
Perbedaan sikap dan jalan yang harus ditempuh antara Van Ons (PMKI) dan salam4jari adalah sebuah hikmah. Begitu juga antara saya dan Chozin-nya Anies. Kami melihat sesuatu dalam pendekatan realistik, sedangkan kalian dengan pendekatan idealistik. Perbedaan pendekatan bukan berarti ada yang paling benar. Selama tujuannya untuk mendorong terwujudnya kekuasaan rakyat di atas oligarki, pendekatan yang diambil silakan saja. Kita harus demokratis.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH– Sehabis ramai pemberitaan pertemuan Rocky dan Dasco yang saya dkk rancang kemarin di sebuah restoran Sunda, Senayan Park, putri saya, seorang antropolog, mahasiswi pascasarjana Utrecht university, Belanda memberitahu respon Salam4jari di X.
Dengan viewer yang lebih dari 700 ribu, respons ini perlu saya tanggapi. Begitu juga respons yang diberikan Chozin, sahabat saya, yang dia adalah pendamping politik Anies Baswedan selama puluhan tahun, juga respons sahabat saya, Agung Sudjatmiko, ketua harian Dewan Koperasi Nasional.
Respon Salam4jari intinya adalah memberi warning kepada rakyat bahwa pertemuan Rocky Cs. dan Dasco merupakan upaya penggembosan gerakan Indonesia Gelap. Salam4jari kemudian meminta agar gerakan Indonesia Gelap, gerakan tolak UU TNI dan UU Polri terus didukung. Biro politik Salam4jari mengajak agar upaya pemerintahan transisi bisa diwujudkan. Menurutnya perlu ada hastag baru #mulaidarinol dan #Indonesiareset.

Respons Chozin adalah menuduh saya penjilat. Sebab, sebuah tulisan beredar mengatasnamakan saya, membahas pertemuan Rocky-Dasco tersebut dengan gaya satire. Memuja-muji Prabowo dan Dasco tanpa reserve.
Respons Agung Sudjatmiko menjelaskan bahwa tidak ada apapun yang dilakukan Prabowo selama ini. Kebanyakan omon-omon. Rakyat tidak akan percaya. Tambahnya lagi, sebagai aktivis koperasi sejak mahasiswa di UNS, dia melihat rencana Prabowo membangun 80.000 koperasi adalah pekerjaan sia-sia. Sebab, katanya, koperasi adalah peristiwa bottom-up dan kultural. Upaya top-down ala Prabowo hanya mengulang kegagalan di era lalu.
Perlu saya sampaikan kepada salam4jari bahwa Saya, Jumhur, Ferry dan Rocky tidaklah bermaksud menggembosi gerakan mahasiswa ataupun gerakan rakyat yang ada selama ini. Kami berempat menyebut diri sebagai Van Ons alias Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI) yang kami dirikan.
Coba lihat: beritajejakfakta.id/perhimpunan-menemukan-kembali-indonesia-bereaksi-keras-menolak-ide-penundaan-pemilu-dan-perpanjangan-masa-jabatan-presiden-3-periode/). Ini ketika Jokowi sedang kuat-kuatnya, hanya kami yang menggalang penolakan perpanjang masa jabatan Jokowi tiga periode. Untung Megawati kemudian juga menentang perpanjangan itu.
Krisis kebangsaan kita bermula dari dominasi oligarki pasca-pemerintahan Suharto. Dengan kekuatan kapital mereka mendesain agar demokrasi dijadikan alat untuk menaikturunkan pemimpin- pemimpin boneka. Semua elit yang akan muncul diseleksi mereka untuk menjadi stempel bagi kepentingan mereka mengeruk kekayaan di negeri ini.
Dalam dominasi itu, pilihannya adalah revolusi atau bersiasat untuk bisa berkuasa. Revolusi sudah dicoba Habib Rizieq dkk, namun gagal. Prabowo, sebaliknya, melakukan siasat alias “kudeta merangkak”, sehingga dia bisa mencapai puncak kekuasaan. Langkah Prabowo ini tidak populer. Itulah yang membuat saya dan Jumhur menjadi juru bicara pasangan Anies-Muhaimin. Sedangkan Ferry Juliantono tetap di Gerindra (atas keputusan bersama). Sedangkan Rocky Gerung mengambil jalan netral selama pilpres.
