Catatan Menjelang Buka (22) : Pohon-3
Karakter dan anatomi ini menjadi semacam tanda bahwa di satu sisi, secara horizontal, pohon mengabdi kepada manusia. Sementara itu, di sisi lain, tubuhnya yang menjulang vertikal menjadi semacam indeks dari cara beribadahnya kepada Sang Pencipta. Beranalogi kepada Kuntowijoyo yang menulis sajak “Makrifat Daun-Daun Makrifat”, inilah Makrifat Pohon.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-22. Saya sedang di kereta, seraya menulis catatan ini, tadi pagi. Hari ini, 6 sampai 7 jam saya habiskan di kereta, yakni untuk pergi-pulang Bandung-Jakarta-Bandung.
Di Jakarta, saya bertemu mahasiswa, 2-3 jam. Jadi, 7 jam di perjalanan, dan hanya tiga jam bekerja. Ini masih mending sebenarnya. Jika ke Jakarta untuk menjadi narasumber dalam acara televisi, paling lama satu jam saja saya bekerja.
Tapi itu, saya pikir, telah menjadi perkara biasa. Banyak di antara Anda juga demikian, bukan. Hidup memang sebuah perjalanan. Bekerja, dengan begitu, juga menjadi bagian dalam perjalanan. Kesadaran ini menyebabkan saya selalu berusaha untuk tidak tidur di dalam kendaraan.
Tidak ada beda antara ketika bekerja dan ketika sedang menuju ke tempat kerja. Semua punya makna, jika kita memberinya makna. Dan memberi makna hanya bisa dilakukan dengan membuka mata. Melalui cara ini, kita berpacu dengan waktu.
Saya menatap ke balik jendela. Perjalanan ke Jakarta dengan kereta selalu menyenangkan. Mata kita dininabobokan oleh hijaunya alam. Kita menerobos sedikit hutan yang masih tersisa di tanah Sunda, antara Bandung-Jakarta. Di beberapa lekuk, menatap jauh keluar sana, bagi saya adalah mengingat lukisan pemandangan karya perupa masa lalu: karya-kaya moi Indie atau Hindia moi.
Nyaris selalu ada pohon pada lukisan mereka. Selain peneduh, penyubur, pemasak (dari bentuk dasar “pasak”), dan lain-lain, salah satu peran pohon memang menjadi penanda keindahan alam. Sebab itu pula, sejak mula manusia telah bersahabat dekat dengan pohon. Hawa tidak jatuh cinta kepada hewan, tapi kepada pohon. Dan perhatikan sekali lagi, anatomi tubuh kita lebih menyerupai pohon daripada hewan.
Kita dan pohon sama-sama tumbuh ke atas, vertikal; sedangkan umumnya hewan horizontal. Tentu saja ada pula pohon dengan cabang dan dahan yang menyamping semacam ketapang, tapi tetap kecenderungan dominannya vertikal. Pun demikian kita, beberapa orang ada juga yang menyamping, bukan. Tapi, sejauh ini kita tidak mengenal ukuran lebar badan, yang ada hanya tinggi badan. Lebar badan mungkin hanya dipakai tukang jahit, seperti diameter lingkaran pohon yang menjadi acuan tukang kayu.
Menemukan anatomi pohon sedemikian dus memahami seluruh karakternya, dengan segala kerendahan hati dan permohonan ampun kepada Sang Mahatinggi, Allah Ajja Wajjala, saya memberanikan diri untuk mengedepankan inti tafsir saya terhadap makhluk bernama pohon ini di sini.
Jika Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya, kiranya Allah juga tidak menciptakan pohon kecuali untuk beribadah kepada-Nya, tapi melalui pengabdian kepada manusia. Tentu secara keseluruhan semesta ini diciptakan Allah untuk manusia, sebagai tanda kasih sayang-Nya yang Maha. Tapi, saya melihat yang spesifik pada pohon.
Tidak seperti hewan yang di antaranya memiliki karakter liar dan buas sehingga bisa mengancam manusia, tidak ada pohon yang mencelakakan. Pohon betul-betul diciptakan sebagai makhluk pasif. Tidak seperti hewan (liar) yang seolah hendak berkompetisi dengan manusia sehingga manusia juga memburunya, pohon menyerahkan seluruh dan seutuh tubuhnya kepada manusia. Dengan kata lain, dibandingkan dengan hewan yang dalam beberapa hal bisa menjadi musuh manusia, pohon adalah sahabat abadi manusia.
Dalam kepasifan sekaligus kebersahabatannya dengan manusia, pohon yang tumbuh vertikal seolah hendak menemui Rabb-nya di Ufuk. Karakter dan anatomi ini menjadi semacam tanda bahwa di satu sisi, secara horizontal, pohon mengabdi kepada manusia. Sementara itu, di sisi lain, tubuhnya yang menjulang vertikal menjadi semacam indeks dari cara beribadahnya kepada Sang Pencipta. Beranalogi kepada Kuntowijoyo yang menulis sajak “Makrifat Daun-Daun Makrifat”, inilah Makrifat Pohon.
