Spiritus

Bagaimana Sampai Abdullah bin Mubarak Dianggap Setiap Tahun Berhaji Hingga Datang Kiamat?

“Tiga hari lamanya anak-anakku tidak makan. Siang tadi aku melihat ada seekor keledai tergeletak mati. Maka aku pun menyayat dagingnya sekerat, lalu memasaknya,”kata tetangga itu kepada Ibnu Mubarak si Sufi Milioner

JERNIH–Amar ma’ruf nahi munkar pun memerlukan cara. Cara yang dilakukan Abdullah bin Mubarak adalah berusaha tak pernah membuat orang lain tersinggung.

Pernah pada suatu hari ada seorang yang bersin di hadapannya, dan orang itu tidak mengucapkan alhamdulillah. Ibnul Mubarak berkata kepadanya, “Apakah yang seharusnya dikatakan oleh seseorang bila bersin?”

Orang itu berkata, “Alhamdulillah.” Segera Ibnul Mubarak menyahut: “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu)”. Ibnul Mubarak tidak mencela, apalagi menghardiknya,  melainkan mengingatkannya dengan sunah dan dengan cara melemparkan sebuah pertanyaan.

Kesederhanaan wali sufi Abdullah bin Mubarak juga terkenal. Walau memiliki harta berlimpah dan ilmu yang meruah, ia tetap berpenampilan sederhana. Diceritakan, pada suatu saat Abdullah bin al-Mubarak mendatangi Hammad bin Zaid yang kemudian menjadi salah seorang gurunya. Hammad takjub dengan sopan santun Ibnul Mubarak, dan bertanya kepadanya, “Dari mana asalmu?”

“Saya penduduk Khurasan, dari kota Merv,”jawab Ibnul Mubarak.

“Apakah kamu mengenal seseorang bernama Abdullah bin al-Mubarak?”tanya Hammad.

“Iya,” jawab Ibnul Mubarak. “Bagaimana dia, apa yang dia perbuat?”

“Dialah yang tengah berbicara denganmu.” Mendengar hal itu Hammad menyalaminya dan menyambutnya dengan hangat.

                                                **

Setelah hidup kurang lebih 63 tahun, akhirnya Ibnul Mubarak menjumpai ajalnya. Sebelum wafat, saat menanti dalam sekarat, Abdullah bin al-Mubarak tetap berusaha untuk beramar ma’ruf. Abdullah al-‘Ajli berkata, “Ketika ajal menjemput Ibnul Mubarak, ada seseorang yang mentalkinnya, dia berkata,”Katakanlah “Laa ilaha illallah.” Orang itu mengulang perkataan tersebut berulang kali.

Maka Abdullah bin al-Mubarak berkata kepadanya, “Kamu tidak pandai melakukannya. Aku khawatir kamu akan menyakiti orang Islam lain setelah aku. Apabila kamu mentalkinku, dan aku telah mengatakan laa ilaha illallah, maka biarkanlah aku. Apabila aku mengeluarkan kata-kata lain, maka talkini aku lagi, sehingga ia menjadi akhir dari ucapanku.”

Abdullah bin Mubarak wafat pada tahun 181 H. Pemimpin umat Islam saat itu, Khalifah Harun al-Rasyid, ketika mendengar berita duka wafatnya Ibnul Mubarak, berkata,” Telah wafat penghulu para ulama.”

                                                          **

Masa-masa hidup Abdullah bin Mubarak sama dengan setidaknya dua wali sufi terkemuka lainnya, Sofyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh. Di antara ketiga sufi besar ini, Abdullah bin Mubarak dianugerahi harta kekayaan berlimpah, berbeda dengan dua sufi lainnya.

Ihwal kekayaan yang dimiliki Abdullah bin Mubarak—seorang sufi-– sempat membuat sufi Fudhail bin Iyadh merasa muskyil. Ia bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, “Engkau menyuruh kami semua untuk berperilaku zuhud, tidak berlebih-lebihan, sementara dirimu sendiri bergelimang harta kekayaan. Bagaimana ini?”

