
Bagi generasinya, Suripto muncul sebagai aktivis yang tidak terlalu peduli pada label. Aktivisme baginya adalah tindakan, bukan identitas. Ia membaca keadaan politik bukan sebagai ajang heroisme, melainkan sebagai pertarungan panjang menjaga kewarasan publik. Kepada saya, Suripto pernah mengutip sebuah kalimat lama: “Di negeri ini, yang paling berbahaya bukanlah penguasa yang rakus, tetapi rakyat yang cepat puas.”
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH–Tidak banyak orang yang meninggalkan jejak seperti Suripto. Namanya tidak selalu tercatat di halaman depan sejarah, tetapi langkah-langkahnya membentuk garis bawah dari perjalanan republik ini.
Ia hadir di masa-masa yang serba tegang, ketika negara belum selesai berdamai dengan dirinya sendiri, ketika keberanian lebih sering berwujud kesunyian ketimbang sorak-sorai. Suripto memilih berada di tempat-tempat yang tidak ramai, justru di titik-titik paling sulit, di mana satu keputusan dapat menentukan banyak nasib.
Dalam sejarah panjang aktivisme Indonesia, Suripto adalah semacam anomali. Ia tidak pernah menjadi aktivis yang berteriak dari podium, tetapi ia selalu ada di tempat di mana risiko nyata, bukan retorika, sedang dipertaruhkan. Ia bukan politisi yang mencari sorotan lampu, tetapi ia tahu benar cara bekerja di lorong-lorong gelap kekuasaan. Ia bukan intelejen yang membanggakan misteri, tetapi ia memahami bahwa ada kalanya republik hanya bisa diselamatkan oleh mereka yang bersedia bekerja tanpa tepuk tangan.
Aktivis yang Tidak Pernah Memutus Jarak dengan Nurani
Bagi generasinya, Suripto muncul sebagai aktivis yang tidak terlalu peduli pada label. Aktivisme baginya adalah tindakan, bukan identitas. Ia membaca keadaan politik bukan sebagai ajang heroisme, melainkan sebagai pertarungan panjang menjaga kewarasan publik. Ia belajar bahwa bangsa ini tidak pernah kekurangan orang yang ingin tampil sebagai pahlawan, tetapi sering kekurangan orang yang bersedia bekerja dalam diam.
Kepada saya, Suripto pernah mengutip sebuah kalimat lama: “Di negeri ini, yang paling berbahaya bukanlah penguasa yang rakus, tetapi rakyat yang cepat puas.” Dari kalimat itu saja kita bisa memahami bagaimana ia menempatkan dirinya—bukan sebagai moralist yang menghakimi, tetapi sebagai penjaga kewaspadaan. Ia mengingatkan bahwa demokrasi selalu rapuh di tangan generasi yang letih berpikir.
Dalam diskusi-diskusi kecil, ia sering memperlihatkan ketidak-nyamanannya pada gaya perlawanan yang sentimental. Ia percaya bahwa aktivisme harus memadukan pembacaan struktural dan keberanian moral. Tidak boleh hanya salah satu. Karena bila hanya moral tanpa struktur, ia akan menjadi kemarahan yang mudah padam. Bila hanya struktur tanpa moral, ia berubah menjadi sinisme akademis belaka. Suripto bergerak di tengah-tengah, dan di sanalah ia menemukan dirinya.
Politisi: Seni Mengambil Risiko untuk Kepentingan Publik
Ketika kemudian ia memasuki dunia politik, banyak yang mengira Suripto akan kehilangan ketajamannya. Dunia politik dikenal penuh kompromi, penuh tali-temali kepentingan, dunia yang bisa membuat orang cerdas menjadi pandir dan orang idealis menjadi gamang. Tetapi Suripto justru menunjukkan bahwa politik dapat menjadi alat koreksi, bukan sekadar panggung ambisi.
Ia tidak pernah menjadi politisi yang nyaman. Kursi empuk tidak pernah membuatnya lupa bahwa seorang politisi pada dasarnya bekerja untuk masa depan orang lain. Ketika ia bersuara keras, itu bukan karena ia sedang marah, tetapi karena ia tidak rela melihat republik ini kembali terperosok ke dalam lubang yang sama.
Ada satu ciri yang membuat Suripto berbeda dari mayoritas politisi: ia selalu membawa kecemasan moral dalam setiap keputusan. Di tengah politik yang semakin pragmatis, kecemasan moral sering dianggap kelemahan. Tetapi bagi Suripto, justru itulah kekuatan.
Ia pernah berkata: “Politik tanpa kecemasan moral akan membuat seorang pemimpin kehilangan rasa takut kepada kesalahan.”
Itu sebabnya ia sering berada di garis depan untuk menegur, mengingatkan, dan mengoreksi—baik kepada kawan maupun lawan. Baginya, integritas bukan sekadar kualitas pribadi; ia adalah prasyarat agar negara tetap memiliki fondasi.
Intelijen: Dari Ruang Gelap ke Terang
Sisi lain kehidupan Suripto adalah dunia intelijen. Banyak orang mengenalnya dari peran ini—dunia yang senyap, penuh risiko, dan sering mengubur nama para pelakunya dalam catatan-catatan yang tidak pernah dipublikasikan. Tetapi Suripto berbeda. Ia bukan tipe intelijen yang memelihara ketakutan. Ia lebih mirip seorang analis yang memetakan risiko politik dan keamanan negara, lalu mengartikulasikannya dengan ketenangan seorang ilmuwan.
