Catatan Menjelang Buka (19) : Sihir
Kedua, seorang pemimpin yang gemar melakukan tindakan tertentu yang bukan karakternya atau memakai pakaian yang biasa dipakainya. Seperti seorang gadis di atas, pemimpin tersebut jelas sedang mengarahkan pandangan khalayak pada sesuatu yang ia inginkan, yakni sesuatu yang diandaikan menurut khalayak sangat ideal.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-19, Demi Allah shaum ini kian membuat ekstasi, kita mabuk dalam kenikmatan spiritual. Kelelahan yang lezat. Sendi-sendi tubuh yang melemah ternyata justru menguatkan tulang-tulang jiwa. Semua bujuk-rayu terpental di pintu. Tidak ada yang berani masuk. Juga sihir!
Tapi, apakah sihir? Bagaimana ia beroperasi? Kamus Bahasa Indonesia menyebut sihir sebagai sebuah ilmu, yakni ilmu tentang hal-hal yang gaib, tentang cara menggunakan kekuatan gaib untuk tujuan tertentu. Sementara itu, di dalam Islam sihir dikategorikan sebagai ilmu setan atau ilmu yang mempersekongkolkan manusia dengan setan dalam upaya meraih sesuatu.
Pusat kerja dan objek sihir adalah mata. Tepatnya, sihir mengelola mata korban. Ketika tukang sihir melemparkan tali dan berubah menjadi ular dalam kisah Musa, sesungguhnya tali mereka tetap tali, tidak berubah menjadi ular. Mana bisa tukang sihir menciptakan ular. Hal yang mereka lakukan adalah “membalikkan” tatapan orang yang melihatnya.
Perhatikan QS Al-Araf ayat 115-116 berikut ini: “Ahli-ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan?”Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).”
Jadi, sihir bekerja dengan cara mengelabui atau menipu. Hal itu berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Musa. Ketika dilemparkan, tongkat Musa betul-betul berubah menjadi ular. Sang Maha Pencipta sendiri, Allah Ajja wajjala, yang menjadikan tongkat Musa tersebut menjadi ular. Jadi, ini bukan tipuan, melainkan kenyataan.
Ayat berikutnya (117-118) dari QS Al-Araf menjelaskan hal ini: “Dan Kami wahyukan kepada Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”. Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.”
Lantas, apakah hari ini model sihir semacam itu masih ada? Kita masih sering mendengar berita tentang santet, guna-guna, susuk, dan lain-lain. Itu berarti ia masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Tapi, saya tidak ingin membicarakan sihir antropologis sedemikian. Saya mencatat yang lain, yakni sihir kontemporer. Seperti sihir antropologis, titik bidik sihir kontemporer juga mata. Tapi, caranya berbeda.
Mari kita periksa dua contoh kasus berikut. Pertama, seorang gadis yang memakai lipstik. Apakah yang dikehendaki gadis tersebut: kesehatan, kecantikan, kesensualan, atau apa? Saya pikir nyaris tidak mungkin memakai lipstik karena ingin sehat. Memakai lipstik hampir bisa dipastikan karena ingin terlihat cantik, seksi, sensual, dan lain-lain. Hal ini berarti, memakai lipstik adalah sebuah cara mengarahkan pandangan orang pada sesuatu yang diinginkan pemakai dan khalayak sekaligus, sesuatu yang sebenarnya “tidak ada” atau tidak dimiliki pemakai.
Kedua, seorang pemimpin yang gemar melakukan tindakan tertentu yang bukan karakternya atau memakai pakaian yang biasa dipakainya. Seperti seorang gadis di atas, pemimpin tersebut jelas sedang mengarahkan pandangan khalayak pada sesuatu yang ia inginkan, yakni sesuatu yang diandaikan menurut khalayak sangat ideal.
Sekarang bandingkan gadis pemakai lipstik dengan gadis lain di masa lalu yang memakai susuk; bandingkan pula pemimpin yang berpakaian seperti di atas dengan pemimpin masa lalu yang memakai jimat. Keseluruhannya punya tujuan yang sama, yakni, sekali lagi, ingin dilihat khalayak sebagai sesuatu yang ideal menurut khalayak. Bedanya, susuk dan jimat disembunyikan di dalam tubuh; lipstik dan pakaian justeru ditampakkan.
Hemat saya, perbedaan tersebut semata-mata disebabkan oleh ruang dan waktunya yang berbeda: yang satu berada pada ruang dan waktu masa lalu, lainnya berada di ruang dan waktu masa kini. Kita, orang modern, lantas menyebut yang terjadi di masa lalu sebagai mistik, takhayul, dan lain-lain. Kita lupa, apa yang kita sebut takhayul tersebut belum tentu demikian pada ruang dan waktunya dulu. Mitos, kata Uma Yunus, pada zamannya adalah realitas. Kita juga lupa, apa yang disebut sains hari ini, 1000 tahun kemudian kemungkinan disebut takhayul juga.
Selanjutnya, kita menyebut praktik susuk, santet, dan lain-lain sebagai sihir; sedangkan praktik memakai lipstik dan dan penampilan lain seperti pemimpin di atas sebagai citra. Beranalogi kepada Roland Barthes yang menyebut mitos sebagai ideologi orang masa lalu dan ideologi sebagai mitos orang modern, sihir bisa dikatakan sebagai citra orang masa lalu dan citra sebagai sihir orang masa kini. Dua-duanya, sekali lagi, memiliki tujuan yang sama, yakni mengelabui mata khalayak—jika tidak mau disebut menipu.
Masalahnya, kini nyaris tidak ada sesuatu pun yang luput dari praktik pencitraan Bahkan makanan sehari-hari tidak lepas dari incarannya. Lihatlah, misalnya, iklan madu atau sirup di televisi. Meminumnya bisa menyebabkan Anda menjadi “bla-bla-bla” seraya ditunjukkan di situ sosok atau suasana tertentu sebagai dampak mengonsumsinya.
Apakah hal demikian bukan mengelabui mata dan memicu hasrat? Itu jelas citra. Itu sihir. Semoga shaum melatih mata kita untuk dapat menangkal sihir kontemporer sedemikian. Semoga pula menu berbukamu bukan makanan yang hadir karena jebakan sihir. Selamat berbuka! [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD– ITB