Solilokui

Studenten Islam Studieclub: Tunas Gerakan Islam yang Terlupakan*

Oleh : Hanibal W Y Wijayanta

JAKARTA– Studenten Islam Studieclub (SIS) adalah sebuah kelompok diskusi beranggotakan para mahasiswa Muslim di Jakarta. Organisasi ini diprakarsai oleh dua orang sahabat Prawoto Mangkusasmito sejak masa kecilnya, yakni Mohamad Roem dan Jusuf Wibisono.

Secara resmi SIS pada bulan Desember 1934 di Jakarta.[i] Baik Mohamad Roem maupun Jusuf Wibisono adalah tokoh Jong Islamieten Bond. Kedua pendiri SIS adalah pengagum sekaligus murid Haji Agus Salim pula. Kedua tokoh ini juga mengikuti dengan langsung kurva “naik dan landai”-nya Jong Islamieten Bond. Karena itu, baik Mohamad Roem maupun Jusuf Wibisono kemudian menyadari bahwa bahwa di lingkungan pendidikan tinggi (kampus) tidak terdapat wadah khusus untuk mengembangkan intelektualitas para mahasiswa Islam. Keduanya juga menyadari bahwa Jong Islamieten Bond tidak dapat diandalkan lagi untuk “menjamah” dan mewarnai kehidupan intelektual di kampus. Jong Islamieten Bond dapat dikatakan sebagai organisasi di luar kampus sebagaimana halnya Indonesia Muda.[ii]

Jusuf Wibisono dan Mohamad Roem kemudian mulai berpikir untuk membentuk sebuah wadah baru. Kedua tokoh pemuda-mahasiswa ini beranggapan bahwa kepentingan mahasiswa berbeda dengan kepentingan para pelajar sekolah menengah. Karena itu, baik Jusuf Wibisono maupun Mohamad Roem berinisiatif untuk mendirikan sebuah wadah yang akan menjadi gelanggang untuk para anggota Jong Islamieten Bond yang sudah menjadi mahasiswa.[iii] Wadah, “yang dapat menampung hasrat debat ilmiah yang tidak tertampung lagi di dalam Jong Islamieten Bond,” kata Jusuf Wibisono. Atau, wadah “untuk melanjutkan Jong Islamieten Bond di Universitas,” kata Mohamad Roem.[iv] Karena itu pula, tujuan Studenten Islam Studieclub hampir sama dengan Jong Islamieten Bond, yakni mempelajari Islam secara kritis dan dengan toleransi.[v] Maka, pada bulan Desember 1934, wadah baru bernama Studenten Islam Studieclub itu pun, diproklamirkan dalam suatu kesempatan yang sangat sederhana.[vi]

Munculnya organisasi mahasiswa Islam Studenten Islam Studieclub ini, sesungguhnya sudah agak terlambat dibandingkan dengan kelompok-kelompok mahasiswa lainnya. Sebab, sampai tahun 1920, perhimpunan mahasiswa Islam belum terbentuk di Hindia Belanda. Sementara itu, kelompok-kelompok mahasiswa sekuler, kelompok mahasiswa dari etnis Thionghoa, maupun mahasiswa-mahasiswa Kristen dan Katholik, sudah mendirikan klub-klub sosio-politik mereka sendiri. Organisasi mahasiswa yang paling besar adalah organisasi yang berorientasi kepada kebutuhan-kebutuhan rekreatif para anggotanya.

Studenten Corps adalah organisasi mahasiswa yang terbesar anggotanya. Studenten Corpsberanggotakan mayoritas mahasiswa berdarah Belanda. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu jumlah mahasiswa Belanda dua kali lebih besar dari pada mahasiswa Bumiputera. Kegiatan Studenten Corps umumnya adalah kegiatan yang bersifat rekreatif (misalnya pesta dansa, piknik). Calon anggota sebelum diresmikan keanggotaannya menjalani masa perpeloncoan yang keras.[vii]