Makrifat Pohon sedemikian, oleh Allah sendiri dijadikan semacam rujukan untuk manusia. Perhatikan Al-Quran Surat Ibrahim ayat 24-26. Di situ Allah menjelaskan tentang “Kalimat yang baik” sebagai pohon yang baik, yakni yang akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit (24). Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Dan perumpamaan ini dibuat agar manusia selalu mengingatnya (25). Di sisi lain, Allah juga mengumpamakan “Kalimat yang buruk” sebagai pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak bisa tegak sedikit pun (26).
Menarik memperhatikan tentang pohon yang buruk pada ayat (26) di atas, yakni yang telah dicabut dengan akarnya. Dari sisi bahasa itu berarti pohon (ketika belum dicabut) tidak ada yang buruk. Kemungkinan pesan lain, pohon buruk itu tidak ada sebab telah dicabut. Penggunaanya pada ayat di atas tampak hanya sebagai amsal. Riil pohonnya sendiri tidak ada yang buruk. Di dalam Al-Quran memang disebut pohon yang buahnya menjadi makanan penghuni neraka, yakni pohon Jaqqum (lihat QS As-Syafaat: 62-67, Al-Waqiah: 52, dan Ad-Dhukan :43-46. Sebagai makanan penghuni neraka, sudah pasti ia buruk. Tapi, ia tumbuh di neraka, bukan di bumi.
Di bumi, Baginda Rasul Yang Agung, Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, dalam salah satu sabdanya menyebut satu pohon yang bisa kita sebut buruk karena ia melindungi Yahudi dalam perang di akhir zaman. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim itu dijelaskan bahwa dalam perang tersebut orang Yahudi banyak bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Tapi, batu dan pepohonan tadi malah memberitahukannya. Hanya ada satu jenis pohon yang tidak mau memberikan informasi. Alih-alih memberi infrmasi, pohon itu justeru menyembunyikannya. Pohon itu bernama Gharqad.
Sebagian pihak mengartikan pohon itu secara harafiah. Dan jenis pohon tersebut memang ada (tumbuh). Konon bangsa Yahudi di Israel giat menanam pohon ini dalam jumlah yang banyak. Yahudi memang bangsa yang mengakui kebenaran wahyu dan hadits, tapi mereka tidak mau menerima.
Saya sendiri melihat ada semacam ruang metaforik dari sabda Junjungan Alam tentang pohon tersebut. Ketika dalam suatu kesempatan berziarah ke Al-Aqsha, agak serius saya memperhatikan pohon yang tumbuh di beberapa tempat di Bumi Syam itu. Rindang, pendek, dan berduri, Gharqad tampak berbeda dari pohon lain di sekitarnya. Barangkali kesan demikian muncul karena saya menatapnya dengan pikiran dan ingatan yang merujuk kepada sabda Baginda Rasulillah. Tapi, karena hal itu juga sekaligus muncul semacam tafsir metaforik di benak saya. Tumbuh berumpun-rumpun di tengah padang pasir, dari kejauhan Gharqod tampak seperti barisan tank baja. Duri-durinya adalah rantai yang melapisi roda kendaraan perang tersebut. Wallahu alam bishawab. Semoga Allah mengampuni pandangan gegabah ini.
Terlepas dari tafsir apa pun, sependek pengetahuan saya, Gharqad tidak tumbuh di Indonesia. Ia pasti bukan mangga golek saya yang sekarang entah bagaimana nasibnya itu. Insha Allah juga bukan bonsai di depan rumah yang sekarang sedang dalam penyembuhan. Saya jadi merasa berdosa (lagi). Tadi sebelum berangkat lupa tidak sempat menyapanya. Semoga dia baik-baik saja.
Kembali saya menatap jendela. Di luar, pepohonan sepanjang rel tampak kian jarang. Sisanya, satu-satu, tampak seperti susah payah memperhatikan saya. Itu karena selepas Purwakarta, laju kereta semakin cepat. Dan kian cepat kereta melaju, kian terlempar pohon-pohon itu ke belakang. Entah apa yang terjadi kemudian.
Terdengar isak menjauh. Semoga itu bukan penanda dari nasib pohon yang akan kian memburuk di masa depan. Saya tidak berani lagi membayangkan kerusakan. Tapi, memasuki Bekasi, yang semakin subur tumbuh memang pohon beton. Lewat Jatinegara, udara bertuba sepertinya biasa. Samar-samar, dari arah berlawanan mulai terdengar kabar: konon orang-orang mulai akan giat menanam Pohon Palsu. Apakah itu hanya isu? Saya tidak tahu.
Sudah terlalu panjang catatan ini. Selamat berbuka. Insya Allah, saya berbuka di kereta, dalam perjalanan pulang ke Bandung.[ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD–ITB