Catatan Menjelang Buka (18) : Tetangga
Rumi sepertinya ingin berpesan bahwa segala sesuatu akan tergantung pada bagaimana kita bersikap. Jadi, jika kamu merasa tidak berarti atau tetanggamu tidak membuat kamu berarti, semata-mata itu merupakan jawaban atas pertanyaanmu. Asap tidak timbul karena api, kata Rumi.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH–Hari ke-18. Sepertinya sudah lama kita melupakan tetangga, apalagi Anda yang hidup di kota-kota besar. Padahal, nyaris dapat dipastikan bahwa kita tidak akan pernah bisa betah tinggal di suatu tempat jika di samping rumah tidak ada tetangga. Coba perhatikan sekali lagi pemandangan di sekitar rumahmu.
Taruhlah bahwa kamu tidak pernah bertemu dengan tetanggamu. Beberapa hal telah menjadi penyebabnya. Tetangga sebelah kanan sibuk sesibuk sibuknya sibuk. Ia, mungkin, pergi saat kamu masih tertidur dan datang ketika kamu telah tidur. Penghuni di sebelah kiri bekerja di luar kota. Ia hanya pulang dua kali dalam sebulan. Tentu saja saat pulang waktunya hanya tersedia untuk keluarganya. Kamu tidak pernah bisa bersua, bahkan untuk sekedar bilang salam saja susah.
Tetangga di depan rumah seorang pengacara terkenal. Tiap hari ia hanya punya waktu untuk melayani tamunya,. Itu pun sebagian besar sering tidak bisa dilayani, mesti nunggu antre untuk esok hari datang lagi. Sementara itu, tetangga di belakang rumahmu angkuhnya nggak ketulungan. Tidak pernah terlintas senyum di wajahnya.
Hitung-punya hitung, dari apa yang terus berulang setiap hari, akhirnya kamu menyimpulkan bahwa hidup di kota memang tidak pernah bisa bertetangga. Kamu pun mengambil keputusan untuk fokus terhadap urusan diri sendiri saja. Kamu merasa tidak punya tetangga.
Baiklah. Tapi, apakah hal itu berarti bahwa tetangga di kanan-kiri-depan-belakangmu tersebut tidak berarti? Bayangkanlah jika mereka semua tidak ada. Bayangkan tempat di sekelilingmu tidak berpenghuni. Bisakah atau beranikah kamu tinggal di situ? Saya pikir, kamu akan berpikir beberapa kali. Paling tidak, kamu akan berpikir soal keamanan. Kamu tidak akan pernah bisa tinggal di sana.
Jadi, tetangga, dengan segala sifat dan karakternya, tetap memiliki makna. Keberadaanmu di suatu tempat diniscayakan karena ada tetangga. Jika kamu bilang “perempuan”, niscya sebutan itu muncul karena ada laki-laki. Jika kamu mengatakan “malam”, niscaya itu terucap karena ada siang. Demikian kurang lebih dikatakan Jalaluddin Rumi dalam “Mihi Ma Fihi”. Dan keberadaan kita, di manapun, ujar Rummi pada bagian lain, adalah sebentuk pertanyaan. Apa yang kamu dapatkan, rasakan, hadapi, dan lain-lain adalah jawaban dari pertanyaan tadi, respons dari keberadaanmu.
Rumi sepertinya ingin berpesan bahwa segala sesuatu akan tergantung pada bagaimana kita bersikap. Jadi, jika kamu merasa tidak berarti atau tetanggamu tidak membuat kamu berarti, semata-mata itu merupakan jawaban atas pertanyaanmu. Asap tidak timbul karena api, kata Rumi. Asap muncul tergantung pada kayu bakar yang dibakarnya. Jika kayu bakar kian kering, asapnya kian tidak ada. Jika yang kamu beri api itu sumbu lampu “cempor”, yang timbul bukanlah asap, melainkan jelaga.
(Bicara jelaga saya jadi ingat masa kecil. Karena belum ada listrik, saya acap tidur di bawah penerangan cempor. Jika nyala apinya kebesaran, jelaganya akan memenuhi bilik dan langit-langit rumah. Dan jika sudah begitu, sudah dapat dipastikan lubang hidung akan menghitam. Sebab salah satu tempat yang disukai jelaga memang lubang hidung).
Kembali ke tetangga. Jelaslah bahwa tetangga akan selalu sangat berarti. Dan ia akan bermakna jika kita membuatnya demikian. Itu sebabnya, adab bertetangga diatur dalam Al-Quran dan banyak hadits Rasulillah saw. Perhatikan, misalnya, QS An-Nisa ayat 36 berikut ini: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya”.
Lantas Baginda Yang Mulia juga bersabda, “Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak aman karena gangguannya.”(HR. Bukhari-Muslim). Pada hadits lain yang juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim Nabi Yang Agung bahkan memperhatikan kasus seseorang yang memasakkan kayu (paku) pada dinding rumah tetangganya. Janganlah kita menolak seseorang yang akan memasakkan kayu ke dinding rumah kita, demikian pesan Nabi. Jadi, betapa penting tetangga, betapa ia harus kita hormati dan muliakan.
Oleh sebab itu, marilah mendahului berbuat baik kepada tetangga; jangan sebaliknya: menunggu tetangga berbaik-baik kepadamu. Perintah Nabi tertuju kepada kita, bukan kepada tetangga. Maka periksalah menu makanan di meja bukamu. Sudahkah dipastikan bahwa tetangga juga ikut mencicipinya?
Secara khusus Nabi berpesan kepada kaum ibu. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda : “Wahai kaum muslimah, janganlah kalian merasa hina untuk memberi sesuatu kepada tetangga kalian, walaupun hanya kikil kambing.” (HR. Bukhari-Muslim).
Selamat berbuka! [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB