Demi kebaikan bersama termasuk penyelamatan keuangan negara, memang sudah sepantasnya niat pindah ibu kota negara ini diurungkan dulu. Setidaknya, dengan sangat seriusnya niat itu dibahas hingga menjadi Undang-Undang, Presiden Jokowi sudah selangkah lebih maju ketimbang pemimpin sebelumnya yang hanya mewacanakan saja.
JERNIH- Duit tak ada, utang banyak, dagangan sepi, pendapatan turun, tapi ngotot membangun dan pindah ke rumah baru. Begitu kira-kira kondisi Indonesia terkini. Uang yang mau dipakai, simpanan guna menangani wabah Corona. Apalagi kalau bukan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dibidik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, sudah mengatakan demikian. Dia bilang, pihaknya akan membuat rekayasa kebutuhan awal terutama pelaksanaan akses infrastruktur di dalam kategori penguatan pemulihan ekonomi di dalam program PEN tahun 2022 ini.
Semua orang tahu, pijakan awal lahirnya program PEN adalah lantaran perekonomian carut marut gara-gara dihantam virus Corona. Di tahun ini, Pemerintah pun mengalokasikan dana APBN sebesar Rp 414 triliun agar tak ada lagi yang menjerit sebab sulit betul mencari uang.
Duit itu, dialokasikan ke dalam tiga klaster yakni, kesehatan Rp 117,8 triliun, perlindungan sosial Rp 154,76 triliun, serta penguatan ekonomi Rp 141,42 triliun. Lalu, sendi mana yang akan dikorbankan demi pembangunan dan pemindahan rumah baru atau ibu kota negara ini?
Tentu saja, jatah penguatan ekonomi yang ditumbalkan. Sri bilang, uang tersebut akan dipakai membangun jalan, listrik, air, dan jaringan telekomunikasi. Dia ingin menggunakan dana itu demi melaksanakan pembangunan yang disebut-sebut bakal menguatkan perekonomian. Dan manfaat PEN bisa meningkat.
Sebenarnya, Sri mengincar dana itu sebab belum jelas apa maksud dari penguatan ekonomi di dalam program dana PEN. Artinya, di sana belum ada perincian untuk apa saja uang itu nantinya. Dia bilang, terkait pemulihan ekonomi, rencana penguatannya harus betul-betul pragmatis mana yang bisa jalan.
Mungkin saja, ini artinya, ketika membuat tiga klaster program PEN, pemerintah tak tahu apa dan bagaimana cara memulihkan ekonomi nasional. Yang penting, bikin saja dulu. Soal bakal apa, itu belakangan. Dan ternyata, ada celah yang bisa dimanfaatkan guna mewujudkan hasrat pindah ibu kota negara.
“Makanya di pemulihan ekonomi, penguatan ini harus betul-betul pragmatis mana yang bisa jalan. Makanya kemarin saya buat statement untuk IKN ini termasuk yang akan bisa dimasukan dalam klaster ini (program penguatan ekonomi) kalau Kementerian terkaitnya siap,” kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Tentu saja, keinginan Sri dalam rangka menggunakan duit yang sebenarnya tak jelas peruntukkannya itu ditolak. Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Hasan dari Fraksi Partai Demokrat menilai, proyek IKN tak sesuai jika dimasukkan ke dalam program PEN dan jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2020.
Soalnya pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang itu, dinyatakan kalau program PEN bertujuan melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan. Artinya, peruntukkannya jelas-jelas untuk kegiatan jual beli yang akhirnya mendongkrak gerak ekonomi nasional.
Iya, kalau membeli bahan baku pembangunan jalan, jejaring listrik, air dan telekomunikasi di tahap awal pembangunan ibu kota negara baru, dilakukan kepada produsen lokal di dalam negeri termasuk penggunaan sumber daya manusianya. Tapi kalau beli dari luar negeri, termasuk pekerja yang mengerjakan proyek tersebut, berarti jelas proyek ini tak menjalankan prinsip jual beli di dalam negeri. Cuma ingin membeli saja. Konsumtif itu namanya.
“Jadi saya ingatkan ibu, jangan sampai kita terjerumus pada pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan yang sudah kita buat. Kriteria mana IKN itu masuk pada pasal ini (pasal 11 ayat (2)? Apakah dia termasuk kategori melindungi, meningkatkan kemampuan dan lain sebagainya sebagai dampak dari pandemi Covid-19?,” kata Marwan, pada Rabu 19 Januari lalu, dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan.
“IKN itu sesuatu yang baru, tidak berdampak apa-apa. Dia cuma kebon dan hutan saja yang ingin kita bangun,” ujar Marwan.
Tolak Angin Segar
Narasi pemindahan ibu kota negara, memang terdengar segar sebab disebutkan berdampak pada perekonomian di daerah baru tersebut. Efek positifnya, ada penggunaan sumber daya potensial yang selama ini belum termanfaatkan. Setidaknya, jika ini dikerjakan, ekonomi nasional akan naik +0,1 persen.
Kemudian, kesenjangan antar kelompok pendapatan dan indikasi ketimpangan bakal menyempit sebab perekonomian terdiversifikasi ke arah yang lebih padat. Berikutnya, dampak inflasi di lokasi ibu kota baru akan menjadi sangat minim jika punya kesiapan infrastruktur lebih baik dan produktif.