Pada tahun 1920, dua orang tokoh terkemuka pimpinan Theosofische Vereeniging, Ir. A.H.J. Van Leeuwen dan Ir. P. Fournier membentuk sebuah lembaga perkumpulan pemuda yang diberi nama Dienaren van Indie (Pemuda Hindia).[viii] Kemudian, pada awal tahun-tahun 1920-an, Ta Hsioh, sebuah perhimpunan bagi mahasiswa keturunan Tiong Hoa juga terbentuk. Lalu, pada tanggal 28 Desember 1926, mahasiswa-mahasiswa Kristen mendirikan Christelijke Studenten Vereeniging. Salah satu tokoh Christelijke Studenten Vereeniging yang kemudian muncul di percaturan politik nasional pasca kemerdekaan adalah Johannes Leimena.[ix] Sementara itu, pada tahun 1928, para mahasiswa Katolik mendirikan Katholieke Studenten Vereeniging St. Bellarminus.[x]

Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) juga berdiri pada tahun 1926. Organisasi mahasiswa ini mempunyai kecenderungan membangun semangat kebangsaan (nasionalisme). Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia adalah salah satu pelopor Kongres Pemuda II, pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada tahun 1929 PPPI menerbitkan majalah berkala yang terkenal, “Indonesia Raya”. Tokoh-tokoh PPPI yang tersohor antara lain Soegondo Joyopuspito, Mohammad Yamin, Adnan Kapau Gani, Soemanang, dan Amir Sjarifuddin. Adapun kepengurusan PPPI sampai dengan masuknya balatentara penjajahan Jepang adalah Sujono Hadinoto, Supeno, Cherul Saleh dan Astrawinata.[xi] Di Bandung, mahasiswa-mahasiswa dari Technische Hooge School (THS) seperti Soekarno dan Anwari mendirikan Algemeene Studieclub, yang pada tahun 1927 menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Sementara itu, organisasi mahasiswa Corpus Studiosorum Bandungensis (CSB) telah berdiri sejak tahun 1920.[xii]

Pada tahun 1932, Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) berdiri. Organisasi ini semacam Studenten Corpsversi Indonesia. Kegiatan utamanya adalah memenuhi kebutuhan rekreatif bagi anggota-anggotanya. Seperti halnya Studenten Corps, USI juga menyelenggarakan masa perpeloncoan yang keras bagi para calon anggotanya. Organisasi mahasiswa Unitas Studiosorum Indonesiensismemiliki sebuah clubgebouw (kompleks kegiatan) yang cukup luas di jalan Kramat Raya 45 Jakarta. Unitas Studiosorum Indonesiensis beranggotakan para mahasiswa yang umumnya berasal dari lingkungan elit. Meski bercorak sekuler, USI juga pernah mengundang Haji Agus Salim pada tanggal 16 Maret 1935, untuk memberikan ceramah tentang Islam. Dalam bukunya, Ben Anderson, memasukkan USI sebagai suatu organisasi mahasiswa konservatif yang disponsori Belanda untuk mengimbangi Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang agak radikal.[xiii]

Salah satu tokoh perhimpunan mahasiswa Unitas Studiosorum Indonesiensis yang paling terkemuka adalah Sjafruddin Prawiranegara. Meskipun tidak pernah menjadi anggota organisasi pemuda pelajar maupun mahasiswa Islam seperti Jong Islamieten Bond maupun Studenten Islam Studieclub, Sjafruddin Prawiranegara yang semula dianggap dekat dengan kelompok Sosialis pengikut Sutan Sjahrir, kemudian justru bergabung dengan Partai Masyumi. Bahkan Sjafruddin Prawiranegara pula yang memberikan status kepemilikan clubgebouw Unitas Studiosorum Indonesiensis di jalan Kramat Raya 45, Jakarta, kepada Partai Masyumi. Gedung bekas clubgebouw Unitas Studiosorum Indonesiensis ini kemudian dimanfaatkan oleh Partai Masyumi sebagai Kantor Pengurus Pusat Partai berlambang bulan dan bintang itu.[xiv] Di kemudian hari, Sjafruddin Prawiranegara sempat menjadi Menteri Kemakmuran, Menteri Keuangan, lalu menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada saat Agresi Militer Belanda II. Sjafruddin Prawiranegara kemudian dipercaya menjadi Gubernur Bank Indonesia, sebelum memimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Menurut bekas Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pada masa itu kecenderungan para mahasiswa dapat dilihat dari organisasi kemahasiswaan yang dimasukinya. Organisasi mahasiswa seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan Algemeene Studieclub mengidentifikasi diri sebagai penganut aliran nasionalisme (kebangsaan) yang kuat. Unitas Studiosorum Indonesiensis mengidentifikasi “rasa hayat” social status yang tinggi, begitu juga dengan Corpus Studiosorum Bandungensis. Kecenderungan Unitas Studiosorum Indonesiensisdan Corpus Studiosorum Bandungensis untuk mengelola kegiatan rekreatif adalah manifestasi keinginan bawah sadar mereka untuk mencari afinitas kultral modern.[xv]