Ibnul Mubarak menjawab pertanyaan itu dengan baik dan sangat bijak. Ia berkata, “Wahai Abu Ali, aku bekerja dengan menjadi pedagang ini, agar aku mampu menjaga harga diriku. Harta yang aku miliki aku gunakan untuk taat dan beribadah kepada-Nya.”

Sifat kedermawanan Abdullah bin Mubarak memang terkenal. Ismail bin ‘Ayyas salah satu temannya berkata,”Sepengetahuanku tidak ada orang lain di muka bumi ini yang menyamai Abdullah bin Mubarak. Allah telah menjadikan sifat dermawan itu benar-benar melekat dalam dirinya. Teman-teman karibku telah menceritakan kepadaku bahwa suatu ketika mereka menemani Abdullah bin Mubarak dari Mesir menuju Makkah. Mereka disuguhi makanan-makanan yang lezat oleh Abdullah bin Mubarak. Sementara si pemberi sendiri malah terus berpuasa sepanjang tahun.”

Ibnu Katsir meriwayatkan sebuah kisah mengenai kedermawanan Abdullah bin Mubarak. Suatu ketika Abdullah bin Mubarak bertekad untuk menunaikan ibadah haji dan telah menyiapkan biaya yang cukup.

Kemudian ketika ia sampai di satu daerah ia melihat seekor burung mati tergeletak di jalan. Ia kemudian menyuruh sahabat-sahabat yang menemaninya untuk membuangnya ke tempat sampah beberapa meter di depannya. Para sahabatnya bergegas menuruti perintahnya dan mendahului Abdullah bin Mubarak dan membuang bangkai burung tersebut ke tempat sampah.

Saat Abdullah bin Mubarak sampai di tempat sampah di mana bangkai burung tersebut dibuang, ia melihat seorang perempuan keluar dari sebuah rumah di dekatnya.  Perempuan tersebut mengambil bangkai burung, membawanya ke rumah.  Abdullah bin Mubarak terdiam dan bertanya ihwal mengambil bangkai burung tersebut.

“Menjauhlah dariku,”kata perempuan itu meminta. Karena Abdullah bin Mubarak terus bertanya, perempuan itu menjawab, “Sesungguhnya aku punya anak-anak yang kelaparan dan menangis sejak tiga hari lalu. Dalam kondisi seperti ini aku pikir bangkai ini halal.”

Abdullah berkata, “Aku kemudian melepaskan ikat pinggangku dan kupenuhi dengan uang yang sedianya akan kugunakan untuk biaya haji.”

Aku berkata kepada perempuan yang lapar itu, “Ini sebagai ganti hajiku.” Ibnul Mubarak berlalu. Saat orang-orang menunaikan haji kembali mereka mengucapkan selamat kepada Ibnul Mubarak.

Dia berkata,” Aku tidak meninggalkan negaraku. Ada berita apakah gerangan?”

Saat Ibnul Mubarak kembali ke rumah, ia tertidur dan memimpikan Rasulullah SAW dalam tidurnya, dan bersabda,”Ketika Engkau menyerahkan dinarmu, dan melepaskan kesulitan perempuan dan anak-anak yatimnya, maka Allah mengutus malaikat yang menunaikan haji setiap tahun dalam rupamu sampai hari kiamat, dan menjadikan pahala haji itu untukmu.”

                                                ***

Setidaknya dua kali dalam hidupnya, Abdullah bin Mubarak tinggal dan berdagang di kota Mekkah. Keuntungannya berdagang selalu ia bagikan kepada para fakir miskin. Ia biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin dan menghitung biji kurma yang mereka makan. Mereka yang makan kurma paling banyak diberinya hadiah satu dirham untuk setiap biji.

