The Green Queen Nana Firman yang Rajin
Tahun 2015 Nana ikut mengorganisasi Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Global di Istanbul, Turki. Deklarasi itu menyatakan 1,6 miliar umat Islam—saat itu—turut memikul tanggung jawab menghadapi perubahan iklim. “Saya merasakan bahwa kaum Muslimin kurang menjadi duta lingkungan dari ajaran Islam. As Muslims we don’t do a good to be examples and leading the green movement padahal Rasulullah Saw, the greenest person on earth,” katanya.
Oleh : Akmal Nasery Basral
JERNIH—Sosok perempuan Indonesia yang namanya berkibar di dunia internasional semakin banyak dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah Nana Fitriana Firman, 51 tahun, salah seorang pendiri Global Muslim Climate Network dan Senior Ambassador di GreenFaith, organisasi jejaring lintas agama untuk pelestarian lingkungan hidup dan penanggulangan krisis iklim.
Perempuan berdarah Minang ini bermukim di Riverside, California, sejak 2012, bersama suaminya Jamal Yusuf Ali, seorang veteran marinir Amerika Serikat.
Ketika saya hubungi dua hari lalu untuk topik SKEMA [Sketsa Ramadhan] hari ini–bertepatan dengan Hari Kartini—Nana bilang sedang sibuk sampai weekend. “Muslim, non-Muslim, semua requests. Jadwal saya padat sekali karena Hari Bumi—jatuh pada Jumat, 22 April, besok—jadi banyak sesi back to back. Plus harus menyiapkan materi,” katanya sembari menginformasikan sedang bersiap-siap menjadi pembicara di Santa Clara University, sebuah kampus swasta Katolik. Topik yang dikulik “Spirit Moving: Interfaith Panel on Climate Action” dengan panelis selain dirinya (perspektif Islam) adalah Michal Strutin (Yahudi) dan Anna Robertson (Katolik).
Penerima penghargaan Alfredo Sirkis Memorial Green Award (2020) dari mantan Wakil Presiden AS Al Gore dan White House Champion of Change (2015) yang diberikan langsung oleh Presiden Barack Obama di Gedung Putih ini memang sudah kepincut mendalami lingkungan hidup sejak kecil. “Saya anak perempuan hutan (daughter of the forest) dan percaya bahwa masa depan hutan sangat menentukan masa depan bumi kita,” kata Nana mengenang kelahiran di Jambi dan masa kecil yang dihabiskannya di lingkungan hijau asri.
Setelah itu keluarganya pindah ke Jakarta, kota di mana Nana merasakan kekaguman dan keprihatinan berbaur jadi satu. “Arah pembangunan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia mencemaskan karena kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dengan sungguh-sungguh,” katanya. Maka lulus SMA dia putuskan menimba ilmu bidang Industrial Design (Desain Industri) di Universitas Bridgeport, Connecticut, dan melanjutkan S2 bidang Urban Design (Desain Perkotaan) di Pratt Institute, New York.
“Ketika terjadi tsunami Aceh dan Nias pada 2004 saya diberi kesempatan oleh lembaga konservasi terbesar di dunia yakni WWF ( World Wildlife Fund) untuk memimpin Rekonstruksi Hijau selama masa pemulihan pasca bencana,” katanya. Nana dan tim mengembangkan inisiatif adaptasi dan mitigasi iklim.
“Kondisi di Aceh pasca tsunami sangat parah. Sekitar 500.000 penduduk kehilangan rumah. Semua ingin punya rumah secepatnya dan program pemulihan dikebut. Tapi pembangunan rumah membutuhkan kayu dari hutan. Tugas saya untuk menjaga agar kebutuhan besar itu tidak mengganggu keseimbangan ekologis dan lingkungan tidak terganggu,” lanjutnya. Untuk itu Nana pun melibatkan para pemuka agama Islam setempat dalam membuat rencana ketahanan (resilience) iklim dan lingkungan.
Rekonstruksi Hijau membuat Nana tak hanya menggunakan referensi lingkungan hidup berdasarkan khazanah literatur Barat yang selama ini digelutinya, melainkan juga menyelami samudera ajaran agama Islam, khususnya fiqh bi’ah (fikih lingkungan hidup) sebagai inspirasi.
