
Konsep barang publik lahir dari teori yang menjadikan peranan pemerintah atau negara dibutuhkan dalam perekonomian, seperti teori Keynes (1936) dan dikuatkan dengan teori Samuelson (1954). Satu-satunya barang publik yang menghubungkan Jakarta-Bandung adalah jalan nasional, di mana semua orang dapat menggunakannya tanpa dikenakan biaya penggunaan. Semua hal yang bersifat eksklusif dan rivalious, tidak mengharuskan negara atau pemerintah untuk membantunya dengan dalil “subsidi” atau “sosial”.
Oleh : Werdha Candratrilaksita*
JERNIH– Presiden ke-7 Joko Widodo menyatakan, “Transportasi massal, transportasi umum, tidak diukur dari laba. Tapi adalah diukur dari keuntungan sosial. Social Return on Investment. Apa itu?
Misalnya pengurangan emisi karbon, produktivitas dari masyarakat menjadi lebih baik, kemudian apalagi polusi yang berkurang, waktu tempuh yang bisa lebih cepat. Di situlah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi massal. Jadi sekali lagi, kalau ada subsidi itu adalah investasi, bukan kerugian. Kayak MRT, itu pemerintah provinsi DKI Jakarta mensubsidi Rp 800 miliar per tahun, itu pun baru dari Lebak Bulus ke HI. Nanti kalau semua rute sudah selesai, diperkirakan Rp 4,5 triliun.
Di tempat terpisah, Menkeu Purbaya ditanya wartawan mengenai pernyataan Presiden ke-7 Joko Widodo dan menjawab, “Karena Whoosh ada misi regional development juga kan? Tapi yang regionalnya belum dikembangkan, mungkin di mana ada pemberhentian di sekitar jalur Whoosh supaya ekonomi tumbuh. Itu yang musti dikembangkan ke depan. Jadi, ada betulnya lah…”
Presiden ke-7 Joko Widodo menekankan soal “keuntungan sosial” Whoosh dan dibenarkan oleh Menkeu Purbaya dengan menjelaskan bahwa Whoosh berkaitan dengan “regional development”. Namun, apa sebenarnya benang merah dari “keuntungan sosial” dan “regional development”?
Apakah yang dimaksud Presiden ke-7 Joko Widodo sebagai “keuntungan sosial” bermakna “fasilitas sosial”? Menurut berbagai ketentuan, istilah fasilitas sosial muncul berkaitan dengan permukiman dan perumahan, pemerintah daerah, dan pembangunan smart city. Fasilitas sosial (fasos) didefinisikan sebagai sarana dan prasarana yang dibangun untuk memenuhi kepentingan sosial dan interaksi masyarakat, seperti sarana pendidikan (sekolah), kesehatan (puskesmas), periba-datan (tempat ibadah), pemerintahan, rekreasi, olahraga, dan pemakaman.
Sedangkan Menkeu Purbaya menyebutkan “regional development” sebagai alasan keberadaan Whoosh. Regional development atau pengembangan wilayah berkaitan dengan trickle-down effect dan polarization effect. Menurut teori trickle-down effects (Hirschman, 1958), keuntungan pertumbuhan (the benefits of growth) satu wilayah dapat disebarkan ke wilayah lain dengan strategi pengembangan wilayah. Pertumbuhan yang pesat pada satu wilayah juga dapat mendorong pertumbuhan di wilayah sekitarnya yang berdekatan, asalkan terdapat aliran tenaga kerja, modal, dan sumber daya lainnya di antara kedua wilayah yang berdekatan. Itu disebut sebagai polarization effects (Hirschman, 1958).
Untuk memberi efek trickle-down dan polarization kedua wilayah, maka infrastruktur konektivitas menjadi sangat penting untuk dibangun, sebagai bagian strategi pengembangan wilayah (regional development).
Benang merah kedua hal itu, baik fasilitas sosial maupun pengembangan wilayah adalah fasilitas publik, yang dalam terminologi ekonomi disebut barang publik (public goods). Barang publik memiliki karakteristik disediakan untuk semua orang (publik) tanpa pengecualian (non-eksklusif) dan penggunaannya oleh sebagian publik tidak berdampak mengurangi kesempatan sebagian publik yang lain untuk menggunakannya (non-rival). Samuelson, P. A. (1954) dalam bukunya “The pure theory of public expenditure: The Review of Economics and Statistics” menjelaskan mengapa barang publik harus disediakan oleh pemerintah. Barang publik wajib disediakan pemerintah karena pihak swasta tidak mampu atau tidak berminat untuk menyediakan barang publik, baik karena biaya penyediaannya yang mahal atau karena tidak menguntungkan secara komersial (bisnis) karena sifatnya yang non-eksklusif menuntut pembebasan biaya penggunaan. Di sisi lain, barang publik dibutuhkan masyarakat (publik) tanpa pengecualian atau semua orang membutuhkan.