Dunia intelijen memberinya perspektif yang tidak selalu dimiliki aktivis atau politisi. Ia belajar tentang kejamnya realitas, tentang bagaimana sebuah negara dapat runtuh bukan karena musuh, tetapi oleh kelalaian internal. Ia paham bahwa ancaman terbesar bukan selalu dari luar, melainkan dari budaya politik yang kehilangan disiplin moral.
Namun, yang membuat Suripto begitu dihormati adalah keputusan-keputusannya yang selalu ia dasarkan pada kepentingan publik. Ia menolak menjadikan pengetahuan intelijennya sebagai alat merusak lawan politik. Ia memilih menjadikan informasi sebagai cara memperbaiki negara, bukan merusaknya demi kekuasaan.
Dalam percakapan-percakapan pribadi, ia pernah mengatakan: “Informasi itu seperti pisau. Di tangan orang yang benar, ia memotong belenggu; di tangan orang yang salah, ia membunuh karakter.” Itulah prinsip yang ia pegang sampai akhir.
Jejak Seorang Guru Senyap
Jika harus mencari satu kata yang tepat menggambarkan Suripto, kata itu adalah keteguhan. Ia tidak mudah goyah. Tidak mudah terpesona oleh kekuasaan. Tidak mudah terseret arus. Ia berdiri seperti batu karang yang tidak memusuhi ombak, tetapi juga tidak tunduk pada gelombang.
Banyak orang yang pernah bekerja bersamanya mengenang satu hal yang sama: Suripto tidak pernah membiarkan persoalan politik menginjak kemanusiaan. Ia tidak pernah membiarkan perbedaan pandangan merusak persahabatan. Bahkan ketika ia berseteru secara politik, ia tetap menjaga kemurnian niat. Ia tidak pernah membenci orangnya; ia hanya menolak idenya.
Ciri itu semakin langka di zaman ketika perbedaan pandangan langsung berubah menjadi permusuhan pribadi, ketika argumen politik menjadi alasan untuk saling merendahkan, ketika ruang publik dipenuhi obsesi menang tanpa memikirkan kebenaran.
Suripto mengingatkan kita bahwa keberanian tidak selalu tentang suara keras. Ia juga tentang keteguhan mempertahankan sudut pandang ketika seluruh dunia mendorong ke arah yang sebaliknya.
Bagi banyak generasi aktivis, ia semacam guru yang tidak memaksa. Ia tidak mengajar dengan ceramah; ia mengajar dengan teladan. Ia tidak membesarkan murid; ia membesarkan keberanian. Ia tidak memberi instruksi; ia menunjukkan arah.
Ada banyak kisah kecil tentang Suripto yang tidak pernah masuk berita, tetapi hidup dalam ingatan orang-orang yang pernah disentuhnya. Kisah tentang bagaimana ia datang mendiamkan konflik internal organisasi, bagaimana ia memberi nasihat tanpa pretensi, bagaimana ia mampu menenangkan ruangan yang panas hanya dengan satu kalimat yang jernih.
Dan ada satu kesan yang hampir semua orang bagikan: ia selalu hadir ketika dibutuhkan, tetapi tidak pernah menuntut dihargai ketika tugas selesai.
Warisan Nilai yang Tidak Mudah Hilang
Ketika kita mengenang Suripto hari ini, kita tidak sedang mengenang satu sosok saja. Kita sedang mengenang sebuah cara hidup. Cara memandang negara dengan rasa memiliki, bukan rasa dendam. Cara memperjuangkan kebenaran tanpa ingin menjadi pahlawan. Cara bekerja di titik-titik yang paling sepi, tempat yang tidak dihuni tepuk tangan.
Kita hidup di masa ketika banyak hal bergerak cepat, tetapi arah sering kabur. Ketika teknologi melimpah, tetapi kebijaksanaan menipis. Ketika politik makin keras, tetapi moral makin sunyi. Dalam situasi seperti ini, mengingat Suripto bukanlah sekadar nostalgia. Ia adalah pengingat bahwa republik ini bertahan karena ada orang-orang yang rela berdiri di garis yang tidak populer.
Ia mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa hidup tanpa orang yang berani bersikap. Bahwa politik tidak bisa berjalan tanpa orang yang berani menegur. Bahwa negara tidak bisa diselamatkan tanpa orang yang memelihara kecemasan moral.
Kini Suripto telah pergi. Tetapi orang-orang seperti dia tidak benar-benar pergi. Mereka tetap hidup dalam nilai-nilai yang mereka tinggalkan, dalam keberanian yang pernah mereka tunjukkan, dalam integritas yang mereka pertahankan sampai akhir.
Dalam tradisi Jawa ada ungkapan: “Urip iku urup.” Hidup adalah nyala. Suripto adalah salah satu nyala itu—nyala yang tidak membakar, tetapi menerangi, nyala yang tidak berisik, tetapi menunjukkan arah.
Di tengah hiruk pikuk dunia yang semakin gaduh, nyala itu mungkin tampak kecil. Namun justru karena kecil itulah ia menjadi penting. Pada akhirnya, sejarah suatu bangsa tidak hanya dibuat oleh mereka yang duduk di panggung besar, tetapi oleh mereka yang tetap tegak di tempat-tempat yang gelap dan sunyi.
Selamat jalan, Om Ripto! Engkau telah mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu membutuhkan panggung, dan bahwa integritas adalah satu-satunya warisan yang tidak dapat dicuri oleh waktu. [ ]
Cimahi, 17 November 2025






