Solilokui

‘Stay At Home’, Ketahanan Pangan dan Ancaman Busung Lapar

Dijadikan tepung bahan baku “kejo jagong” (nasi jagung), yang sangat berguna sebagai pengganti makanan pokok pada musim peceklik. Dapat pula diolah menjadi kue-kue sederhana dan popular sebagai jajanan pasar atau warung, semacam “boder”, atau “jojodog monyet”

Oleh : H.Usep Romli HM

Tinggal di rumah (stay at home),untuk mencegah penularan virus Corona Covid-19, mudah saja dilaksanakan. Tapi yang menjadi masalah, apakah punya bekal cukup? Terutama bagi masyarakat ekonomi lemah, yang mengandalkan penghasilan serabutan. “Corech corech Chok”, kalau menurut orang Prancis, perapatan Cibiuks. Hari ini dapat, hari ini pula habis.

Sistem pertanian modern, di tengah laju pesat alih fungsi lahan, sejak lama membawa derita bagi penduduk pedesaan, yang mayoritas berstatus buruh tani atau petani penggarap. Sistem pertanian modern adalah penggunaan bibit unggul berumur pendek. Hanya memerlukan waktu tanam tiga-empat bulan, sudah dapat dipanen. Juga penggunaan pupuk dan obat-obatan non-organik yang dapat memacu cepat pertumbuhan fisik tanaman, serta penanggulangan penyakit.

Usep Romli HM

Tapi semuanya harus dibeli. Padahal para petani, sama sekali tak pernah memegang uang dalam jumlah banyak dan waktu lama. Ketika panen beres, padi atau tanaman lain, langsung terjual saat itu juga kepada para bandar “pengepul” hasil bumi, yang sudah menunggu. Lengkap membawa alat-alat kiloan serta kendaraan pengangkut, dan tentu saja gepokan uang.

Karena hasil panen langsung habis, dapat dibayangkan bagaimana kondisi persediaan pangan penduduk perdesaan, yang sebagian besar terdiri dari petani ‘gurem’ itu. Tak ada sama sekali.   Maka, istilah rawan pangan, rawan daya beli, hingga kelaparan, menjadi sangat akrab di tengah kehidupan masyarakat perdesaan yang masih mengandalkan pertanian sebagai sumber nafkah sehari-hari. Sangat ironis, namun kenyataan memang demikian.

Tradisi memiliki cadangan pangan untuk jangka panjang, sudah hilang karena berbagai sebab. Yang paling utama, adalah karena hasil pertanian sistem intensifikasi dan unggul ternyata tak mampu diolah menjadi bahan-bahan makanan tahan lama, seperti hasil pertanian tradisional dan sederhana “tempo dulu”. Para petani sekarang, jarang lagi menanam padi jenis “ketan”, karena sulit mendapatkan benih yang mampu menyesuaikan dengan kondisi tanah. Padahal dari beras “ketan” itulah, penduduk pedesaan dapat membuat berbagai jenis makanan olahan tahan lama, seperti ulen, opak, rangginang, kolontong, dsb.

Hal yang sama dialami tanaman jagung. Biji jagung unggul (hibryda) tak cocok untuk dijadikan bahan makanan tahan lama dengan cara pengolahan tradisional. Ditumbuk menjadi  tepung, liat dan keras. Harus digiling memakai mesin, membutuhkan bahan baku sangat banyak, dan memerlukan biaya tambahan. Berbeda dengan jagung tradisional, yang bijinya masih dapat didaur ulang untuk menjadi benih baru. Dapat pula dikeringkan dalam bentuk utuh tanpa dikupas. Setelah kering, mudah ditumbuk. Dijadikan tepung bahan baku “kejo jagong” (nasi jagung), yang sangat berguna sebagai pengganti makanan pokok pada musim peceklik. Dapat pula diolah menjadi kue-kue sederhana dan popular sebagai jajanan pasar atau warung, semacam “boder”, atau “jojodog monyet”.

Dari singkong atau ubi kayu, lebih banyak lagi berbagai jenis makanan dapat diolah. Mulai dari singkong segar dibakar, atau direbus. “Beuleum sampeu” atau “bubuy sampeu (dibakar bersama kulitnya), sebagai bahan makanan instan. Ada juga yang dikukus. Diiris-iris terlebih dahulu, ditambahi parutan kelapa. Dinamakan “urab sampeu” yang gurih dan lezat. Cukup menenteramkan perut pada musim “nguyang” (paceklik). Jenis-jenis makanan lain yang berbahan-baku singkong, di antaranya “guik”, “comro”, “gegeplak”, “emplod”. Juga dijadikan “peuyeum” (tapai). Jika tapai dibakar, lalu dikucuri “kinca” (cairan gula merah), dinamakan “colenak”, menjadi sejenis kuliner terkenal dan digemari bukan saja di desa, tapi juga di kota.

Singkong dikeringkan, menjadi “sale” atau “gaplek”, juga berperan sebagai cadangan makanan berharga. Singkong yang direndam berhari-hari, dikeringkan lagi, dinamakan “gatot”, atau diolah menjadi beras singkong” yang dinamakan “oyek”, termasuk  jenis-jenis bahan pangan yang mampu menghindarkan penduduk pedesaan dari jeratan rawan pangan dan kelaparan.

Untuk mengembalikan tradisi memiliki cadangan pangan yang terbuat dari berbagai jenis bahan pangan, dalam jangka panjang, baik padi maupun non-padi, dibutuhkan motivator. Terutama pimpinan daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Mulai dari  gubernur/wakil gubernur, bupati, kepala Dinas Pertanian, hingga penyuluh pertanian yang bertugas di lapangan. Tentu semua harus betul-betul mencintai petani serta memahami problematika pertanian. Terutama mengendalikan  alih fungsi lahan-lahan pertanian, yang berubah drastis menjadi lahan non-pertanian.

Jangan karena generasi masa kini, di abad millenial, sudah terbiasa memakan makanan dan minuman impor, makanan tradisional yang berperan dan berfungsi mencegah rawan pangan, diabaikan.

Dan dalam jangka pendek amat mendesak, memikirkan pelaksanaan “jaring pengaman sosial”. Membantu menyediakan bekal  bagi penduduk yang terkurung stay at home.

Berkat stay home mungkin penyebaran virus Covid 19 dapat dipangkas. Minimal diperlambat. Namun ancaman kekurangan bekal pangan justru akan memuncak. Tak mustahil corona hilang, muncul busung lapar. Na’udzubillah. [  ]

Back to top button