Konsep barang publik lahir dari teori yang menjadikan peranan pemerintah atau negara dibutuhkan dalam perekonomian, seperti teori Keynes (1936) dan dikuatkan dengan teori Samuelson (1954). Negara atau pemerintah harus menyediakan barang publik dan menjadi bagian dari sasaran utama sumber daya fiskal negara/pemerintah. Namun tentunya tidak semua hal adalah barang publik. Suatu aset, jaringan, atau barang dapat dikategorikan sebagai barang publik apabila memenuhi karakteristik non-eksklusif dan non-rival.
Prinsip dasar barang publik adalah non-eksklusif dan non-rival. Lantas, apakah Whoosh memenuhi kriteria non-eksklusif dan non-rival?
Apakah Whoosh dibangun untuk dapat digunakan semua orang tanpa pengecualian dan tanpa dikenakan biaya kepada yang menggunakannya? Apakah Whoosh tidak mengurangi jatah orang lain yang belum menggunakannya, untuk dapat menggunakannya sewaktu-waktu, yang berarti pemerintah harus terus menjamin ketersediaannya terus-menerus?
Whoosh secara bersama-sama bersifat substitusi dengan Kereta Api KAI Parahyangan, jalan tol, serta jalan nasional yang menghubungkan Jakarta-Bandung, sehingga Whoosh tidak bersifat non-ekslusif. Setiap orang dapat memilih apakah akan menggunakan Kereta Api KAI Parahyangan, jalan tol, jalan nasional, atau Whoosh. Setiap pengguna Whoosh juga dikenakan biaya penggunaan atau tarif layanan komersial. Sehingga sifat non-eksklusif tidak dimiliki Whoosh.
Whoosh juga tidak bersifat non-rival karena tidak ada yang menjamin Whoosh akan terus-menerus tersedia dan dapat digunakan semua orang sewaktu-waktu secara cuma-cuma.
Pada beberapa kondisi dan lokasi, mungkin saja barang publik berubah menjadi barang privat, di mana tidak semua orang membutuhkannya (eksklusif) serta ketersediaannya terbatas (rival), sehingga penyediaan barang privat dapat disediakan secara bersama-sama antara pemerintah dengan swasta, atau diserahkan kepada swasta sepenuhnya. Penyediaan secara bersama-sama antara pemerintah dan swasta pun menggunakan pendekatan komersial atau bisnis.
Namun, dalam penerapannya terkini telah berkembang, di mana barang publik pun dapat disediakan bersama-sama antara pemerintah dengan swasta atau bahkan diserahkan kepada swasta sepenuhnya. Dalam konteks barang publik dibangun melibatkan sektor swasta, pemerintah harus menjamin ketersediaannya dapat digunakan oleh semua orang tanpa pengecualian. Sehingga perlu ada skema subsidi bagi orang yang tidak mampu membayar agar dapat menggunakannya.
Subsidi atau pembebasan biaya penggunaan harus diupayakan pemerintah, khususnya kepada warga negara yang tidak mampu membayar biaya penggunaan barang publik yang berubah menjadi barang komersial.
Apabila pemerintah tidak menerapkan pembebasan biaya pengguna kepada masyarakat yang tidak mampu pada operasionalisasi Whoosh, maka Whoosh bukanlah barang publik. Demikian juga dengan jalur kereta api yang dipakai oleh kereta api Parahyangan dan juga jalan tol, bukanlah barang publik karena penggunanya dikenai biaya serta tidak disediakan pengecualian bagi yang tidak mampu membayar.
Sehingga satu-satunya barang publik yang menghubungkan Jakarta-Bandung adalah jalan nasional, di mana semua orang dapat menggunakannya tanpa dikenakan biaya penggunaan.
Semua hal yang bersifat eksklusif dan rivalious, tidak mengharuskan negara atau pemerintah untuk membantunya dengan dalil “subsidi” atau “sosial”. [ ]
* Civitas Akademika, peserta Program Doktor Administasi Publik Universitas Diponegoro






