SolilokuiVeritas

Shell Mundur, Pertamina Makin Perkasa? Drama Bisnis BBM di Balik Layar

Kelangkaan BBM Shell Super dan V-Power bikin isu “Shell kabur dari Indonesia” makin panas. Padahal, langkah ini bukan sekadar hengkang, melainkan strategi global yang bisa mengubah peta persaingan energi. Pertamina makin dominan, tapi apakah ini baik untuk konsumen?

JERNIH – Kabar mengenai “keluarnya Shell dari Indonesia” pada pertengahan 2025 sempat menghebohkan publik. Media sosial ramai oleh komentar konsumen yang khawatir tidak bisa lagi mengisi bahan bakar di SPBU berlogo kuning-merah itu. Namun, jika ditelisik lebih dalam, langkah Shell bukanlah sekadar “angkat kaki” dari Indonesia, melainkan bagian dari strategi global restrukturisasi bisnis hilir mereka.

Mulanya pada 23 Mei 2025, Shell Indonesia resmi mengumumkan rencana menjual jaringan SPBU yang berjumlah sekitar 200 unit, beserta terminal bahan bakar di Gresik, Jawa Timur. Aset tersebut akan dialihkan kepada perusahaan patungan (joint venture) antara Citadel Pacific Limited dan Sefas Group.

Walaupun begitu, Shell tetap hadir di Indonesia melalui bisnis pelumas (lubricants), yang masih dioperasikan langsung. Merek “Shell” akan tetap digunakan di SPBU lewat perjanjian lisensi dengan pengelola baru.

Bahkan Shell akan tetap menjadi pemasok bahan bakar, sehingga kualitas produk tidak hilang, meski kepemilikan fisik SPBU berganti.

Proses ini ditargetkan rampung pada tahun 2026 setelah melewati persetujuan regulator. Vice President Corporate Relations Shell Indonesia, Susi Hutapea, menegaskan, ““Tidak ada dampak pada proses pengalihan kepemilikan bisnis SPBU Shell di Indonesia. Semua pihak tetap berkomitmen pada kesepakatan.”

Keputusan Shell tidak bisa dilepaskan dari strategi global perusahaan energi besar yang tengah menghadapi tekanan transisi energi. Dalam laporan keuangannya, Shell menekankan perlunya menyederhanakan portofolio serta fokus pada segmen yang dianggap memiliki margin lebih tinggi.

Ritel bahan bakar, meski masih dibutuhkan, dipandang kurang strategis dibandingkan bisnis pelumas, bahan kimia, dan energi terbarukan yang tengah naik daun. Shell juga tengah mengurangi ketergantungan pada bisnis ritel BBM di sejumlah negara lain, bukan hanya Indonesia.

Dengan kata lain, keputusan ini bukan karena Indonesia tidak lagi menarik, melainkan karena arah bisnis Shell yang berubah.

Meski ada jaminan kelanjutan merek dan pasokan, transisi ini tetap memunculkan gejolak di lapangan. Sejak Agustus 2025, sejumlah konsumen melaporkan kelangkaan produk Shell Super, V-Power, hingga V-Power Nitro+ di beberapa SPBU.

Shell mengonfirmasi kondisi tersebut, menyebutnya sebagai konsekuensi transisi pasokan, dan berjanji normalisasi akan terjadi setelah proses divestasi lebih stabil. Namun, bagi konsumen, gejolak ini menimbulkan pertanyaan: apakah kualitas layanan akan tetap sama di bawah pengelola baru?

Langkah Shell tersebut sebenarnya punya beberapa implikasi penting. Di antaranya sedang terjadi konsolidasi pasar SPBU. Dominasi Pertamina masih sangat kuat, diikuti pemain lain seperti Vivo dan BP-AKR. Pergantian kepemilikan SPBU Shell akan menentukan apakah pemain baru (Citadel–Sefas) bisa menjaga pangsa pasar Shell atau justru kehilangan konsumen.

Akibat dari pilihan bisnis Shell tersebut perang regulator sangat penting. Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan BPH Migas harus memastikan transisi berjalan mulus, terutama terkait pasokan dan distribusi BBM non-subsidi.

Konsumen Indonesia khususnya non subsidi sangat sensitif terhadap kualitas bahan bakar. Bila pengelola baru gagal menjaga standar layanan, citra Shell bisa terganggu, meski mereknya masih digunakan.

Keputusan Shell mungkin dibaca sebagai pesan hati-hati bagi investor energi lain: meski pasar Indonesia menjanjikan, margin bisnis BBM ritel bisa menantang akibat dominasi Pertamina dan ketentuan regulasi impor.

Jadi, hell tidak sepenuhnya hengkang. Bisnis pelumas, kimia, dan pasokan BBM tetap berjalan. Di sisi lain, pengelola baru punya peluang besar: jaringan SPBU yang sudah mapan, konsumen loyal, dan lisensi merek global.

Tantangan bagi pengelola baru ada dua: menjaga kualitas layanan dan membangun kepercayaan publik di tengah transisi. Bila gagal, konsumen bisa beralih ke pemain lain yang lebih stabil.(*)

BACA JUGA: SPBU Swasta Terpojok, Tak Punya Pilihan Lain

Back to top button