Suatu ketika ia harus bepergian dari Merv ke Damaskus, hanya untuk mengembalikan sepucuk pena yang ia pinjam dari sahabatnya, yang ia lupa kembalikan. Di lain waktu ia pergi ke masjid untuk shalat, sementara kudanya yang mahal ia tambatkan di depan masjid. Setelah shalat, kudanya hilang.

Ia pun bertanya kepada seseorang di pelataran masjid, “Apakah engkau melihat kudaku?”

Orang itu menjawab,” Tadi kulihat kudamu menerobos ke sebidang ladang gandum.”

Ia pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dalam hati Ibnul Mubarak bergumam, “Kudaku pernah mengganyang gandum di kebun orang, biarlah kuda itu diambil si pemilik kebun sebagai pengganti dari gandum yang dimakannya.”

Pada kesempatan lain, Al-Mubarak melewati sebuah daerah yang penduduknya sudah mengenal kesalehannya. Mendengar kabar kedatangan Al-Mubarak itu warga berduyun-duyun menyambutnya. Seorang anak muda mengabarkan hal itu kepada seorang buta, “Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan.”

Si buta pun menunggu di depan rumahnya. “Beri tahu aku kalau Al-Mubarak sudah melintas di depan rumah,” katanya kepada si pemuda. Tak lama kemudian, ia mendengar langkah seseorang, “Dialah Al-Mubarak,” Bisik si pemuda kepada si buta.

“Wahai Al-Mubarak, berhentilah sejenak!” seru si buta. “Bisakah engkau menolongku? Berdoalah kepada Allah SWT untuk mengembalikan penglihatanku ini.”

Sejenak Al-Mubarak menundukkan kepala lalu berdoa. Beberapa saat kemudian, si buta bisa melihat kembali. “Demi Allah, aku tidak akan melupakan jasamu,” kata si buta terkaget-kaget dan tak henti-hentinya bersyukur.

                                                **

Ketika bermukim di Mekkah, Ibnul Mubarak pernah gelisah. Usai menyempurnakan ibadah haji ia kelelahan hingga tertidur lelap. Ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan berbincang-bincang. “Berapa orangkah yang menunaikan ibadah haji tahun ini?” tanya salah satu malaikat itu. “Enam ratus ribu orang,” jawab yang satu. “Tidak seorang pun!” jawab yang lain. Mendengar perbincangan itu, Ibnul Mubarak gemetar.

“Bukankah mereka telah datang dari seluruh pelosok negeri yang jauh, rela melewati lembah curam dengan susah payah, bahkan ada yang melintasi padang pasir yang panas. Tapi semua itu sia-sia?”kata malaikat yang satu.

“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus bernama Ali bin Al-Muwaffiq. Ia tidak datang ke Baitullah, tapi ibadah hajinya diterima dan segala dosanya dihapuskan Allah SWT,”sahut malaikat satunya. Mendengar penjelasan itu, Ibnul Mubarak kaget dan terjaga dari tidurnya. “Aku harus ke Damaskus menemui Ali bin Muwaffiq,” katanya dalam hati.

Keesokan harinya ia berangkat ke Damaskus. Sampai di sana ia bertanya kepada setiap orang tentang keberadaan Ali bin Al-Muwaffiq. Salah seorang penduduk menunjuk seorang tukang sepatu. Dialah Ali Al-Muwaffiq. Maka Al-Mubarak mengisahkan perihal mimpinya. Lalu ia pun mendesak agar Ali Muwaffiq menceritakan apa yang telah ia kerjakan sehingga ibadah hajinya diterima Allah padahal tidak berangkat ke tanah suci.

Berceritalah Ali Muwaffiq. “Telah 30 tahun lamanya aku bercita-cita menunaikan ibadah haji. Dari membuat sepatu aku berhasil menabung uang 350 dirham, aku bertekad akan ke Mekah pada tahun ini juga. Kebetulan ketika itu istriku sedang mengidam dan mencium bau makanan dari rumah sebelah. Ia mendesak agar aku minta makanan itu sedikit. Aku pun pergi ke rumah sebelah untuk minta sedikit makanan yang baunya sedap itu.”