Program Rekonstruksi Hijau mendapat pujian dan pengakuan dunia internasional sehingga diduplikasi oleh Pemerintah Pakistan dan Haiti, saat kedua negara mengalami gempa besar masing-masing pada tahun 2008 dan 2010.
Selesai kerja di Aceh, Nana mengonsentrasikan diri untuk menyampaikan pandangan Islam tentang pada beragam fora internasional baik di Amerika Serikat atau di luar AS. Nana terlibat aktif dalam program Green Masjid (Masjid Ramah Lingkungan) yang diinisiasi Islamic Society of North America (ISNA), organisasi induk yang memayungi organisasi-organisasi Islam di AS dan Kanada.
Dia juga menjadi pembicara di TEDX Nantes (Prancis), Januari 2013. Salah satu poin yang disampaikannya adalah, “Saya menyadari setelah berkiprah beberapa tahun di bidang ini ternyata saya mempraktikkan keimanan saya. Saya selalu percaya bahwa kita umat manusia adalah para penjaga kelestarian bumi. Maka umat beragama harus bekerja sama secara harmonis,” ujar salah seorang ketua Muhammadiyah cabang USA ini.
Tahun 2015 Nana ikut mengorganisiri Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Global di Istanbul, Turki. Deklarasi itu menyatakan 1,6 miliar umat Islam—saat itu—turut memikul tanggung jawab menghadapi perubahan iklim. “Saya merasakan bahwa kaum Muslimin kurang menjadi duta lingkungan dari ajaran Islam. As Muslims we don’t do a good to be examples and leading the green movement padahal Rasulullah Saw, the greenest person on earth,” katanya.
Nana melihat masih banyak kaum Muslimin yang mubazir dalam penggunaan air. “Padahal Rasulullah sudah mengingatkan kepada Sahabat bahwa berwudhu di air mengalir seperti sungai pun tidak boleh menghambur-hamburkan air,” katanya. Belum lagi mubazir di bidang makanan (food waste) dan tingkat kebersihan yang rendah akibat kebiasaan buang sampah yang masih sembarangan. “Ini beberapa PR umat Islam di tingkat individual dan komunitas.”
Sementara di tingkat negara—terutama untuk negara-negara Muslim kaya raya dari BBM fosil—yang sering tidak peduli pada peningkatan emisi gas, Nana selalu mengampanyekan pentingnya enerji terbarukan menjelang pertengahan abad ke-21. “Negara-negara kaya juga punya kewajiban moral meningkatkan bantuan keuangan kepada negara-negara miskin yang rentan menghadapi perubahan iklim,” ujarnya. Salah satu indikator kerentanan itu adalah seringnya longsor, banjir, gagal panen, dan memburuknya kualitas lingkungan hidup.
Hasil dari Deklarasi Istanbul adalah berdirinya Global Muslim Climate Network. Peresmian GMCN berlangsung di Markas Besar PBB di depan Presiden Sidang Umum, Mogens Lykketoff. “Islam mengajarkan kita bahwa manusia hanyalah seorang penatalayan (steward) yang memegang apa pun yang ada di bumi sebagai amanah,” ujar Nana Firman sebagai Co-Chair GMCN yang juga menyebut dirinya sebagai aktivis jejak karbon (footprint carbon activist).
Nana pun memegang jabatan penting sebagai direktur Urusan Muslim dan Duta Besar Senior (Senior Ambassador) di GreenFaith, sebuah gerakan lingkungan dan iklim yang bersifat lintas iman lintas keyakinan, berkantor pusat di New York City.
Di lembaga ini Nana menemukan mitra berbagai tokoh dan aktivitis lintas agama. “Saya melihat bahwa semua agama itu punya kepedulian terhadap lingkungan, terhadap bumi yang kita tempati bersama. Sehingga program-program yang mempertemukan komunitas-komunitas antaragama untuk lingkungan harus lebih dipersering dan kualitas program bersama harus terus juga ditingkatkan. Semakin harmonis hubungan antaragama yang ditunjukkan melalui kerja sama para aktivis lingkungan akan semakin mudah bagi kita untuk mengedukasi dan menginspirasi umat masing-masing,” paparnya.
