Tuhan Tidak Pergi
Satu hal yang pasti, ketidakhadiran Tuhan memungkinkan dunia tidak lebih sebagai–meminjam istilah Descartes–“res extensa”, ruang matematis yang dapat dikalkulasi tanpa unsur-unsur kejiwaan; bahwa jiwa, atau imajinasi, atau kesadaran, seluruhnya dimampatkan pada cangkang fisik bernama otak; menempatkan alam tidak lebih dari sekedar objek kendali manusia.
Oleh : Zaenal Muttaqin*
JERNIH– Ada sebuah pertanyaan abadi yang menghantui masyarakat modern: apakah Tuhan telah pergi? Bahkan, jika jiwa-jiwa telah sedemikian kering, apakah Tuhan akan pergi? Bisakan Tuhan berpaling dari dunia? Bukankah dunia ini adalah Dia, Bagaimana mungkin Tuhan dipisahkan dari dunia? Bukankah Tuhan sendiri yang memberi transendensi, imajinasi, dan keindahan kepada kepada setiap elemen di alam semesta?
Mengapa zaman modern menerima tesis bahwa Tuhan telah tiada? Tentu saja, Tuhan tidak pergi karena kita telah meninggalkan tempat ibadah, bukan pula karena kita gagal menjalankan ritual dan pengorbanan; karena Tuhan tidak didikte oleh apa yang kita lakukan. Jika demikian, bagaimana mungkin Tuhan mengklaim Maha Kuasa jika kehadiran/ketidakhadiran-Nya dipengaruhi tindakan kita?
Lantas, apa untungnya menyatakan Tuhan telah mati atau pergi? Siapa yang menginginkan Tuhan pergi?
Satu hal yang pasti, ketidakhadiran Tuhan memungkinkan dunia tidak lebih sebagai–meminjam istilah Descartes–“res extensa“, ruang matematis yang dapat dikalkulasi tanpa unsur-unsur kejiwaan; bahwa jiwa, atau imajinasi, atau kesadaran, seluruhnya dimampatkan pada cangkang fisik bernama otak; menempatkan alam tidak lebih dari sekedar objek kendali manusia.
Ketidakhadiran Tuhan diharapkan ortodoksi agama (Kristen) dan relativisme sekular. Ketidakhadiran Tuhan bukan hanya memberikan kenyamanan kepada pandangan sekular, sikap eksploitatif terhadap alam, dan inflasi kemanusiaan tanpa jiwa. Lebih dari itu, ketidakhadiran Tuhan juga memberikan jalan kepada pandangan Kristen: ketika Tuhan pergi maka dunia terbuka lebar bagi Yesus Sang Juru Selamat untuk melaksanakan penebusan apokalitis. Namun, siapa yang membutuhkan penebusan, pengampunan, kebangkitan? Hanya mereka yang berdosa dan tersingkir.
Tuhan tidak pergi. Entah engkau memanggil atau tidak, entah engkau menyembah atau tidak, Tuhan selalu ada. Seperti pepatah yang terukir di pintu rumah Carl Gustav Jung: “Vovatus atque non vocatus deus aderit”, disembah atau tidak, Tuhan selalu ada.” Dia adalah Tuhan yang ada di pojokan rumah, di ruang kantor, di sudut jalan yang selalu ada dalam hidup keseharian, bukan dewa-dewa gagah perkasa yang dicetak di buku-buku mitologi. [ ]
*Diterjemahkan secara bebas dari tulisan James Hillman, seorang psikolog Jungian