Adapun organisasi mahasiswa Studenten Corps dan Ta Hsioh merupakan pengelompokan berdasarkan ras yang sejati. Sedangkan Studenten Christelijke Vereeniging (CSV) dan St. Bellarminus mengidentifikasi pengelompokan berdasarkan keagamaan. Sementara itu, pada tahun 1938, lahir Indonesische Vrouwelijk Studenten Vereeniging(Perhimpunan Mahasiswa Perempuan Indonesia), yang merupakan identifikasi pengelompokan atas dasar jenis kelamin.[xvi]

Karena keterlambatan langkah mereka dibandingkan kelompok-kelompok pemuda-mahasiswa lain yang sudah terlebih dahulu mendirikan organisasi kemahasiswaan sendiri inilah, tampaknya membuat para pencetus ide pembentukan Studenten Islam Studieclub termotivasi untuk melanjutkan proyek historis Jong Islamieten Bond, yakni mengislamisasi kaum terpelajar. Dalam pidato yang diucapkannya pada saat rapat pendirian organisasi mahasiswa muslim ini, Jusuf Wibisono mengatakan:

“Dalam suasana suram seperti sekarang ini, kiranya ada manfaatnya bagi kita untuk merenungkan tentang makna hidu yang mendalam. Apabila kita telah menemukan tentang sebab yang sesungguhnya dari [ada kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia itu, maka kita akan mengambil sikap yang berlainan sekali mengenai semua peristiwa-peristiwa yang kita semua jumpai dlam perjalanan hidup kita…

Berdasarkan antara lain keyakinan, bahwa Islam akan banyak sekali membantu dalam menciptakan tata-tertib dalam kekacauan dewasa ini, maka timbul keinginan kita untuk mendirikan suatu perhimpunan, yang asas dan tujuannya ialah menanamkan pengetahuan tentang Islam.” [xvii]

Jusuf Wibisono kemudian melanjutkan pidatonya, tentang tujuan pendirian Studenten Islam Studieclub: “…[T]ujuan pertama kita adalah mempelajari Islam pada khususnya, dan agama lain pada umumnya. Dengan Islam kita maksudkan, Islam yang dalam ilmu pengetahun disebut dengan perkataan Islamisme. Jadi Islam dalam artikata sebagaimana antara lain diartikan oleh Prof. H.A.R. Gibb: “Islam sebenarnya adalah lebih lagi dari pada suatu ajaran agama: Dia adalah suatu peradaban yang paripurna. Tercakup di dalamnya seluruh himpunan kebudayaan, yang tumbuh sekitar inti dari agama itu, atau dalam beberapa hal berkaitan dengan sedikit banyak perubahan, suatu himpunan dengan penampilan yang elok tentang politik, sosial dan susunan ekonomi, suatu pola tentang hukum, dengan peninjauan etis, sasaran yang berakal, adat kebiasaan berpikir dan berbuat. Selanjutnya mencakup sejumlah rakyat yang berbeda dalam bangsa, bahasa, watak dan kecakapan yang diwariskan…”[xviii]

Setelah menerangkan tentang beberapa hal yang akan dibahas dalam forum Studenten Islam Studieclub yang akan mereka bentuk,Jusuf Wibisono kemudian melanjutkan:   “Tujuan kita yang kedua ialah: Membangkitkan minat untuk mempelajari Islam kepada golongan cendekiawan khususnya, dan kepada lapisan rakyat pada umumnya. Islam di sini mempunyai arti yang sama seperti dalam tujuan kita yang pertama. Yang dimaksud dengan kaum cendekiawan adalah mereka yang sedikitnya telah tamat dari sekolah lanjutan atas. Sebagaimana saya telah mengatakan, maka pengetahuan mereka tentang Islam, adalah sedikit sekali, sangat menyedihkan. Sepintas lalu hal itu tidak mengapa, tetapi akibatnya adalah merupakan gangguan bagi perkembangan yang serasi tanah air kita. Satu pihak berpendapat bahwa Islam itu adalah percuma saja, sedangkan lain pihak berpendapat bahwa Islam tidak cocok lagi dalam rangka jaman modern ini, dan mereka berusaha untuk mencemarkan Islam. Akan tetapi ada suatu ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi: ‘Mereka berkehendak memadamkan Cahaya Allah dengan mulutnya, akan tetapi Allah tidak membiarkan tindakan mereka kecuali hanya menyempurnakan Cahaya-Nya, sekalipun orang-orang yang kafir tidak menyukai…’” (Surat At Taubah: 32).[xix]

