SolilokuiVeritas

Surat Kepada Rembulan [1]

Kini, politik tak lebih dari ucapan, tradisi lisan, yang lahir dari peradaban paling kuno di Indonesia. Bukan hanya para politikus yang pintar berbicara, melainkan juga merembes ke kalangan rakyat jelata. Hidup di Indonesia, pada akhirnya, hanya sekedar bicara.

Oleh   : Indra J. Piliang*

JERNIH– “Kadang, aku merasa ditampar oleh karya bermutu, lantas pingsan, dan masuk ke dalam karya itu, tanpa bisa mengerjakan apa-apa.”

Begitu pesan yang kukirimkan kepadamu malam itu. Aku baru saja membaca esai Vaclav Havel berjudul “Anatomi Sikap Berdiam Diri”. Sejak beberapa tahun lalu, aku pengagumnya, di samping pengagum penulis-penulis kelas dunia lainnya.

Indra J Piliang

Sebelum aku menjadi penulis seperti yang kau kenal sekarang, pada dasarnya aku seorang pembaca. Aku kadang tak bisa tidur sebelum menyelesaikan bahan bacaanku.

Aku merasa terangkat ke dunia lain, melambung ke angkasa, atau tenggelam di kolam-kolam air mata, juga beragam kepedihan, ketika membaca. Tak semua hal kubaca, karena pada dasarnya aku seorang yang pemilih bahan bacaan, sebagaimana aku juga memilih kawan.

Havel adalah fenomena dunia. Dari seorang esais, dia mampu menjadi presiden Cekoslovakia, lantas menjadi presiden Ceko, ketika berpisah dengan Slovakia. Pilihan liriknya yang paling terkenal adalah “Politik itu kotor, puisi yang membersihkannya.” Kini, menurut berita yang kubaca di internet, dia sakit-sakitan, yakni sakit paru-paru. Ia mampu mengangkat derajat seorang esais menjadi sosok yang memimpin negara.

Memang, untuk Indonesia hal itu bukan fenomenal. Para pendiri republik adalah penulis, bahkan satu generasi sebelumnya. Satu kenyataan yang sering luput dari perhatian kalangan politisi kita, juga dari dunia politik sekarang.

Kini, politik tak lebih dari ucapan, tradisi lisan, yang lahir dari peradaban paling kuno di Indonesia. Bukan hanya para politikus yang pintar berbicara, melainkan juga merembes ke kalangan rakyat jelata. Hidup di Indonesia, pada akhirnya, hanya sekedar bicara.

Bulan, bukan maksudku untuk tak menghargai profesi seseorang. Bukan. Karena sekarang aku juga sering diundang berbicara dan berbicara. Tapi yang ingin kusampaikan kepadamu adalah betapa kurangnya penulis di republik ini, juga karya-karya tulis. Apa yang bisa dihargai dari catatan, ketika catatan itu sendiri tak ada dan pencatatnya juga entah kemana, dari perkembangan apapun di republik ini.

Aku tak tahu berapa persis angkanya, tetapi yang jelas kurang sekali jumlah buku di negeri ini. Perpustakaan di tempatku bekerja dikenal sebagai salah satu perpustakaan terbaik di negeri ini. Sedangkan perpustakaan milik pemerintah yang menerima anggaran negara miliaran rupiah, kebanyakan diisi buku-buku mengenai peraturan atau perundang-undangan.

Juga, aku tak tahu persis berapa judul buku yang terbit per bulan dan per tahun di negeri ini. Aku harus mencari datanya ke perpustakaan nasional, itu pun belum tentu lengkap.

Mungkin juga aku harus pergi ke IKAPI atau penerbit besar dan kecil di seluruh pelosok negeri ini. Begitupun, berapa jumlah koran yang terbit per hari, serta berapa jumlah pembacanya, aku harus tanya ke Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Dewan Pers, atau ke institusi seperti AJI.

Belum lagi soal kualitasnya, juga isinya, akan semakin tergambar betapa Indonesia adalah negeri yang kurang menghargai tulisan.

Bagiku, kondisi ini perlu diperhatikan terus. Sebuah negeri yang dibangun oleh para penulis, tapi kini tak lagi menghormati tulisan, lantas mau disusun ke arah mana?

Terus terang, aku mual menonton tayangan-tayangan iklan dari peserta pemilu. Bagiku, tidak mencerdaskan, hanya eksploitasi keadaan.

Aku juga tak terlalu respek pada begitu banyak kalangan terpelajar, termasuk lulusan luar negeri, tetapi hanya berkarya sesekali dalam hidupnya, yakni skripsi, tesis atau disertasi. Bagiku, kemampuan tertinggi seseorang adalah seberapa kuat dia mampu mengemukakan pikiran lewat tulisan.