Salam4jari tentu merupakan gerakan moral yang dahsyat. Sehingga jalan Prabowo yang dianggap jalan haram kekuasaan menjadi masalah sampai saat ini. Pandangan ini tidak kami tentang. Namun, kami, Van Ons, mempunyai cara pandang sendiri. Kami melihat bahwa Prabowo telah banyak melakukan gerakan ideologis, yang bahkan belum pernah dilakukan pemimpin sebelum-sebelumnya.
Saya sudah menguraikan dalam berbagai tulisan, bagaimana Prabowo, sebagai anak pendiri Partai Sosialis Indonesia, yang masa kecilnya menjadi keluarga di pengasingan in-exile, membuat berbagai kebijakan sosialistik kerakyatan. Namun, tentu saja Prabowo kesulitan karena oligarki yang memberikan jalan kekuasaan pada dia masih bercokol gagah. Namun, renungkanlah, dulu Anies Baswedan ingin mengatur kekuasaan negara di Pantai Utara Jakarta berakhir gagal. Di era Jokowi, bahkan hampir semua pantai itu mau diserahkan pada konglomerat. Sebaliknya, ditangan Prabowo, 30 KM pagar laut langsung dimusnahkan. Begitu juga pagar-pagar laut lainnya. Negara sekarang menguasai pantai.
Saya dan Rocky sudah tidak tertarik pada kekuasaan. Kami sudah menyampaikan itu pada Dasco. Saya tertarik untuk membuat buku dan hidup di remote area, atau ke Belanda. Sebaliknya Rocky tetap asyik di kesepian Sentul di rumah yang hampir rubuh. Sedangkan Ferry masih berkeinginan mengabdi pada isu-isu ekonomi kerakyatan. Jejak Ferry Juliantono adalah kader ideologi Adi Sasono, bapak ekonomi kerakyatan.
Jumhur sendiri tetap berjuang sebagai pemimpin buruh. Dia ditawari Prabowo untuk masuk kabinet, pada pertemuan mereka November lalu. Namun, Jumhur tidak akan menjual diri.
Kenapa Jumhur, Ferry dan Rocky tidak mungkin menjilat kekuasaan? Itulah yang disebutkan Karl Marx sebagai Class Suicide alias Bunuh Diri Kelas. Rocky yang lahir dan besar di Menteng meninggalkan kemewahan untuk bisa menjadi filosof. Jumhur yang harusnya bapaknya direktur Bank Bapindo dulu, masuk penjara dan dipecat dari ITB, karir bapaknya hancur. Ferry yang cucu pendiri republik juga hidup keras sebagai aktivis keluar masuk penjara. Dalam Islam, juga dijelaskan, bahwa pilihan jalan Toghut/Iblis atau jalan Allah/Tuhan menentukan seseorang itu penjilat atau bukan. Itu mungkin bisa menjelaskan sikap saya, meskipun lahir dari anak guru miskin, tetap tidak menjadi penjilat kekuasaan.
Perbedaan sikap dan jalan yang harus ditempuh antara Van Ons (PMKI) dan salam4jari adalah sebuah hikmah. Begitu juga antara saya dan Chozin-nya Anies. Kami melihat sesuatu dalam pendekatan realistik, sedangkan kalian dengan pendekatan idealistik. Perbedaan pendekatan bukan berarti ada yang paling benar. Selama tujuannya untuk mendorong terwujudnya kekuasaan rakyat di atas oligarki, pendekatan yang diambil silakan saja. Kita harus demokratis.
Sedangkan kritik teknokratik model Agung Sudjatmiko berada pada level strategi/taktik. Menurut saya, peran negara untuk memperkuat ekonomi rakyat via koperasi adalah cita-cita bangsa. Sedangkan gerakan Bottom Up harus dikerjakan paralel. Di situlah peran Dekopin. Harus simultan.
Demikianlah penjelasan saya untuk teman-teman salam4jari, Chozin dan Agung Sudjatmiko. Selamat berjuang. Dukung “Indonesia Gelap” menjadi terang. []
*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle