UN Interfaith Harmony Week 2022
Salah satu tanggung jawab pemimpin, khususnya pemimpin politik, adalah meyakinkan bahwa kesetaraan (equity) dan keadilan (justice) dapat dirasakan oleh semua. Kesejahteraan hidup tidak dimaksudkan hanya untuk segelintir orang saja.
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH–Salah satu acara tahunan yang berlangsung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB ) New York adalah acara pertemuan agama-agama yang dikenal dengan “UN week of Interfaith Harmony”. Sebuah acara yang awalnya diinisiasi oleh Kerajaan Jordania dan mendapat dukungan semua negara anggota.
Selama sepekan, dimulai dari tanggal 3 Februari hingga 10 Februari, berbagai acara interfaith dilakukan. Dan acara itu merupakan kolaborasi antara negara-negara anggota PBB dan organisasi-organisasi LSM (non governmental organizations).
Nusantara Foundation sebagai sebuah NGO yang resmi terdaftar di negara bagian New York sejak berdirinya telah mengambil bagian di garda depan untuk menjadi co-sponsor bagi acara ini. Dan uniknya co-sponsorship Nusantara dilakukan bersama negara-negara lintas benua, termasuk Afrika dan India.
Tahun 2022 acara ini mulai dilangsungkan 3 Februari 2022. Selain akan hadir sebagai pembicara beberapa tokoh utama agama-agama, beberapa Perwakilan negara, juga hadir menyampaikan statemen Sekjen PBB, Antonio Guterres.
Saya sendiri sebagai Presiden Nusantara akan menjadi pembicara mewakili komunitas Muslim, tentu bukan hanya Indonesia. Tapi pada kesempatan ini mewakili Umat Islam dunia. Sejak tahun 2014 lalu saya memang telah menjadi salah seorang pembicara di acara yang terhormat ini.
Tema presentasi saya kali ini adalah “Building partnership in the midst of chaos” atau “Membangun Kerja Sama di Masa yang Penuh Kekacauan”. Ada beberapa poin penting dari tema ini yang akan saya elaborasi dalam waktu yang terbatas. Selain menyampaikan bahwa situasi masih sangat sulit (challenging) karena Covid 19 yang terus jadi ancaman, juga karena ragam ketimpangan dan ketidakadilan masih mendominasi kehidupan manusia.
Tapi di tengah-tengah keadaan yang chaos (kacau) itu kita seharusnya disadarkan kembali oleh kesadaran kemanusiaan (common humanity) dan juga pemahaman keagamaan (religious conviction) kita masing-masing. Bahwa kemanusiaan kita itu satu (common humanity), memiliki aspirasi dan kepentingan yang sesungguhnya sama.
Pada saat yang sama keyakinan agama (religious conviction) kita harusnya mampu menguatkan nilai-nilai kemanusiaan kita yang universal itu. Agama harusnya mampu menghadirkan rasa cinta dan kasih sayang dalam jiwa. Tapi sekaligus menumbuhkan solidaritas, keadilan dan tanggung jawab sosial.
Untuk itu ada lima poin penting yang ingin saya garis bawahi:
Satu, pentingnya semua Umat untuk mengedepankan fitrah (nurani) di atas tendensi egoistik yang ada. Satu hal yang penting adalah ketika bersentuhan dengan “wawasan keagamaan” (religious view) hendaknya tidak dilakukan di atas dorongan hawa nafsu. Agama yang benar adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai “kebajikan” (kindness) dan kebijakan (wisdom). Sayang, seringkali sentimen agama dijadikan justifikasi kebencian, perpecahan, bahkan peperangan.
Dua, bahwa dalam dunia global saat ini tidak ada seorang atau sekolompok bahkan negara sekalipun yang bisa melakukan segalanya tanpa orang lain (the others). Dunia kita adalah dunia yang saling mengikat dan saling menopang (interconnected & interdependent). Karenanya semua kita harus belajar untuk mengalahkan keakuan (ananiyah) dan belajar membangun kerjasama demi mewujudkan dunia yang lebih baik.
Tiga, kita semua harus mampu dan berani mengingatkan para pemimpin kita untuk mengambil tanggung jawab mereka secara sungguh-sungguh. Salah satu tanggung jawab pemimpin, khususnya pemimpin politik, adalah meyakinkan bahwa kesetaraan (equity) dan keadilan (justice) dapat dirasakan oleh semua. Kesejahteraan hidup tidak dimaksudkan hanya untuk segelintir orang saja.
Empat, masih banyak saudara kita yang sedang berjuang untuk hak-hak dasar mereka. Salah satunya adalah hak kebebasan dan kemerdekaan. Karenanya kita sampaikan kepada mereka yang diamanahi tanggung jawab, termasuk PBB, untuk melakukan segala hal agar hak-hak dasar semua orang terjamin dan dihormati.
Lima, masanya telah tiba untuk kita terima dengan sepenuh hati bahwa tidak ada superioritas (keunggulan/kelebihan) karena suku, ras, warna kulit, bahkan afiliasi budaya dan pengakuan agama. Superioritas hanya milik Tuhan. Dan kelebihan atau keunggulan itu telah dibagikan secara merata ke semua manusia. Dan karenanya semua manusia sama di mata Tuhan.
Enam, perlu disadari bahwa ancaman (threat) terbesar kepada perdamaian dunia (world peace) adalah ketidakadilan (injustice). Sayang bahwa saat ini dunia kita didominasi oleh ragam ketidak adilan dalam ragam manifestasinya. Dari ketidak adilan politik, ekonomi, sosial hingga ketidakadilan ras (racial injustice).
Tujuh, perlu keberanian untuk menyuarakan resistensi kepada ragam ketidak adilan itu. Karena menguatnya kejahatan itu cukup disebabkan ketika orang-orang baik diam (tidak bersuara atau tidak melakukan sesuatu).
Demikian beberapa hal yang saya sampaikan dalam pertemuan tahunan antar agama secara virtual di PBB New York hari ini. Semoga acara membawa manfaat untuk Umat dan kemanusiaan dan semoga berkah. Aamiin! [ ]
* Presiden Nusantara Foundation