Yang lebih menyedihkan, begitu banyak jurnal internasional di dunia ini, tetapi mana orang Indonesianya?

Jangan-jangan, benar kata pepatah, “Orang bodoh makanan orang pintar!” Kerjaan orang pintar hanya minterin orang bodoh. Jadilah, bertumpuk kerusakan menghimpit bangsa ini.

Bagimu, penilaianku itu tentu subjektif, karena aku penulis. Terserah kamu saja, bulan. Aku tak sedang membanggakan profesiku, tapi malah merisaukannya. Yang aku juga risaukan adalah nasib penulis di republik ini.

Siang tadi, misalnya, aku diberitahu betapa sulitnya seorang kawanku mendapatkan uang untuk mengobati adiknya yang sakit tipus. Kawanku itu, seorang penulis yang idealis, tak pernah menjual tulisan, tetapi bekerja keras demi buku dengan spesifikasi yang terbatas pada soal-soal tempo doeloe.

Aku pernah menulis email kepadamu, tentang betapa rendahnya penghargaan kepada penulis di negeri ini. Mereka tak bisa mengandalkan satu-dua tulisan per bulan di koran.

Jangankan untuk membeli buku dan mengadakan penelitian, atau melakukan perjalanan (tetirah) ke tempat-tempat yang pikiran-pikiran bisa tumbuh dari kehidupan, untuk makan saja susah.

Aku juga menerima sejumlah email dari penulis pemula yang tulisan-tulisannya nongol sesekali di media, lantas memilih berkeluarga, tetapi kemudian terpuruk dalam belitan kata : pengangguran terdidik atau pengangguran intelek.

Dan politik, lihatlah bulan, telah menggugurkan pikiran-pikiran intelek. Logika kekuasaan kawin-mawin dengan libido kekerasan. Kau tak akan dipuji oleh bernas dan cemerlangnya pikiranmu.

Sebaliknya, apabila kau punya seribu pasukan berani mati, juga dikelilingi oleh para jawara atau laskar, orang-orang akan menundukkan kepala ketika memandangmu. Inilah bangsa yang telah berkiblat kepada otot, bukan otak. Inilah negeri yang dipupuk oleh beringas massa, bukan nilai-nilai kebebasan individu.

Sungguh, aku merindukan Havel-Havel baru tumbuh di negeri ini. Para pecinta buku, pemrakarsa perdamaian atas dasar kecintaan atas kemanusiaan, para pemegang pena, bukan pengokang bedil dan penembak jitu. Akibat penindasan oleh tentara, bangsa ini lebih menghargai sepucuk meriam ketimbang sebatang pena.

Orang lebih suka hidup di genangan uang, ketimbang deretan huruf dan ukiran tinta yang bercerita tentang hidup dan kehidupan.

Bulan, aku tak ingin memaksamu memikirkan apa-apa yang kupikirkan.

Aku hanya bermaksud membagi jalan pikiranku kepadamu. Aku tahu, kau punya bakat untuk menjadi seorang penulis. Tulisan yang pernah kau berikan menunjukkan betapa kau juga punya kelihaian, kejelian, kegelisan dan rasa muak atas pilihan-pilihan para penguasa.

Aku berharap, suatu saat, kau melepaskan panah-panah beracunmu lewat kalimat-kalimat yang lugas dan tajam, guna memutus lingkaran setan kebodohan yang dipraktekkan oleh orang-orang yang merasa menjadi pemilik tunggal negeri ini.

Selama ini, aku merasa sedang melakukan itu. Tapi entah kenapa, menurut kawan-kawanku, tulisanku makin teknis, kering, dan tidak membawa nuansa baru yang menggugah.

Terus terang, aku lebih menyukai tulisan-tulisanku yang dulu, termasuk tulisan-tulisan ketika aku belum dikenal sebagai penulis koran.

Kadang aku berpikir, “Koq bisa aku berpikir dan menulis seperti ini? Apakah benar yang menulis ini adalah aku?”

Terima kasih, rembulan.

Kau mungkin menganggap itu sebagai soal biasa saja. Tapi bagiku sangatlah mengesankan. Mungkin orang lain akan tertawa mengejekku, lantas berpikir yang tidak-tidak, ketika membaca surat ini. Tapi biarlah. Mereka berhak melakukan itu.

Demikianlah. Surat ini sudah terlalu panjang. Padahal aku ingin menceritakan lebih banyak, termasuk penulis-penulis favoritku, buku-buku yang mengubahku, sampai pengalaman lain yang membuatku memilih menjadi seorang penulis.Lain waktu aku akan menyambungnya dalam surat yang lain. [  ]

*Kepala Sekolah Kampung Millenium

Back to top button