Solilokui

Titik Kuat Ketahanan Pangan

Jika diperhatikan struktur pangan masyarakatnya, komposisi pangan penduduk Indonesia relatif tidak beragam dan sangat didominasi oleh beras. Sedangkan konsumsi gandum masih relatif kecil dibandingkan beras, lagi pula tidak diproduksi dalam negeri. Hal ini berbeda dengan Cina atau India yang mengkonsumsi dan memproduksi gandum dan beras dalam jumlah yang relatif berimbang.

Oleh   : Entang Sastraatmadja*

JERNIH– Pangan merupakan komoditas yang strategis, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis dan ekonomi, tetapi pangan juga sangat berarti dari sisi pertahanan dan keamanan, sosial dan politis.

Berbagai contoh yang telah kita alami pada masa awal Orde Baru dan pengalaman bekas negara adidaya Uni Sovyet menunjukkan bahwa ketahanan dan ketenteraman sesuatu negara antara lain ditentukan oleh ketersediaan pangan, dan karenanya pangan tak dapat diabaikan dalam kebijakan ekonomi suatu negara.

Sebagai kebutuhan pokok manusia, penyediaan pangan tidaklah dapat ditangguhkan, meskipun sesaat. Ketidakcukupan pangan potensial memiliki dampak negatif yang dapat menggoncangkan ketahanan nasional dan kenyamanan hidup masyarakat. Sebaliknya, tersedianya pangan yang sesuai dengan kebutuhan dan terjangkau oleh daya beli masyarakat akan memberikan dukungan terhadap “kemantapan” nasional di bidang ekonomi dan politik, karena dari padanya terbentuk rasa aman bagi masyarakat.

Dibandingkan dengan negara berkembang lain, posisi Indonesia dalam pangan global adalah unik. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.

Akan tetapi, jika diperhatikan struktur pangan masyarakatnya, komposisi pangan penduduk Indonesia relatif tidak beragam dan sangat didominasi oleh beras. Sedangkan konsumsi gandum masih relatif kecil dibandingkan beras, lagi pula tidak diproduksi dalam negeri. Hal ini berbeda dengan Cina atau India yang mengkonsumsi dan memproduksi gandum dan beras dalam jumlah yang relatif berimbang.

Di satu sisi keadaan produksi dan konsumsi di Indonesia di atas, memberi alasan politis yang sangat kuat bagi upaya “kemandirian pangan” dengan peningkatan produksi beras yang memperoleh prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Hasilnya memang sangat menggembirakan. Produksi beras Indonesia tumbuh cepat dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding negara-negara produsen beras seperti Thailand, Cina dan India. Namun di sisi lain, pola konsumsi yang didominasi beras, ini juga memiliki kelemahan karena rawan apabila terjadi gangguan pada produksi beras domestik.

Terlebih lagi apabila dikaitkan dengan sifat pasar beras internasional yang “ramping” (thin market), yang harga berasnya sangat peka terhadap perubahan persediaan dan permintaan oleh suatu negara, terutama negara besar seperti Indonesia.

Sebagaimana yang kita maklumi, sasaran pembangunan pangan kita di masa depan adalah pertama, semakin mantapnya ketahanan pangan yang dicirikan oleh terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara dinamis; kedua, terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap bahan pangan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan ketiga, mantapnya kelembagaan pngan yang tercermin dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan, yang juga dapat memberikan dasar hokum yang lebih mantap bagi pelaksanaan koordinasi pembangunan pangan.

Untuk itu, kebijakan yang ditempuh adalah berupaya memantapkan ketersediaan pangan, meningkatkan ketahanan pangan, memantapkan harga pangan dan meningkatkan keamanan dan mutu pangan, di samping juga terus mengembangkan penganekaragaman konsumsi pangan dan pengembangan kelembagaan pangan.

Ketersediaan pangan (food availability) yaitu terjaminnya penyediaan pangan secara nasional, baik dari dalam negeri maupun impor bila dibutuhkan. Produksi dalam negeri merupakan unsur yang dominan, sedangkan impor hanya bersifat tambahan bila produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan. Pada aspek ketersediaan pangan ini perlu dilihat bahwa upaya memantapkan swasembada pangan perlu dilihat dalam dimensi yang luas dengan tetap mempertimbangkan aspek efesiensi nasional, keunggulan komparatif dan kompetitif serta kebijaksanaan ekonomi makro.

Dalam konteks tersebut dan efesiensi sumber daya, maka upaya mendorong produksi dalam negeri menuju swasembada pangan perlu dipandang secara hati-hati, sehingga kita tidak perlu terjebak dalam pemahaman swasembada absolut, yang tidak memperkenankan impor barang meskipun pada saat terjadi kekurangan. Sesuai dengan sifat produksi pertanian, pengertian yang digunakan hendaknya mengacu kepada konsep ‘swasembada on trend’, yang tetap memberi peluang impor dan ekspor.