Salah satu faktor penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik adalah kebijakan pemerintah dan menyiapkan generasi muda yang lebih sadar lingkungan.
Untuk Pemerintah Indonesia, Nana mengharapkan dilakukannya beberapa tindakan nyata seperti (1) Revisi total UU yang melegitimasi energi kotor dan penghancuran HAM seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, (2) Komitmen untuk hentikan penambangan batu bara dan membangun PLTU, (3) Terobosan penggunaan energi bersih dan terbarukan dari sisi policy dan financing, (4) Menghentikan izin pemanfaatan industri yang menyebabkan deforestasi, (5) Menghentikan pengalihan hutan menjadi perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, (6) Berikan hak masyarakat adat untuk mengelola hutan dan laut secara lestari, bukan kepada pengusaha yang hanya merusak masa depan bangsa, (7) Stop impor pangan dan (8) Kampanyekan diversifikasi pangan dan mempopulerkan pangan-pangan lokal sesuai budaya masing-masing wilayah.
Sementara untuk menyiapkan generasi muda yang lebih peduli lingkungan, Nana melihatnya harus dimulai dari rumah. “Orang tua harus mendidik mereka agar tidak membuat kerusakan di muka bumi dan berjalan dengan lemah lembut selama hidup di dunia (QS 25: 63),” katanya. “Tanamkan juga nilai-nilai bahwa bumi ini adalah masjid sehingga merawat bumi harus seperti merawat masjid.”
Adapun program nyata untuk menumbuhkan kepedulian pada generasi muda itu adalah dengan mengajari mereka menanam dan merawat tumbuhan di rumah juga untuk memelihara hewan. “Ini akan melatih tanggung jawab anak-anak mencintai alam sehingga mereka paham konsep alam sebagai ayat-ayat Allah—ayat-ayat kauniyah—sehingga ketika ada spesies yang punah akibat perilaku manusia itu sama halnya dengan menghapus ayat di dalam Al Qur’an,” katanya.
Dalam COP26—nama populer dari UN Climate Change Conference–di Glasgow, Skotlandia, November 2021, Nana Firman ikut hadir sebagai Senior Ambassador GreenFaith. “Delapan puluh persen penduduk dunia mengaku beragama (people of faith). Semua agama mengajarkan agar kita peduli kepada kelestarian planet, kepada penciptaan dan kepada manusia sebagai sesama makhluk Tuhan. Boleh dibilang selama ini kita belum mendiskusikan masalah lingkungan dari perspektif ini,” katanya. “Karena itulah pentingnya GreenFaith hadir di sini agar suara kami juga didengar.”
Dengan kesibukan global seperti itu tak mengherankan jika kawan-kawannya menjuluki Nana sebagai Ratu Hijau (“The Green Queen”). “Akibatnya suami saya yang mantan marinir AS itupun lebih concern dengan isu lingkungan hidup sejak menikah dengan saya. Teman-temannya sampai meledek,”Pantas saja karena he is married with a Green Queen,” ungkap Nana tergelak.
Kini kisah hidup Nana Firman–bersama 19 Environmental Defenders (Pejuang Lingkungan Hidup) berbagai kebangsaan lainnya–diabadikan dalam buku berjudul “One Earth: People of Color Protecting Our Planet” (2020). Ini buku anak-anak yang sangat inspiratif dan ilustratif karya Anuradha S. Rao yang juga salah seorang aktivis lingkungan hidup terkemuka.
“Memang buku ini dibuat dalam format menarik dan mudah dibaca bagi anak-anak karena Rao ingin semakin banyak anak-anak di seluruh dunia terinspirasi untuk menjadi pejuang lingkungan hidup terlepas dari apapun latar belakang etnis, keyakinan dan jenis kelamin mereka,” ujar Nana.
Nah, Anda para orang tua muda yang berbahagia dengan anak-anak lucu, atau Anda para orang tua sepuh yang sudah punya cucu, lengkapi perpustakaan keluarga di rumah dengan buku karya Anuradha Rao itu agar semakin banyak Nana Firman berikutnya dari Indonesia di masa depan. Para “Green King-Green Queen” yang akan membuat kelestarian dan keharmonisan lingkungan hidup kian terjamin. [ ]
*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.