Selanjutnya, Jusuf Wibisono menjelaskan secara ringkas, tentang alasan-alasan untuk mendirikan Studenten Islam Studieclub:

1. Keyakinan bahwa agama pada umumnya dan Islam khususnya, mutlak diperlukan bagi masyarakat yang wajar.

2. Kenyataan bahwa di Negara kita Islam adalah agama rakyat.

3. Keyakinan bahwa hanya Islam saja yang mampu untuk menjunjung tinggi tanah air kita dalam jangka waktu pendek serta suatu keserasian di dunia hanya bisa diwujudkan atas dasar ajaran-ajaran Islam.” [xx]

Jumlah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki latar belakang dan akar budaya santri, serta yang memiliki komitmen kuat terhadap Islam, di tengah total populasi mahasiswa yang ada pada masa itu, sangat sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah keterbatasan jumlah ini, Studenten Islam Studieclub lalu melonggarkan syarat keanggotaannya. Kemudian, yang lebih diutamakan oleh Studenten Islam Studiclub, adalah pencapaian tujuan organisasi, seperti yang termaktub di dalam Statuten atau Anggaran Dasar mereka. Dalam artikel yang ke dua di dalam Statuten Studenten Islam Studieclub disebutkan bahwa: “De klub stelt zich ten doel, bestudering van de Islam in de ruimste betekenisvan het woord”. Artinya, perhimpunan Studenten Islam Studieclub menetapkan sebagai tujuannya adalah mempelajari Islam dalam pengertian seluas-luasnya.[xxi]

Formula tujuan organisasi itu diharapkan akan dapat menjangkau sebanyak mungkin mahasiswa untuk menjadi anggota. Oleh karena itu, dalam pasal 5 Statuta Studenten Islam Studieclub, disebutkan bahwa “Ieder student, ongeacht zijn nationaliteit of geloof, kan lid van de klub worden.” Artinya, semua mahasiswa, apa pun kebangsaan dan ideologinya, bisa diterima menjadi anggota perhimpunan ini. Namun pada kenyataannya, jumlah anggota klub mahasiswa muslim ini tetap terbatas. Karena itu, untuk mendorong keikutsertaan para mahasiswa muslim abangan dalam perhimpunan baru ini, maka pada awalnya kedua pemrakarsa Studenten Islam Studieclub itu mengangkat seorang mahasiswa dari kalangan abangan sebagai Ketua yang pertama, yaitu Sudiman Kartohadiprodjo.[xxii]Kecenderungan itu tampak juga dalam penunjukan Suwahjo Sumodilogo sebagai Ketua Umum yang kedua. Dilihat dari nama mereka, kedua orang Ketua Umum Studenten Islam Studieclub ini adalah anak-anak dari keluarga-keluarga priyayi tinggi yang tidak pernah terlibat dalam aktivis Islam sebelumnya.[xxiii]

Dalam catatan seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, George McTurnan Kahin, Jong Islamieten Bond hanya bisa menarik sejumlah kecil pelajar sekolah menengah. Dari sekitar 5.692 orang Indonesia yang berpendidikan menengah Barat pada tahun 1927, total anggota Jong Islamieten Bondhanyalah 1.700, dan tidak semuanya berasal dari sekolah-sekolah menengah.[xxiv] Sementara itu, berdasarkan catatan R. M. Thomas dalam buku A Chronicle of Indonesian Higher Education, terbitan Chopmen Enterprises, Singapura, pada tahun 1940 terdapat sekitar 1.246 mahasiswa di Indonesia.[xxv] Dari sekitar 1.700 pelajar sekolah menengah anggota Jong Islamieten Bond yang kemudian ikut serta dalam beragam aktivitas Studenten Islam Studieclub setelah menjadi mahasiswa, yang berdasarkan perkiraan Prawoto Mangkusasmito, tidak lebih dari 100 orang.[xxvi]

