
Di sela-sela ringkih itu, anugerah tetap mengetuk—pelan namun menyibak hikmah. Dari hari-hari yang melelahkan, sebuah buku menemukan jalan kelahiran: “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” Ia ditulis bukan dari posisi yang gagah, melainkan dari ketundukan; dari kesadaran bahwa cinta pada negeri tak pernah bebas dari tanggung jawab untuk merawatnya.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, petualangan tahun ini seperti mengarungi laut bergelombang: pencapaian melalui rintangan terjal. Tubuh terasa ringkih, dibelit rasa sakit, seolah hidup mengingatkan bahwa kita hanyalah peziarah rapuh yang tak sepenuhnya berkuasa atas raga. Hari-hari dijalani dengan jeda, doa, dan kesabaran yang dipelajari ulang dari pangkalnya: bernapas.
Namun di sela-sela ringkih itu, anugerah tetap mengetuk—pelan namun menyibak hikmah. Dari hari-hari yang melelahkan, sebuah buku menemukan jalan kelahiran: “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” Ia ditulis bukan dari posisi yang gagah, melainkan dari ketundukan; dari kesadaran bahwa cinta pada negeri tak pernah bebas dari tanggung jawab untuk merawatnya.
Buku itu adalah ikhtiar mensyukuri karunia cerlang Nusantara: bentang laut dan gugus pulau, sejarah perjumpaan, serta peran sunyi Indonesia dalam menenun kehidupan dunia. Syukur yang tak berhenti pada kekaguman, melainkan bergerak menjadi panggilan etis—memakmurkan yang rapuh, menjaga yang rawan, dan menahan diri dari merusak yang diwariskan.
Waktu kemudian menghadirkan cermin yang getir. Saat longsoran tanah menyapu permukiman dan hujan menggerus lereng-lereng telanjang, buku itu menemukan relevansinya yang paling sunyi sekaligus paling lantang. Peringatan dalam bagian Hutan Tropis Indonesia dan Signifikansinya bagi Dunia menjelma kenyataan pahit: penggundulan hutan dan hilangnya tutupan hijau akibat keserakahan tangan manusia. Ketika hutan disingkirkan, alam tak pernah diam; ia menagih keseimbangan dengan cara yang menyakitkan.
Tak pernah disangka, gema buku ini menjangkau hati yang beragam. Ia disambut hangat, dibaca lintas usia, bahkan menembus jantung pembaca belia—pelajar SMP dengan mata ingin tahu dan hati yang sedang tumbuh. Di sanalah harapan berdiam.
Maka tahun penuh ujian ini tak hanya meninggalkan lelah, tetapi makna: bahwa dari tubuh yang rapuh, kesadaran masih dapat ditumbuhkan; bahwa dari sakit, syukur menemukan suara; dan bahwa hidup—betapapun ringkih—tetap dapat menjadi jalan kecil untuk merawat Indonesia, dengan kata, dengan tanggung jawab, dan dengan cinta yang berjaga. [ ]