Ingat, jika punya kesiapan infrastruktur lebih baik dan produktif, pemindahan ibu kota negara ke luar pulau Jawa juga akan mendorong perdagangan antar wilayah di Indonesia. Baik itu di dalam provinsi ibu kota baru, juga wilayah lain di sekitarnya. Pemerintah menyebutkan, arus perdagangan bakal meningkat 50 persen jika wilayah yang dipilih memiliki konektivitas dengan provinsi lain.
Tentu saja, wilayah yang kini masih sepi, setelah menjadi ibu kota negara, akan mendorong investasi di wilayah sekitarnya. Akibatnya, sektor jasa terutama sektor non tradisional meningkat.
Betul argumen ini hampir tak ada yang bisa menepisnya. Tapi perlu dicatat pula, efek dari pemindahan ibu kota negara tak serta merta langsung dirasakan dampaknya. Perlu waktu tahunan atau mungkin puluhan untuk menikmati hasilnya.
Tapi balik lagi, penolakan dilontarkan sebenarnya terkait uangnya dari mana untuk membangun kawasan baru tersebut. Jika diambil dari APBN, tak ada anggaran di sana. Jika diambil dari dana PEN, perlu diobrolin dulu sampai tuntas. Tak bisa ambil keputusan secara sepihak saja.
Beberapa hari lalu, Marwan Batubara bersama Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), menggugat Undang-Undang IKN yang belum lama ini baru saja disahkan DPR.
Menurut dia, UU IKN dibentuk tanpa perencanaan matang mulai dari rencana pembangunan, regulasi, termasuk rencana keuangan terkait pelaksanaan pembangunan. Dia juga bilang, rencana pindah ibu kota negara tak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional di dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2017, termasuk juga di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019.
Ujug-ujug, rencana pindah ibu kota muncul dalam Peraturan Presiden nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024.
“Meskipun demikian, anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022,” ujar Marwan.
Setelah PNKN, penolakan dari luar Parlemen juga muncul lagi. Kali ini, Din Syamsuddin, Faisal Basri, Busyro Muqoddas, Muhammad Said Didu, beserta 41 orang lainnya, menyodorkan petisi melalui laman https://change.org/ berjudul “Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibu Kota Negara”.
Petisi ini, mendesak Presiden Jokowi bersikap arif dan bijaksana dengan tidak memaksakan keuangan negara guna mengongkosi proyek pindah rumah. Sebab infrastruktur dasar yang sudah ada sebelumnya di beberapa daerah, masih buruk. Gedung sekolah rusak dan ditelantarkan, jembatan desa juga diabaikan tak terpelihara.
Hingga saat ini, sudah ada 4.300 lebih membubuhkan tanda tangannya dalam petisi tersebut. Dalam naskahnya, disebutkan bahwa wilayah yang dipilih sebagai ibu kota negara yang baru, merupakan lahan konsesi seluas 73.584 hektar yang seharusnya dipertanggung jawabkan pelaku pengrusakan hutan akibat penambangan batu bara.
Belum lagi, pandemi masih menjadi hantu menakutkan sebab ada serangan varian Omicron yang tentu penanganannya membutuhkan dana besar dari APBN juga program PEN. Jadi, petisi itu menilai kalau proyek tersebut tak akan memberi manfaat bagi kebanyakan rakyat dan justru cuma menguntungkan segelintir orang saja.
Siapa yang dimaksud segelintir orang itu? Ya tentu saja yang mendapat jatah menggarap proyek pembangunan dari hulu sampai hilir.
Di hulu, ada produsen bahan baku pembangunan termasuk penyedia tenaga kerja. Di hilir, ada Pemerintah yang salah satu tugasnya, bayar, bayar dan bayar. Nah, inilah yang dianggap berpotensi menguntungkan segelintir orang saja. Kalau tak melanggar hukum, masih okelah. Tapi kalau KPK, Kejaksaan Agung atau penegak hukum lainnya kudu turun tangan, berarti memang ada yang salah. Atau dikhawatirkan ada yang salah.
Di lain sisi, penyusunan naskah akademik tentang pembangunan IKN tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif, terutama dampak lingkungan dan daya dukung pembiayaan serta keadaan geologi dan situasi geostrategis di tengah pandemi.
“Kami memandang saat ini bukanlah waktu yang tepat memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kami mengajak segenap anak bangsa yang peduli akan masa depan Bangsa dan Kedaulatan Bangsa untuk menandatangani di change.org,” bunyi pernyataan terakhir dalam petisi tersebut.
Banyak yang menilai, keinginan pindah ibu kota negara ini merupakan upaya Presiden Jokowi meninggalkan warisan. Jika sudah menjadi kebijakan Presiden, apapun yang terjadi, meskipun keuangan negara lagi kocar-kacir, akan tetap dilaksanakan. Terlebih, koalisi yang kini mendominasi Parlemen mendukung penuh.
Dari sisi politis, proyek ini mungkin akan baik-baik saja dan berjalan mulus sebab parpol pendukung Presiden terbilang gemuk di DPR, yakni 74,29 persen dari total 575 anggota dewan yang ada. Tapi di sisi keuangan, tentu keinginan tersebut akan menjadi masalah baru.
Demi kebaikan bersama termasuk penyelamatan keuangan negara, memang sudah sepantasnya niat pindah ibu kota negara ini diurungkan dulu. Setidaknya, dengan sangat seriusnya niat itu dibahas hingga menjadi Undang-Undang, Presiden Jokowi sudah selangkah lebih maju ketimbang pemimpin sebelumnya yang hanya mewacanakan saja.[]