Tapi tetangga itu menangis. “Tiga hari lamanya anak-anakku tidak makan. Siang tadi aku melihat ada seekor keledai tergeletak mati. Maka aku pun menyayat dagingnya sekerat, lalu memasaknya,”kata tetangga itu. Ali Muwaffiq sedih mendengar cerita itu. “Makanan ini tidak halal, tunggulah sebentar!” ujar Ali. Lalu ia mengambil tabungannya sebanyak 350 dirham itu dan menyerahkan semuanya kepada sang tetangga. “Gunakanlah uang ini untuk anak-anakmu,”kata dia.

Ibnul Mubarak terkesima. “Malaikat itu telah berbicara dengan sebenar-benarnya di dalam mimpiku. Dan Penguasa surga benar-benar adil dalam pertimbangan-Nya.”

                                                              **

Ayah Abdullah bin Mubarak di masa mudanya adalah seorang budak berkebangsaan Turki yang bekerja pada seorang saudagar Muslim yang kaya raya.

Pada suatu kesempatan, sang saudagar ingin bersantai sambil menikmati buah delima. Ia menyuruh pemuda budaknya itu memetikkan buah delima yang manis dari kebun di dekat rumahnya.

Pergilah sang budak menunaikan apa yang diminta majikan. Tak berapa lama kemudian, ia kembali dengan menenteng delima yang ranum di tangannya. Sang majikan mencicipi delima tersebut, namun kurang puas karena rasanya asam. Ia memerintah pemuda itu lagi agar mencari delima lainnya.

Budak tersebut pergi ke bagian lain dari kebun tersebut dan memetik buahnya. Lagi-lagi, hasilnya belum memuaskan majikannya. Pemuda budak itu kembali ke kebun, sampai tiga kali berturut-turut. Namun hasilnya tetap sama.

Marahlah sang majikan, “Apakah kamu tidak punya lidah atau kamu mati rasa sehingga kamu tak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang masam?”

Dengan polos pemuda itu menjawab, “Tuanku, bukannya hamba tak punya lidah. Bukan pula aku mati rasa. Tapi delima-delima itu tak halal bagiku. Bukankah aku hanya diperintahkan untuk memetiknya, bukan mencicipinya?”

Seketika redalah amarah sang saudagar. Ia menatap pemuda di hadapannya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sungguh tak percaya, budak itu mampu mengeluarkan kata-kata yang begitu mulia. Beberapa saat kemudian, sang saudagar menemui istrinya. Ia berkata, “Pemuda macam inilah yang layak menjadi suami putri kita.”

Singkat cerita, pemuda itu pun menikah dengan putri majikannya. Dari perkawinan tersebut Allah memberkahi putra laki-laki yang diberi nama Abdullah. Anak ini di kemudian hari dikenal dengan Ibnu Al-Mubarak, seorang ulama hadits yang jadi rujukan ahli-ahli hadits di seluruh dunia.

                                                **

Muhammad ibn Abdul Wahhab Alfarra’ pernah berkata, “Khurasan tidak pernah melahirkan lagi ulama sekaliber mereka bertiga, yaitu Ibnu Al-Mubarak, Nadlr ibn Syamil, dan Yahya Ibn Yahya.”

Sedangkan Syu’aib ibn Harb mengatakan, “Tidaklah Ibnu Al-Mubarak bertemu seseorang kecuali beliau lebilh afdhal dibanding orang tersebut.” Abu Usamah juga mengatakan, “Di kalangan ulama hadits, Ibnu Al-Mubarak bagai Amirul-Mu’minin di tengah-tengah manusia.”

Sementara Al-Awza’i, suatu ketika berkata kepada Abdurrahman Ibn Zaid Al-Juhani, “Apakah Anda pernah bersua dengan Ibnu Al-Mubarak?” Jawab Abdurrahman, “Tidak.” Kata Al-Awza’i kemudian, “Seandainya Anda bertemu dengannya, tentulah ia akan membuat jiwamu tenang.”

