SolilokuiVeritas

Seruan “Tobat Nasuha” Cak Imin, Metafora Politik di Tengah Bencana

Para politisi selalu punya panggung, bahkan di tengah bencana. Saat bencana di Sumatera dan rakyat jadi korban, mereka muncul dengan retorika seolah paling peduli, paling benar. Tak peduli bila harus menohok seteru politik.

JERNIH –  Pernyataan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyerukan agar Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melakukan “tobat nasuha” menimbulkan riak besar di ruang publik dan kabinet.

Ungkapan itu meluncur saat ia menanggapi banjir bandang dan longsor di Sumatera—bencana yang ia gambarkan sebagai “kiamat yang sudah terjadi” akibat kelalaian manusia menjaga alam. Di tengah kondisi masyarakat yang masih berduka, diksi tersebut sontak menimbulkan tanda tanya: apakah ini seruan moral, kritik kebijakan, atau manuver politik?

Dalam tradisi Islam, tobat nasuha adalah pertobatan yang paling tulus dan total, sebuah titik balik yang tak hanya berhenti pada pengakuan dosa tetapi diwujudkan dalam perubahan sikap dan tindakan.

Para ulama menggambarkannya sebagai proses penyesalan yang mendalam, berhenti seketika dari kesalahan, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Bahkan sebagian menambahkan unsur memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Artinya, tobat nasuha tidak berhenti pada retorika spiritual; ia adalah transformasi moral yang sangat konkret.

Ketika istilah ini dibawa ke ranah pemerintahan, maknanya pun bergeser menjadi sebuah tuntutan etis terhadap kebijakan negara. Pertobatan dalam konteks ini berarti keberanian mengakui kesalahan masa lalu dalam tata kelola lingkungan—dari izin tambang yang serampangan, deforestasi masif, hingga tata ruang yang abai terhadap daya dukung ekologi.

BACA JUGA: Anomali Iklim dan Deforestasi yang Saling Berkaitan di Balik Bencana Sumatera

Tobat berarti menghentikan kebijakan-kebijakan yang terbukti merusak, sekaligus melakukan koreksi total yang transparan. Di tahap berikutnya, ia menuntut komitmen untuk tidak mengulangi pola eksploitatif yang sama dan justru menempuh jalan perbaikan: restorasi hutan, rehabilitasi kawasan kritis, penegakan hukum lingkungan, serta pembangunan yang tidak lagi mengorbankan ekologi demi kepentingan jangka pendek.

Namun, niat baik—atau setidaknya pesan substantif—itu terhambat oleh cara penyampaiannya. Seruan Cak Imin langsung disambut dengan reaksi keras dari para menteri yang merasa disasar.

Raja Juli Antoni mengingatkan pentingnya menjaga kekompakan kabinet dan kemudian mengungkap bahwa Cak Imin telah meminta maaf melalui pesan pribadi. Bahlil Lahadalia bahkan membalas dengan nada politis, bahwa jika tobat diperlukan maka semua pihak harus melakukannya, sambil menegaskan bahwa hanya Presiden yang berwenang memberinya instruksi. Di luar itu, Partai Golkar mengecam diksi Cak Imin, menganggapnya tidak tepat waktu dan tidak tepat posisi, terlebih di tengah duka masyarakat.

Pertentangan ini menunjukkan betapa sulitnya membawa bahasa moral ke dalam arena politik tanpa menciptakan gesekan. Diksi agama memiliki daya pukau tersendiri—ia menyentuh emosi, mudah dipahami, dan memiliki kekuatan menggugah kesadaran publik.

Namun daya tarik itu datang bersama risiko. Ia dapat dianggap sebagai serangan personal, menimbulkan kesan saling menyalahkan, dan berpotensi mengaburkan persoalan struktural. Kerusakan lingkungan Indonesia bukanlah produk satu atau dua menteri, melainkan akumulasi dari puluhan tahun kebijakan yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam.

Meski demikian, di balik panasnya polemik, substansi dari seruan tersebut tetap penting untuk direnungkan. Indonesia memang membutuhkan “tobat kebijakan”—sebuah pertobatan kolektif untuk menata ulang paradigma pembangunan yang selama ini berpihak pada jangka pendek dan mengorbankan masa depan. Banjir dan longsor yang menghancurkan kehidupan ribuan warga bukan semata-mata kejadian alam, tetapi cermin keputusan politik yang gagal melindungi ekosistem.

Pada akhirnya, esensi tobat nasuha menuntut lebih dari sekadar permintaan maaf atau saling sindir. Ia meminta pengakuan jujur atas kesalahan, penghentian praktik yang merusak, upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki, dan komitmen mendalam agar kerusakan tidak terulang.

Jika prinsip-prinsip itu benar-benar diterapkan, maka istilah “tobat nasuha” tidak akan berhenti sebagai retorika, melainkan menjadi landasan moral untuk membangun tata kelola lingkungan yang adil, tangguh, dan berkelanjutan—sebuah ikhtiar yang semestinya melibatkan seluruh unsur pemerintahan dan masyarakat.

Jadi bertobatlah secara nasuha wahai para pemangku jabatan. Sebab, harga yang harus dibayar terlalu mahal—bukan hanya pohon yang tumbang, tetapi manusia yang ikut tumbang bersamanya. Tanah Sumatera kini memikul kerugian ekologis yang nilainya mencapai triliunan rupiah, tetapi lebih dari itu: ia memikul kehilangan yang tak terhitung—kehidupan, masa depan, dan keseimbangan ekologi yang runtuh.

Sumatera hari ini: hutan yang hilang tak bisa tumbuh kembali dalam semalam, tanah longsor tak bisa disatukan kembali oleh doa, dan nyawa yang melayang tak akan kembali walau dibayar dengan emas sebanyak gunung. Tetapi tobat nasuha tetap mengharuskan upaya itu: reforestasi, rehabilitasi, perbaikan tata ruang, dan penghentian rakusnya eksploitasi. Kalian semua para pejabat, ya kalian semua, tak terkecuali! (*)

BACA JUGA: Siklon Tropis Senyar,  Badai Langka di Selat Malaka

Back to top button