Ketahanan pangan (food security) yaitu terjaminnya ketahanan pangan yang mampu mengatasi gejolak ketidak-pastian. Jika di masa lalu kita telah berhasil mewujudkan ketahanan pangan di tingkat makro, maka mulai sekarang kita dituntut untuk mampu mewujudkan ketahanan pangan di tingkat mikro.

Pada skala makro, ketahanan tersebut dapat berupa cadangan pangan yang berada di tangan Pemerintah, baik dalam bentuk fisik pangan yang tersedia di gudang atau bentuk uang/barang yang dapat digunakan untuk membeli/impor pangan, atau pun dalam bentuk “hutan suaka pangan”. Sedangkan pada tingkat mikro, ketahanan pangan dapat berada pada tingkat rumah tangga, berupa akses rumah tangga untuk memperoleh pangan, atau dalam bentuk lumbung-lumbung desa.

Pengaturan harga pangan (food price regulation) yaitu terjaminnya tingkat harga pangan yang mampu mengurangi gejolak harga dan meredam laju inflasi yang tidak menguntungkan bagi perekonomian nasional. Aspek harga pangan adalah sisi yang semakin penting, karena harga dapat mempengaruhi keputusan produsen dan konsumen, dan ini sangat berpengaruh dalam mengupayakan kecukupan pangan maupun dalam rangka penganekaragaman pangan.

Selanjutnya dalam pengendalian harga tersebut, aspek distribusi juga memiliki kedudukan penting dalam implementasi kebijakan harga dan penyebaran pangan agar secara merata terdistribusi ke seluruh pelosok tanah air. Untuk mendorong distribusi pangan yang efesien, peranan mekanisme pasar yang sehat perlu terus dikembangkan, dimana peranan intervensi Pemerintah hanya dilakukan bilamana terjadi distorsi-distorsi yang merugikan masyarakat.

Keamanan dan mutu pangan (food quality and safety), yaitu terjaminnya mutu pangan dengan gizi seimbang dan aman dari bahan-bahan yang membahayakan kesehatan. Perwujudan aspek ini merupakan pekerjaan yang sangat berat, karena masalah keamanan dan mutu pangan sangat terkait dengan setiap tahap dalam proses produksi, pengolahan dan distribusi sampai ke tangan konsumen. Bahkan hal tersebut juga harus mampu menjamin keselamatan sampai setelah makan (tidak menimbulkan penyakit) serta keselamatan sesuai nilai-nilai yang dianut masyarakat (keselamatan syariah).

Penganekaragaman pangan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu gizi makanan dengan pola konsumsi yang lebih beragam atau usaha untuk lebih menganekaragamkan jenis konsumsi dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya.

Pengertian penganekaragaman pangan dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, penganekaragaman horizontal, yaitu upaya untuk menganekaragamkan konsumsi yaitu dengan memperbanyak macam komoditas pangan dan upaya meningkatkan produksi dari masing-masing komoditas tersebut.

Sebagai contoh, pengaturan komposisi makanan sehari-hari kita di samping beras, juga umbi-umbian, sagu, kacang-kacangan, ikan, sayur, buah dan lain-lain. Kedua, penganekaragaman vertical, yaitu upaya untuk mengolah komoditas pangan, terutama non beras, sehingga mempunyai nilai tambah dari segi ekonomi, nutrisi, maupun social. Misalnya mengolah jagung menjadi corn flake, ubi kayu diolah menjadi berbagai macam makanan, baik makanan pokok maupun jajajan, seperti misalnya keripik (cassava chips).

Kelembagaan pangan penting untuk dijadikan pilihan kebijakan. Sebab, pengembangan kelembagaan pangan sendiri pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, diversifikasi pangan serta persoalan pangan lainnya. Permasalahan yang sering dihadapi selama ini seperti menurunnya produksi, kualitas yang kurang memuaskan dan harga yang kurang memadai, terutama nilai tukar petani yang kurang sesuai, antara lain perlu ditangani melalui penataan dari sisi kelembagaan.

Dengan penataan kelembagaan, diharapkan para petani dapat meningkatkan peran-serta, efesiensi dan produktivitasnya dalam pengadaan pangan. Penataan kelembagaan ini harus dilakukan untuk keseluruhan proses, mulai dari produksi, pengolahan sampai pemasaran.

Kelembagaan pada sisi Pemerintah diharapkan mampu menangkap dengan lebih seksama berbagai gejala masalah pangan yang ada di lapangan serta menciptakan mekanisme koordinasi dan keterpaduan yang lebih efektip. Lembaga-lembaga Pemerintah yang terkait dengan pengadaan pangan, diharapkan dapat selalu berdiri di sisi petani untuk menyelamatkan, mengamankan dan mengawal produksi para petani, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidupnya.

