SolilokuiVeritas

Stop Eksploitasi Air Tanah untuk Industri Air Minum Kemasan!

Dunia kini menghadapi krisis air bersih yang akut. Menurut laporan World Resources Institute (WRI), 25 negara di dunia telah menggunakan lebih dari 80 persen pasokan air terbarukan mereka setiap tahun — artinya, nyaris tak ada ruang bagi ekosistem untuk pulih. Dan Indonesia bukan pengecualian. Di bawah bayang-bayang iklim ekstrem dan deforestasi, eksploitasi air tanah mempercepat kerusakan. Tidak ada alasan untuk terus menjarah air tanah. Biarkan ia tetap menjadi milik bumi, bukan bahan baku pabrik. Jika Israel yang tandus bisa memompakan air laut ke gurun, mengapa Indonesia yang dikelilingi laut justru terus menggali air dari gunung? Apakah kita sebodoh itu untuk tidak belajar?

Oleh     : Syarif Bastaman*

JERNIH– Dulu, air bukan barang dagangan. Ia mengalir dari mata air ke sungai, dari sungai ke sawah, dari sawah ke perut bumi, kembali lagi ke langit — sebuah siklus alamiah yang memberi hidup tanpa tanda harga.

Dulu, minum tinggal menadahkan tangan ke pancuran, atau meneguk dari cangkewok di gunung. Sekarang, segalanya berbalik: sungai kering, mata air hilang, tanah merekah, dan manusia — dengan teknologi yang katanya modern — justru jadi penghisap paling rakus dari sumber kehidupan itu sendiri.

Industri air minum kemasan (AMDK), yang menjamur sejak tahun 1990-an, memanfaatkan air tanah sebagai bahan baku utamanya. Mereka menyedot dari perut bumi, mengolahnya dengan teknologi reverse osmosis yang murah, lalu menjualnya kembali dengan harga berlipat-lipat. Air yang semestinya untuk menjaga ekosistem, menumbuhkan rumput, menghidupi binatang, dan menyehatkan tanah, kini dikemas dalam botol plastik, diangkut dengan truk, dipajang di rak minimarket, dan diperdagangkan di bawah cahaya lampu neon. Ironi paling sunyi dari peradaban yang mengaku maju: kita membeli sesuatu yang seharusnya kita jaga.

Kita sering lupa bahwa air tanah bukan hanya milik manusia. Ia bagian dari sistem besar yang menopang seluruh kehidupan. Ketika air tanah disedot tanpa kendali, tanah kehilangan daya lenturnya. Pohon kehilangan air di akarnya. Sungai kehilangan alirannya. Dan manusia kehilangan masa depannya. Di banyak daerah, sungai-sungai kini tinggal jalur berbatu yang menunggu hujan datang untuk sesaat bernapas — sebelum kembali kering, karena di hulu sana, mata airnya telah disedot habis oleh pabrik air minum yang berdiri gagah di kaki gunung.

Fenomena ini bukan hanya cerita lokal. Dunia kini menghadapi krisis air bersih yang akut. Menurut laporan World Resources Institute (WRI), 25 negara di dunia telah menggunakan lebih dari 80 persen pasokan air terbarukan mereka setiap tahun — artinya, nyaris tak ada ruang bagi ekosistem untuk pulih. Dan Indonesia bukan pengecualian. Di bawah bayang-bayang iklim ekstrem dan deforestasi, eksploitasi air tanah mempercepat kerusakan.

Padahal, dunia sudah punya jalan keluar. Teknologi desalinasi — mengubah air laut menjadi air tawar — kini bukan lagi mimpi mahal. Singapura, negeri kecil yang nyaris tanpa sumber air alami, kini memenuhi sekitar 80 persen kebutuhan airnya lewat desalinasi dan daur ulang air. Lima pabrik desalinasi telah beroperasi, dengan target memenuhi sepertiga kebutuhan air nasional mereka pada 2060. Israel bahkan lebih lama lagi: lebih dari lima puluh tahun negara itu menyalurkan air laut yang telah didesalinasi ke hulu sungai dan ke Danau Galilea — yang kemudian menjadi sumber air bagi pertanian dan teknologi irigasi modern mereka.

Artinya jelas: tidak ada alasan untuk terus menjarah air tanah. Biarkan ia tetap menjadi milik bumi, bukan bahan baku pabrik. Jika Israel yang tandus bisa memompakan air laut ke gurun, mengapa Indonesia yang dikelilingi laut justru terus menggali air dari gunung? Apakah kita sebodoh itu untuk tidak belajar?

Bahkan secara ekonomi, desalinasi kini jauh lebih murah dari yang dibayangkan. Ongkos produksinya hanya sekitar 60 persen dari biaya pengolahan air tanah. Teknologi ini juga bisa diterapkan untuk irigasi pertanian, pengisian ulang sungai, bahkan air minum kemasan. Bayangkan: bukan air gunung yang dikuras, melainkan air laut yang diolah — bersih, steril, dan berlimpah.

Air tanah adalah anugerah, bukan komoditas. Ia disediakan Tuhan untuk keseimbangan, bukan untuk dijual. Ketika manusia menyedotnya tanpa henti, ia sesungguhnya sedang menyalakan fitnah terbesar terhadap alam. Karena dari sanalah segala kehidupan berawal — dan di situlah pula ia bisa berakhir.

Sudah waktunya negara bertindak. Batasi izin pengambilan air tanah. Dorong industri beralih ke sumber air laut. Investasikan dana riset pada desalinasi, bukan pada eksploitasi. Jadikan air tanah hanya untuk ekosistem — untuk akar pohon, untuk hewan yang mencari minum, untuk sawah yang menghidupi petani. Bukan untuk rak-rak di minimarket.

Kita sering menyebut diri makhluk berakal. Maka, gunakanlah akal itu. Jangan sampai kerakusan membuat kita kehilangan hal paling sederhana yang membuat kita manusia: kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang mengambil, tetapi juga menjaga.

Seperti kata pelawak Cak Lontong, “Manusia makhluk berakal, bukan? Makanya mikir.” Tapi sebelum berpikir terlalu jauh tentang masa depan industri, pikirkan dulu: bagaimana kalau besok, kita benar-benar kehausan — dan tidak ada air tanah yang tersisa untuk diminum? [ ]

*Syarif Bastaman, Syabaz Energi

Back to top button