumhur lebih tertarik bercerita sepatu Anies kepada penulis. Isu sepatu Anies tentu sangat menarik, karena kejadian ini spontanitas, bukan di-setting, yakni rakyat tahu sepatu Anies buatan lokal bukan untuk pencitraan.
Ketika seorang pemimpin bangga menggunakan produk lokal, itu menunjukkan tiga hal. Pertama, Anies mendukung industrialisasi di Indonesia. Kedua, Anies ikut menciptakan nilai tambah di dalam negeri bagi kepentingan pengusaha dan buruh. Ketiga, terjadi de-Alienasi dalam skala yang besar.
Hal ini penting diketahui rakyat, karena keterpurukan industri, kebijakan pro-impor dan buruknya nasib buruh merajalela selama rezim Jokowi berkuasa.
Subtitusi impor dan industrialisasi
Sepatu yang digunakan Anies adalah produk lokal, meskipun hak mereknya milik negara lain. Di masa lalu, era 1970-80-an, industrialisasi tahap awal di Indonesia, dan negara berkembang lainnya, secara umum berlangsung demikian, yakni memproduksi produk-produk impor. Kebijakan ini dikenal sebagai industrialisasi subtitusi impor.
Substitusi impor merupakan tahap awal dari semua negara yang bertransformasi dari negara berkembang maupun agraris menjadi negara industri. Dari sisi negara maju, relokasi industri merupakan kebijakan mencari upah murah dan bahan baku murah. Sebaliknya, dari sisi negara berkembang, subtitusi impor merupakan kesempatan luar biasa untuk men-transfer (kami agak ragu dengan kata meneransfer, meski secara kaidah awalan P-K-S-T luluh—red) teknologi, mengu-rangi impor dan mempekerjakan sumber daya manusia secara massal.
Industrialisasi akan berkembang maju jika substitusi impor merupakan komponen basis, sebagai langkah untuk melompat pada industri maju, berteknologi tinggi. Tahap ini tidak bisa tidak dilewati. Korea, misalnya, sebelum mereka mampu menghasilkan produk-produk elektronik dan komputer yang menyaingi negara maju, seperti Jepang dan Eropa, juga masuk pada industri subtitusi impor. Sekarang, produk mereka, misalnya, Samsung, telah menyaingi Philips dan Sony.
Kesalahan terbesar bangsa kita soal industrialisasi ini adalah kegagalan dalam menggeser mindset “comparative advantage” menjadi “competitive advantage“. Kita masih bangga dengan “menjual” upah buruh murah, bersaing terhadap negara sesama ASEAN, seperti Myanmar, Vietnam dll. Bahkan, di dalam negeri sendiri persaingan upah murah dikembangkan untuk relokasi pabrik-pabrik dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, misalnya. Kegagalan ini adalah sebuah jebakan (trap), di mana transformasi “skill labor” dari satu industri ke industri lainnya tidak dikontrol. Akibatnya, substitusi import yang seharusnya sebagai sebuah kebijakan transisi, akhirnya menjadi berkepanjangan.
Akhirnya, cita-cita Indonesia menuju negara maju, negara industri, gagal. Kontribusi sektor industri terhadap GDP terus memburuk, jauh di bawah keberhasilan Orde Baru. Industri berteknologi tinggi tidak terjadi, bahkan industri menengah seperti otomotif gagal.
Tugas besar Anies ke depan adalah melanjutkan rencana industrialisasi yang terjadi di era Pak Harto dan Pak Habibie. Kecintaan pejabat dan keluarga terhadap produk asing alias flexing yang menjadi budaya glamour mereka saat ini merupakan tantangan. Pemimpin yang pro-kebangkitan industri nasional harus memastikan dirinya dan keluarga mencintai produk lokal, bahkan jika bisa bermerk lokal.
Nilai tambah
Industrialisasi ke depan harus memastikan adanya proporsi industri yang berbasis nilai tambah. Indonesia harus memikirkan langkah Korea Selatan, dan Polandia, misalnya, dalam melakukan industrialisasi. Buruh-buruh mereka terus berkembang sebagai “skill-labour“, yang mampu menciptakan produk dengan nilai tambah tinggi. Hal itu membuat mereka memberikan kesempatan pada buruh-buruh migran dari berbagai negara dunia, seperti dari Indonesia, untuk bekerja di negara mereka, pada sektor padat karya.
Sektor alas kaki, seperti sepatu, tetap penting berkembang di Indonesia. Namun, ke depan, isu nilai tambah harus dimasukkan dalam strategi industri di sektor ini.
De-Alienasi
Alienasi kaum buruh sudah saya bahas dalam tulisan saya terdahulu “Anies, Jumhur Hidayat dan Pembebasan Alienasi Kaum Buruh“. Alienasi intinya bercerita tentang keterasingan kaum buruh dalam hubungan produksi. Buruh hanya menjadi alat produksi saja.
Jika pemimpin seperti Anies menggunakan produk yang di produksi kaum buruh, tentu saja akan terjadi de-Alienasi, karena buruh mempunyai rasa kebanggaan bahwa produknya dipakai pemimpin mereka.
Jikalau semua pemimpin bangsa ini serta keluarganya menggunakan produk lokal, maka kaum buruh akan semakin semangat atau baik dalam hal produktivitas. Apalagi jika semangat menggunakan produk lokal menjadi budaya nasional, maka industri kita akan kokoh karena market produknya tersedia besar.
Isu kesejahteraan buruh disampaikan ketua Serikat Pekerja SPN kepada Anies. Konsepnya Sistem Jaminan Sosial Semesta Sepanjang Hayat. Namun, pada negara-negara maju, konsep jaminan sosial berkembang seiring dengan meningkatnya industrialisasi, meningkatkan kontribusi skill workers dalam pembangunan dan semakin besarnya “return to labor” dalam pembagian nilai tambah.
Memastikan sistem sosial bekerja sempurna harus seiring dengan produktivitas kaum buruh. Anies harus memikirkan upah buruh secara aggregat berkembang dalam porsi yang lebih besar. Sehingga buruh mensejahterakan dirinya karena kekuatannya sendiri, secara utama. Peran negara hanyalah pelengkapnya.
Penutup
Pada acara dialog Anies dan tokoh-tokoh buruh kemarin malam di Jakarta, secara tak disengaja, Anies Baswedan telah membuktikan dirinya memakai produk sepatu lokal. Spirit ini, mencintai produk lokal, harus menjadi agenda besar bangsa kita, bahkan jikalau bisa menjadi budaya elit bangsa dan keluarganya, bukan pencitraan.
Keterjebakan Indonesia pada budaya impor dan mayoritas mengekspor produk ekstraktif membuat industrialisasi tidak berkembang. Sektor industri terus buruk di bawah 20 persen pada GDP. Industrialisasi hanya bisa dilakukan jika kita mengubah mindset pembangunan dari comparative advantage, yang berbasis buruh murah dan sumber daya alam murah, menjadi competitive advantage yang berbasis skill labor dan teknologi. Namun, semua ini hanya terjadi jika para pemimpin kita mencintai produk lokal.
Kita berharap Anies Baswedan dan kaum buruh mampu bersinergi membangun semangat cinta produk lokal, dimulai dari sepatu lokal. [ ]
* Dr. Syahganda Nainggolan, direktur Sabang Merauke Circle
**Solilokui adalah ruang opini pribadi para penulis, tak selalu sejalan dengan kebijakan redaksi.