Kebijakan pangan yang demikian, pada dasarnya merupakan sebuah antisipasi yang tidak terlepas dari keberhasilan pembangunan yang diraih selama ini maupun akibat pengaruh globalisasi yang terus menggelinding sekaligus mendorong timbulnya berbagai pergeseran dalam aspek produksi dan konsumsi pangan. Pergeseran tersebut pada gilirannya menuntut suatu antisipasi atas orientasi dalam pembangunan pangan, yang meliputi : pertama, orientasi dari swasembada beras menjadi orientasi swasembada pangan; kedua, orientasi pemenuhan kuantitas pangan menjadi orientasi yang semakin menekankan kepada kualitas pangan; ketiga, orientasi distribusi untuk mengatasi kelangkaan pangan menjadi orientasi pemasaran yang menekankan efesiensi untuk mengatasi kelebihan dan keempat, orientasi konsumsi karbohidrat menjadi orientasi penganekaragaman pangan untuk memenuhi mutu gizi.

Pada sisi lain dipahami pula bahwa pangan adalah pekerjaan rumah kita bersama. Pangan tidak mungkin hanya dikerjakan sendiri oleh Kementerian Pertanian atau hanya oleh Perum BULOG semata. Kegiatan pembangunan pangan mencakup lintas bidang dan lintas sektor. Oleh karena itu dibutuhkan koordinasi yang lebih baik untuk mencapai sasaran yang telah disepakati, baik di tingkat pusat atau daerah. Tangan pemerintah pusat di provinsi adalah gubernur beserta jajarannya; sedangkan di tingkat kabupaten/kota adalah bupati/walikota beserta seluruh stafnya.

Hadirnya lembaga ketahanan pangan di provinsi maupun kabupaten/kota, pada intinya merupakan sambutan nyata atas semangat kita untuk menjawab pekerjaan rumah di atas. Ini perlu dihayati karena ketahanan pangan itu sendiri merupakan suatu system yang meliputi sub system ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi dan keamanan pangan yang membutuhkan koordinasi dan sinergisitas antara unsur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, media massa dan stakeholder lainnya dalam koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan ketahanan pangan.

Lembaga Ketahanan Pangan Daerah di tingkat Provinsi mestinya dilengkapi dengan Satu Sekretariat dan lima Kelompok Kerja yaitu : Ketersediaan Pangan, Distribusi dan Harga Pangan, Konsumsi dan Keamanan Pangan, Kerawanan Pangan dan Gizi serta Mandiri Pangan; adalah “alat bantu” Gubernur dalam melaksanakan fungsi pertama, pengkoordinasian perumusan kebijakan di bidang pemantapan ketahanan pangan, meliputi aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi serta kewaspadaan kekurangan/kerawanan pangan; kedua, pemantauan, pengendalian dan pengevaluasian pelaksanaan ketahanan pangan dan ketiga, pelaporan kelembagaan Ketahanan Pangan kepada kepala daerah setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.

Dalam kaitannya dengan pengkoordinasian aspek-aspek pangan, maka paling tidak ada empat hal yang membutuhkan perhatian serius. Keempat aspek pangan tersebut adalah pertama, dalam bidang “penyediaan pangan” (khususnya beras). Masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan tingkat produksi yang sesuai dengan kebutuhan konsumsi, sehingga masalah yang timbul akibat produksi yang jauh dibawah atau jauh diatas kebutuhan, dapat diperkecil. Hal ini menempatkan bahwa perencanaan produksi yang menyangkut dimensi luas lahan, waktu/pola tanam dan lokasi menjadi sangat penting.

Meskipun demikian, mengingat bahwa produksi pangan sangat dipengaruhi iklim yang adakalanya menyebabkan deviasi dari rencana, maka koordinasi dalam bidang ekspor/impor pangan juga sangat diperlukan. Selanjutnya, dengan keterbatasan sumberdaya yang ada, maka dalam program peningkatan produksi, aspek pemilihan komoditas yang dikembangkan, tujuan pengembangan dan lokasinya, juga akan memberi dampak positif bagi efesiensi sumberdaya. Melalui pilihan komoditas yang semakin beragam sesuai keunggulan yang dimiliki, maka penyediaan pangan yang mencukupi, beragam jenisnya akan berdampak positif bagi pendapatan petani, diharapkan dapat terwujud.