Dari total populasi mahasiswa pada zaman penjajahan Belanda itu, maka jumlah mahasiswa yang berorientasi kepada Islam memang sangat kecil, dan boleh jadi merupakan komponen terkecil dari spektrum kemahasiswaan yang ada pada saat itu. Namun, betapapun kecilnya jumlah mahasiswa yang tergabung di dalam Studenten Islam Studieclub, hal ini menunjukkan bahwa jumlah yang sedikit itu sekurang-kurangnya pada akhirnya memiliki “kesadaran status” dan tanggung jawab masa depan.[xxvii]

Perkembangan organisasi Studenten Islam Studieclub secara kualitatif menunjukkan perkembangan-perkembangan yang menarik. Jika pada awalnya Studenten Islam Studieclub hanya beranggotakan para mahasiswa yang kuliah di Rechts Hooge School (RHS) dan Geneeskundige Hooge School(GHS) di Batavia, maka seiring dengan dibukanya beberapa pendidikan tinggi di Hindia-Belanda pada tahun 1939 – 1940, Studenten Islam Studieclubpun, pada periode kepengurusan Widagdo, dapat mengembangkan sayapnya. Komisaris-komisaris Studenten Islam Studieclub dibentuk di Bestuurs Academie (Akademi Kepamongprajaan), Fakulteit de Letereer (Fakultas Sastra), serta Landbouw Kundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) di Buitenzorg. Dan yang menarik pula adalah, baru pada periode kepemimpinan Widagdo inilah Studenten Islam Studieclub dapat membangun komisaris di Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Tekhnik) di Bandung. Padahal Technische Hooge School sudah berdiri sejak tahun 1920, sementara Studenten Islam Studieclub berdiri sejak tahun 1934.

Sementara itu, setelah empat tahun berdiri, barulah Studenten Islam Studieclub dapat menjamah dan mendapatkan anggota dari Technische Hooge School.[xxviii]

Untuk menarik minat para mahasiswa kepada ide-ide Islam, Studenten Islam Studieclub kemudian mengadopsi sebuah pendekatan ilmiah untuk mengartikulasikan Islam. Maka, pada bulan Maret 1935, Studenten Islam Studieclub menerbitkan sebuah majalah internal bernama Organ van de Studenten Islam Studieclub. Penerbitan majalah bulanan ini kemudian menjadi titik berat kegiatan Studenten Islam Studieclub. Setelah edisi yang kelima, pada tahun II, majalah  Organ van de Studenten Islam Studieclub ini diubah namanya menjadi Moslimse Reveil. Nama baru bagi majalah internal Studenten Islam Studieclub ini diambil dari bahasa Perancis, yang bermakna Kebangkitan Jiwa Orang-orang Islam. Nama ini tetap dipertahankan sampai dengan berhenti terbit menjelang masuknya Balatentara Jepang.[xxix]

Ketika mulai aktif dalam organisasi Studenten Islam Studieclub, pada awalnya Prawoto Mangkusasmito baru menjadi anggota biasa. Kemudian, dalam majalah Moslimse Reveil edisi Oktober – November 1940, posisi Prawoto Mangkusasmito di Studenten Islam Studieclub mulai dicantumkan sebagai Penningmeester, atau Bendahara.[xxx] Lalu, dalam majalah Moslimse Reveil edisi Desember 1940 – Januari 1941, Prawoto Mangkusasmito sudah tercantum di dalam Bestuurs Mededelingen atau Pengumuman Organisasi sebagai Voorzitter atau Ketua.[xxxi]

