Tentang Gus Dur, Bangsawan Jawa dan Cuci Piring
Penampilan Kiai Wahid, tanpa teks, dalam bahasa Inggris, memang memukau civitas academica Monash.
Oleh : Fachry Ali
JERNIH– Mei 1991 saya sampai ‘kembali’ ke Monash University, Melbourne, Australia. Kata ‘kembali’ adalah karena Januari atau Februari tahun itu, saya diundang menjadi pembicara dalam sebuah seminar di universitas yang sama.
Mohamad Shobary, dua tahun lebih awal dari saya, berbaik hati, bukan saja menjemput di airport, melainkan menampung di flatnya selama dua pekan. Kepada saya, Shobary bilang,”Kamu harus cari rumah yang besar. Gus Dur akan datang. Kasihan kalau ia diinapkan di asrama.”
Maka dengan berjalan kaki di musim dingin, Shobary menemani saya mencari tempat tinggal yang ‘layak’. Dalam arti, kelak Kiai Abdurrahman Wahid betah.
Pencarian ini berhasil. Sebuah rumah empat kamar di 31 Cambro Road, Clayton, Melbourne. Di samping halaman depan, rumah itu berhalaman belakang cukup luas —denga pohon apel dan peer. Sayangnya, Shobary harus segera pulang dan karena itu tak sempat bertemu Kiai Abdurrahman Wahid kali ini.
Maka, bersama Mbak Siti Nuriyah, Kiai Abdurrahman Wahid tinggal di tempat kami selama tiga pekan di Clayton, dekat kampus Monash.
Ada tiga hal yang mau saya ceritakan. Pertama, adalah ucapan Kareen, seorang administrator Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. “I give him seven stars,” katanya tentang kualitas Kiai Wahid. John Legg, Herbert Feith serta lainnya yang hadir dalam rapat acara Kiai Wahid di kampus, mendukung. Penampilan Kiai Wahid, tanpa teks, dalam bahasa Inggris, memang memukau civitas academica Monash.
Kedua, ‘berkah’ Kiai Wahid dan isteri tinggal di rumah saya, adalah tamu yang berdatangan hampir tiap malam dalam jumlah lebih dari 15 orang. Greg Barton dan Greg Fealey termasuk di antara mereka. Kareen hingga memberikan A$100 kepada saya untuk membatu biaya penganan dan minuman para tamu.
Ketiga, ketika tamu tidak ada, Kiai Wahid yang saya panggil ‘Cak Dur’ —ekuvalen dengan ‘Cak Nur’ karena sama-sama dari Njombang— berkata: “Ry, ayo kita sewa film.”
Maka, kami bergerak berdua ke tempat penyewaan film. Kiai Wahid sendiri yang memilih. Biasanya, saya hanya mampu menemani Kiai Wahid nonton hingga pukul 1 pagi. Saya pamit tidur dan Kiai Wahid —sambil bergolek di atas karpet— melanjutkan nonton sendiri.
Keempat, kami ke kampus dengan mobil Chrysler kuning muda saya. Dan selalu Kiai Wahid berkomentar ketika sudah duduk di dalam mobil. “Saya kalau naik mobil Fachry, kayak bangsawan Jawa.”
Saya hanya tertawa. Sambil menyetir, saya melirik Kiai Wahid memegang ujung seatbelt dengan tangan kirinya ke bawah. Sebab, seatbelt-nya terlalu pendek. Lalu saya berkata, “Harus pegang keris terus ya?”
Kami berdua tertawa lepas. Itulah yang dimaksud ‘kayak bangsawan Jawa’. Di kampus, kami berpisah. Sore hari, saya pulang dan mendapati Kiai Wahid sedang nonton tv. Satu kunci memang saya berikan kepadanya. Dan saya langsung bergerak ke dapur untuk cuci piring. Tapi apa yang saya lihat?
Semua piring sudah tercuci dan masih ada tetesan air di sekitar rak piring. Saya kembali ke ruang tamu. Saya tersenyum. Kiai Wahid tersenyum juga. Seakan-akan ingin mengatakan: “Enggak usah repot-repot cuci piring. Sudah saya lakukan sebelum kamu pulang.”
Tak menyangka, delapan tahun kemudian Kiai Wahid menjadi Presiden negara terbesar di Asia Tenggara. Mustinya, piring-piring sentuhan Presiden Abdurrahman Wahid itu saya simpan sampai kini. [ ]