Sinergi Tiga Pilar: Akademisi, Media dan Lembaga Think Tank

Ketika media, akademisi, dan think tank berkolaborasi, terbentuklah sinergi yang memperkuat ekosistem wacana kebangsaan. Mereka menciptakan resonansi.
JERNIH – Di tengah derasnya arus informasi dan deras pula polarisasi di media sosial, wacana kebangsaan sering kali tenggelam oleh isu-isu sesaat. Padahal, narasi tentang siapa kita sebagai bangsa adalah perekat utama yang menjaga persatuan. Tantangan arus globalisasi, polarisasi politik, hingga banjir informasi di era digital, membuat narasi kebangsaan rentan terfragmentasi
Pertanyaannya: siapa yang bisa menjaga agar wacana kebangsaan tetap hidup dan relevan?
Ada tiga aktor penting yakni media, akademisi, dan lembaga think tank. Bagaimana mereka sebaiknya membagi peran?
Akademisi: Penyedia Kerangka Teori dan Analisis
Akademisi menyumbangkan validasi ilmiah, metodologi riset, serta kerangka teori yang menjadi dasar perumusan narasi kebangsaan. Mereka berperan menjaga objektivitas, mengisi ruang diskusi dengan kajian empiris, serta menyeimbangkan wacana publik yang kadang sarat emosi. Mereka berprean menjaga narasi kebangsaan agar tidak sekadar retorika, tetapi punya dasar sejarah, teori, dan riset.
Menurut Antonio Gramsci, intelektual memiliki fungsi sebagai “organizer of consent,” yakni menyusun kesepahaman sosial melalui produksi pengetahuan. Dengan keterlibatan aktif akademisi, wacana kebangsaan dapat berdiri di atas landasan pengetahuan, bukan sekadar opini. Artinya, tanpa akademisi, wacana kebangsaan bisa mudah terjebak dalam emosi sesaat, bukan pemikiran jangka panjang.
Media: Penyebar Narasi dan Penjaga Agenda Publik
Media berperan sebagai agenda setter yang membentuk persepsi publik. Melalui framing berita, opini, dan ruang diskusi, media dapat mengarahkan wacana kebangsaan ke arah yang lebih konstruktif.
Sebagaimana dikatakan Walter Lippmann, “Pers bagaikan sorotan lampu yang bergerak tak henti-hentinya, membawa satu episode dan kemudian episode lain dari kegelapan ke dalam pandangan.” Dalam konteks kebangsaan, media tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga merawat kesadaran kolektif masyarakat.
Media adalah kanal utama yang bisa membuat wacana kebangsaan terdengar luas. Lewat berita, opini, hingga talkshow, media bisa memperbesar resonansi nilai kebangsaan.
Namun media juga menghadapi dilema: antara mengejar rating atau menjaga misi edukasi publik. Di sinilah pentingnya kolaborasi, agar narasi kebangsaan tidak berhenti sebagai jargon, melainkan jadi diskusi sehari-hari.
Think Tank: Jembatan Pengetahuan dan Kebijakan
Lembaga think tank hadir sebagai policy broker—penghubung antara dunia akademik, media, dan pembuat kebijakan. Melalui riset kebijakan, advokasi, dan publikasi strategis, think tank membantu menyusun narasi kebangsaan yang dapat diterjemahkan menjadi kebijakan publik.
James G. McGann, peneliti think tank global, menegaskan bahwa lembaga ini menjadi “knowledge entrepreneurs” yang menjual ide dan solusi di pasar kebijakan. Dalam isu kebangsaan, think tank mampu memetakan tantangan dan merekomendasikan strategi berbasis data, bukan retorika semata.
Lembaga think tank bekerja di balik layar sebagai “dapur ide.” Mereka meracik hasil penelitian akademis menjadi rekomendasi yang bisa dipahami media dan pemerintah. Dengan peran ini, narasi kebangsaan bisa punya “gigi,” karena ia lahir bukan hanya dari diskusi, tapi juga berujung pada kebijakan nyata.
Bentuk konkret dari kolaborasi tiga pilar tersebut antara lain ada forum dialog rutin, ada produk media bersama (rubrik, indeks, laporan), serta ada mekanisme resmi berbagi peran.
Dampak bagi msyarakat di antaranya meningkatkan literasi publik. Masyarakat tidak hanya menerima berita “kasar” atau opini dangkal, tetapi narasi kebangsaan yang didukung riset. Mengurangi polarisasi dimana media mengemas diskusi berbasis data dan kajian akademis, sehingga perbedaan pandangan lebih sehat. Hal ini tentu membangun kepercayaan publik dimana tingkat kepercayaan masyarakat adalah pada kontennya bukan hanya sensasi, tapi berbobot dan bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai contoh model The Conversation di luar negeri berhasil membuat masyarakat umum paham isu kompleks (iklim, kesehatan, politik) dengan bahasa sederhana tapi berbasis riset.
Sedangkan dampak bagi kebijakan dan pemerintahan di antaranya kebijakan lebih evidence-based karena merupakan hasil riset akademisi dan rekomendasi think tank, lalu diperkuat dengan resonansi media, memberi tekanan positif agar pemerintah mengambil kebijakan berbasis data, bukan opini politik semata.
Jembatan publik dengan pemerintah yang lebih nyata. Media menyampaikan aspirasi masyarakat, akademisi memberi analisis, think tank menawarkan solusi. Dengan demikian alur komunikasi lebih sehat. Maka legitimasi kebijakan lebih meningkat. Ketika publik tahu kebijakan didasarkan riset dan diskusi terbuka, penerimaan sosial lebih kuat.(*)
BACA JUGA: GREAT Institute Sebagai Ruang Perlawanan Intelektual