Pada masa menjadi pengurus Studenten Islam Studieclub ini pula, dunia pers dimasuki oleh Prawoto Mangkusasmito, yakni ketika ia sering menulis artikel yang dimuat di majalah Moslimse Reveil ini.[xxxii] Salah satu artikel Prawoto Mangkusasmito di majalah Moslimse Reveil adalah sebuah tulisan cukup panjang dengan judul “Quo Vadis?” (Mau Ke Mana?). Artikel ini berisi kritik tentang pandangan politik golongan kiri.[xxxiii] Dalam tulisan itu Prawoto Mangkusasmito sudah menunjukkan bakatnya sebagai seorang politisi. Tulisan itu mengritik pendapat seorang penulis Belanda, bernama P. Kersten. Mungkin karena sasarannya adalah orang Belanda, maka Prawoto Mangkusasmito tidak mengungkapkan pandangannya dengan cara yang kasar. Tampaknya, Prawoto Mangkusasmito telah memperhitungkan benar dengan siapa dirinya berhadapan. Sikap ini jelas sikap khas seorang politisi.[xxxiv]

Tulisan Prawoto Mangkusasmito lainnya yang dimuat di majalah internal Studenten Islam Studieclub itu, adalah sebuah kajian tentang ibadah puasa yang berjudul, “Het Vasten” (Puasa). Artikel ini dimuat dalam majalah Moslimse Reveil edisi Oktober 1936.[xxxv] Prawoto Mangkusasmito juga menulis tentang Gerakan Penyedar, organisasi pecahan dari Partai Syarikat Islam Indonesia, dengan judul “Pergerakan Penjadar (Opwekkers Beweging)” yang dimuat dalam majalah Moslimse Reveil edisi April 1941.[xxxvi] Dalam majalah Moslimse Reveil edisi Mei – Agustus 1941, dimuat pula tulisan Prawoto Mangkusasmito yang berjudul Waarom Het Verstand der Schepselen Tekort Schiet in de Kennis Aangaande Allah.[xxxvii]

Selain itu, ada pula ucapan duka cita dari pengurus Studenten Islam Studieclub, serta memoar atas meninggalnya seorang anggota Studenten Islam Studieclub tulisan Prawoto Mangkusasmito. Tulisan pertama dimuat di dalam majalah Moslimse Reveil edisi Desember 1936 – Januari 1937 untuk mengenang Prakoso.[xxxviii] Sementara itu, dalam Moslimse Reveil edisi November 1938, Prawoto menulis sebuah artikel dengan judul “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rodji’oen” untuk mengenang sahabat dan kawan satu in de kost-nya, Moehammad Asiek.[xxxix] Di dalam artikel-artikel yang dimuat di majalah Moslimse Reveil itu, Prawoto Mangkusasmito biasa menggunakan inisial P.M. atau P.M. Sasmito, sebagai nama penanya.

Majalah Moslimse Reveil sengaja dicetak melebihi jumlah anggota Studenten Islam Studieclub. Sirkulasi majalah Moslimse Reveil sebanyak 1000 eksemplar sedangkan anggota Studenten Islam Studieclub kurang dari seratus orang. Memang majalah Moslimse Reveil ini diedarkan pula kepada umum dengan harga 25 sen. Tetapi menurut Hazil, jumlah 1000 eksemplar itu tidak seluruhnya diserap pasar. Hal itu boleh jadi karena isi majalah Moslimse Reveil yang cukup berat. Misalnya artikel tentang “Dante en Islam” dapat diduga tidak begitu mudah dicerna oleh masyarakat awam. Di samping itu majalah Moslimse Reveil menggunakan bahasa Belanda sedang porsi bahasa Indonesianya sedikit sekali, itupun pada nomor-nomor menjelang majalah itu ditutup. Dengan begitu, majalah Moslimse Reveil dapat dikatakan sebagai pembawa misi Studenten Islam Studieclub yang setia, dan bertekad untuk menyebarluaskan pengetahuan Islam di kalangan intelektual. Oleh karena itu mereka menggunakan “bahasa” intelektual, yang tidak dengan sendirinya hal itu harus mengurangi kadar nasionalisme mereka.[xl]

Dalam Studenten Islam Studieclub, Prawoto Mangkusasmito kemudian terpilih menjadi Presiden, atau Ketua Umum ke tujuh. Sementara, secara berturut-turut, Ketua-Ketua Umum Studenten Islam Studieclub adalah: Sudiman Kartohadiprodjo (Desember 1934 – 1935), Suwahjo Sumodilogo (Desember 1934 – Desember 1936), Mohamad Roem (Desember 1936 – Maret 1937), Abdullah Sidik (Maret 1937 – Oktober 1938), Abdul Karim (Oktober 1938 – Juli 1939), Widagdo (Juli 1939 – Desember 1940), dan kemudian Prawoto Mangkusasmito (Desember 1940 – Maret 1942). Prawoto Mangkusasmito adalah Presiden Studenten Islam Studieclub terakhir, sebelum kedatangan balatentara penjajahan Jepang ke Indonesia.[xli]