Mu’adz ibn Khalid berkata, “Aku menanyakan tentang Ibnu Al-Mubarak kepada Isma’il ibn Iyyasy. Ia pun berkata, ‘Tidak ada di muka bumi ini orang seperti Ibnu Al-Mubarak, dan tidaklah Allah menciptakan suatu kebaikan kecuali kebaikan itu pasti ada pada beliau.’”

Lain lagi kata Ahmad Al-‘Ajaliy, “Ibnu Al-Mubarak orang yang tsiqah (terpercaya) dalam ilmu hadits, seorang yang shalih, seorang penyair yang andal, dan orang yang merangkum di dalam dirinya seluruh cabang disiplin keilmuan.”

Al-Abbas ibn Mush’ab berkata, “Abdullah (Ibnu Al-Mubarak) mengusai ilmu hadits, fiqh, bahasa Arab, sejarah, sekaligus seorang yang pemberani, dermawan, dan saudagar yang sukses.”

Imam Ahmad ibn Hanbal berkisah panjang lebar tentang sosok yang satu ini, “Abdullah (Ibnu Al-Mubarak) dilahirkan pada tahun 118 Hijriah. Beliau lahir dari keluarga yang sangat wara’ dan bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bapaknya seorang berkebangsaan Turki, sedang ibunya putri seorang saudagar kaya dari Hamadzan, keturunan Bani Khanzhalah. Mereka telah memperbaiki makanan yang masuk ke dalam perut mereka, dan sedikit pun mereka tak membiarkan mulut mereka tersentuh sesuap makanan syubhat, apalagi haram. Maka Allah pun memperbaiki keturunan mereka. Tiada anugerah yang paling berharga bagi seorang Muslim kecuali seorang anak yang shalih, alim, mujahid, yang namanya tetap harum sampai abad ini.”

Hafalan yang kuat

Al-Hasan ibn ‘Iisya berkata bahwa Shakhr, salah seorang teman Ibnu Al-Mubarak, mengabarkan, “Ketika kami masih kecil, kami melewati seorang laki-laki yang sedang berkhutbah panjang lebar. Setelah laki-laki itu menyelesaikan khutbahnya, Ibnu Al-Mubarak berkata kepadaku, “Aku telah hafal apa yang ia ucapkan tadi.”

Salah seorang hadirin mendengar itu dan berkata kepada Ibnu Al-Mubarak, “Buktikan perkataanmu!” Maka Ibnu Al-Mubarak pun mengulanginya, persis seperti apa yang disampaikan laki-laki tersebut tanpa mengurangi atau menambahinya.”

Nu’aim Ibn Hammad juga pernah mendengar Ibnu Al-Mubarak mengatakan, “Bapakku berkata kepadaku, “Kalau aku mendapati kamu menulis, aku akan membakar tulisanmu!” Aku menjawab, “Untuk apa aku menulis sedangkan ilmuku ada dalam dadaku.”

                                                **

Pada suatu ketika, Ibnu Al-Mubarak mengirimkan sepucuk surat kepada Fudhail ibn Iyyadh. Di dalam surat tersebut ia menulis untaian syair berikut:

Wahai ‘abid Al-Haramain,

seandainya engkau memperhatikan kami,

engkau pasti tahu bahwa selama ini

engkau hanya main-main dalam beribadah.

Kalau pipi-pipi kalian basah dengan air mata

maka leher-leher kami basah bersimbah darah.

Kalau kuda-kuda kalian letih dalam hal yang sia-sia,

maka kuda-kuda kami letih di medan laga.

Semerbak wanginya parfum, itu untuk kalian,

sedangkan wewangian kami pasir dan debu-debu.

Telah datang Al-Qur`an kepada kita menjelaskan,

para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu pasti.

Usai membaca surat itu, Fudhail meneteskan air matanya seraya berkata, “Engkau benar Ibnu Al-Mubarak, demi Allah, engkau benar.” [  ]

Back to top button