Kedua adalah dalam bidang keamanan pangan. Masalah yang cukup penting adalah masih kurangnya kesadaran masyarakat (baik produsen, pedagang dan konsumen) terhadap pentingnya menjaga atau menyediakan dan mengkonsumsi pangan yang aman (terbebas dari zat-zat yang membahayakan kesehatan). Berbagai peraturan mengenai hal keamanan pangan sebenarnya sudah tersedia walaupun belum sempurna. Namun hal tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektip, karena berbagai kendala dan pertimbangan untuk tidak meresahkan masyarakat.

Adapun aspek keamanan pangan yang perlu dikoordinasikan antara lain, pengawasan penggunaan pestisida/bahan kimiawi dalam produksi dan penyimpanan pangan; pengembangan system pengawasan makanan; pengawasan dan pembinaan penggunaan bahan tambahan makanan; penyelenggaraan kesehatan dan keselamatan pangan.

Ketiga adalah soal distribusi dan harga. Kebijakan soal distribusi pangan, pada dasarnya diserahkan pada mekanisme pasar dan melalui kebijaksanaan harga yang mantap, akan merangsang dunia usaha swasta dan masyarakat dalam mendistribusikan pangan. Hanya apabila terdapat indikasi terjadinya “kegagalan pasar”, maka peran Pemerintah melalui campur tangan langsung tidak bisa dielakan, dengan tetap menyesuaikan pada kondisi obyektif untuk menjamin tercapainya distribusi pangan yang efesien. Hal seperti ini tetap diperlukan mengingat kondisi geografis negara kita yang merupakan negara kepulauan, yang mempunyai tingkat keragaman, baik ekonomi dan social politik yang terkadang cukup tajam perbedaannya antar daerah.

Sesuai dengan perkembangan dan karakteristik pada komoditas pangan yang beragam, maka sesungguhnya distribusi pangan pada dasarnya bersifat dinamis. Pada saat defisit, dimana sumber penawaran local tidak mencukupi, maka situasi pasar harus dirangsang untuk dapat tercapainya perdagangan antar daerah yang mencukupi, sehingga tingkat harga di daerah tersebut tidak melebihi suatu tingkat tertentu yang dapat ditoleransi.

Demikian juga sebaliknya pada saat surplus, perbedaan harga antar daerah harus dapat dijaga sedemikian rupa sehingga distribusinya dapat menyebar mengisi kantong-kantong daerah yang kekurangan, dan selebihnya menjadi kewajiban Pemerintah untuk menampungnya demi terjaganya tingkat harga yang memadai, baik bagi produsen maupun konsumen.

Dengan begitu, kebijaksanaan harga pangan yang menjadi dasar mantapnya harga pangan secara keseluruhan memiliki fungsi antara lain : pertama, menjamin terciptanya nilai tukar produk pangan yang wajar terhadap produk lain, seperti halnya kebijaksanaan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah/beras; kedua, meminimalkan tingkat fluktuasi harga antar musim/tahun sebagai upaya untuk mewujudkan mantapnya harga pangan; ketiga, mengendalikan tingkat harga pada ukuran tertentu sesuai dengan sasaran inflasi pada umumnya dan perkembangan harga dunia; dan keempat, merangsang bekerjanya mekanisme pasar secara efesien dan efektif.

Aspek yang memerlukan koordinasi antara lain adalah mengenai perumusan kebijakan harga yang ditetapkan Pemerintah, yang berdimensi hubungan harga antara input-output, harga antar komoditas, harga domestik-internasional dan yang mencerminkan “rasa keadilan” (sesuai peranannya masing-masing, baik produsen, pedagang dan konsumen) serta tetap memperhatikan koordinasi Pemerintah di bidang ekonomi, disamping aspek distribusi/pemasarannya agar merata di setiap daerah dan terjamin sepanjang waktu.

Keempat adalah soal mutu pangan. Pengaitan fungsi Dinas Ketahanan Pangan Daerah dengan mutu pangan adalah agar pangan sebagai sumber utama penyediaan gizi masyarakat juga sekaligus dapat meningkatkan mutu gizi pangan. Peningkatan mutu pangan terkait dengan penyediaan bahan pangan yang bermutu, baik dari aspek gizi maupun pengolahannya.

Aspek peningkatan mutu yang penting dikoordinasikan antara lain, perbaikan paska panen dan sarana pengolahan; pembinaan industri pangan yang mendorong diversifikasi pangan; penetapan standar mutu pangan; perbaikan pola makanan rakyat; pemanfaatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi sebagai alat pengambilan keputusan dalam masalah pangan dan gizi.

Ruh seperti inilah yang harus melekat dalam benak setiap pengambil kebijakan di negeri ini. Kehadiran Perpres 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional, diharapkan akan mampu menjadi lembaga pangan di tingkat nasional, yang bakal mampu nensolusikan masalah pangan secara cerdas. [ ]

*Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat

Back to top button