Ketujuh orang Ketua Umum Studenten Islam Studieclub itu berasal kampus yang sama, yakni Rechts Hooge School. Dari ketujuh tokoh itu, lima diantara mereka berhasil menyelesaikan studi ilmu hukumnya dengan menyandang gelar Meester in de Rechten (Mr). Dua diantaranya tidak berhasil menyandang gelar Meester in de Rechten. Abdullah Sidik kemudian tidak diketahui dengan jelas riwayat hidup selanjutnya, sementara Prawoto Mangkusasmito yang sudah berada di tingkat IV Rechts Hooge School, akhirnya tidak berhasil meneruskan studinya, karena perubahan situasi yang berlangsung begitu cepat ketika Balatentara Pendudukan Jepang masuk dan menduduki Indonesia.[xlii]

*Judul mengalami penambahan dari redaksi Jernih.Co

[i]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda. Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS (’25 – ‘42).  Yayasan Piranti Ilmu. Jakarta. 1990.

[ii]  Ibid.

[iii]  Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. Kasman Singodimedjo 75 tahun. Bulan-Bintang. Jakarta. 1982.

[iv]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[v]  Soebagijo I.N. Jusuf  Wibisono.  Karang  di  Tengah  Gelombang. PT  Gunung  Agung. 1980.

[vi]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[vii]  Ibid.

[viii]  Menurut Mohamad Roem, Dienaren van Indieadalah alat dari Teosofische Vereeniging, sebuah perkumpulan yang hendak membangun nilai-nilai “supra agama” yaitu nilai-nilai yang “mengatasi” sistem nilai agama. Oleh karena itu kalangan Dienaren van Indie tidak pernah mendekati kalangan mahasiswa atau pelajar yang santri. Mereka yang didekati Dienaren van Indie adalah mahasiswa atau pelajar yang mempunyai kecenderungan “non santri.” Lihat Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[ix]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[x]  Yudi Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa. Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Democracy Project. Yayasan Abad Demokrasi. Jakarta. 2012.

[xi]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[xii]  Ibid. hlm 8.

[xiii]  Ibid. hlm 7.

[xiv]  Wawancara dengan H. Ridwan Saidi, Kamis, 13 Desember 2012.

[xv]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[xvi]  Ibid.

[xvii]  Soebagijo I.N. Jusuf Wibisono.

[xviii]  Ibid.

[xix]  Ibid.

[xx]  Ibid.

[xxi]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[xxii]  Ibid.

[xxiii]  Yudi Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa.

[xxiv]  Alfian. Muhammadiyah: The Political Behavior of A Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1989.

[xxv]  R.M. Thomas. A Chronicle of Indonesian Higher Education. Chopmen Enterprises, Singapore. 1973.

[xxvi]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[xxvii]  Ibid.

[xxviii]  Ibid.

[xxix]  Ibid.

[xxx]  Moslimse Reveil. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang V. Oct – Nov. 1940. Sampul depan belakang.

[xxxi]  Moslimse Reveil. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang V. Dec 1940 – Jan 1941. Sampul depan belakang.

[xxxii]  Benedict R.O’G Anderson. Java in a Time of Revolution: Occupation And Resistance, 1944-1946. Equinox Publishing Indonesia. Jakarta. 2006.

[xxxiii]  Moslimse Reviel. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang V. Maart 1941.

[xxxiv]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[xxxv]  Moslimse Reveil. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang II. Oktober 1936.

[xxxvi]  Moslimse Reveil. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang V. April 1941.

[xxxvii]  Moslimse Reveil. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang V. Mei – Agustus 1941.

[xxxviii]  Moslimse Reveil.  Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang II. Des 1936–Jan 1937.

[xxxix]  Moslimse Reveil. Orgaan van de Studenten Islam Studieclub. Batavia. Jaargang III. Nov 1938.

[xl]  Ridwan Saidi. Cendekiawan Islam Zaman Belanda.

[xli]  Ibid.

[xlii]  Ibid.

Back to top button