Catatan Menjelang Buka (29) : Doa
Seseorang yang berdoa adalah ia yang mengingat Tuhannya, yang menyadari bahwa dirinya kecil, tidak berdaya dan hina dina. Dalam semiotika, doa adalah ekspresi dari iman seseorang. Makin khusuk dan makin sering seseorang berdoa, makin kuat tingkat keimanan orang bersangkutan. Kepemilikan atas iman ini adalah rezeki, kebaikan, dan/atau keutamaan yang diberikan Allah.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-29. Tibalah kita pada penghabisan. Kita di bandara, setelah sebulan penuh menjelajahi relung-relung paling dalam kontemplasi. Insha Allah. Shaum sejatinya memang “penghentian sejenak” dari perjalanan melingkar menuju upuk. Puasa adalah “rest area”, tempat di mana kita bisa mengisi bahan bakar, dus selonjor barang sebentar meluruskan urat-urat yang melilit.
Tapi, di tempat peristirahatan itu pula, esei-esei pendek yang diberi tajuk Catatan Menjelang Berbuka (Cambuk) ini hadir mengganggu. Ia seperti pengamen yang datang tanpa diundang, memaksa berdendang dalam nada sumbang. Suaranya hanya derak yang serak. Dari segala dimensi, ia tampak miskin isi. Ironisnya, sebagaimana pengamen, catatan ini tetap menuntut bayaran. Lihatlah, ia seolah memaksa minta diperhatikan. Ia genit dan keterlaluan.
Oleh sebab itu, di bandara ini, sebelum besok kamu melanjutkan perjalanan melingkar menuju ufuk, mohon maafkanlah esei-esei pendek itu. Sebagaimana kamu dapat saksikan, esei-esei butut itu kini berkerumun di sudut. Tampak sekali betapa mereka compang-camping. Sebagian dari mereka tidak bermata, sebagian lain tak berkuping, satu-dua bibirnya sumbing, yang lain kakinya pincang. Tidak ada satu pun yang sempurna. Maafkanlah.
Barangkali esei-esei itu hanya bisa berdoa dengan sebuah keyakinan bahwa seluruh doa akan dikabulkan. Benar. Tidak ada doa yang tertolak. Doa telah dikabulkan saat ia diucapkan. Mari, sebelum berpisah, kita telaah sejenak.
Seseorang yang berdoa adalah ia yang mengingat Tuhannya, yang menyadari bahwa dirinya kecil, tidak berdaya dan hina dina. Dalam semiotika, doa adalah ekspresi dari iman seseorang. Makin khusuk dan makin sering seseorang berdoa, makin kuat tingkat keimanan orang bersangkutan. Kepemilikan atas iman ini adalah rezeki, kebaikan, dan/atau keutamaan yang diberikan Allah.
Di sisi lain, tengoklah, betapa banyak manusia angkuh yang tidak diberi anugerah berupa kesadaran untuk berdoa. Allah berfirman dalam Surat Gafir ayat 60, “…Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina”.
Maka jelas, doa adalah tanda keimanan. Saat kamu berdoa, saat itu kamu mendapat yang terbaik, yaitu iman. Doa adalah sesuatu yang di dalam dirinya sendiri terdapat “mekanisme peng-kabulan”. Doa telah dikabulkan pada saat ia diucapkan.
Bagian awal dari Surat Gafir ayat 60 berbunyi,”Berdoalah, niscaya kami akan kabulkan…”. Ini saja sudah jaminan. Janji Allah absolute. Pengkabulan atas doa tidak pernah tertunda. Semua doa adalah permohonan kebaikan, bukan. Dan tidak ada kebaikan yang sebaik-baiknya BAIK kecuali pertemuan dengan Allah dalam iman.
Lebih jauh bisa dikatakan, doa adalah pengakuan total bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Di situ, doa menjadi sebuah ekspresi keyakinan bahwa hanya Allah saja yang bisa menolong. Di sisi lain, karena doa adalah peng-kabulan itu sendiri, berarti Allah hadir dalam setiap doa. Ada-nya Allah dalam doa sedemikian adalah penanda dari kasih “yang maha” dan sayang “yang maha”. Tidak ada yang melebihi itu.
Firman Allah yang lain, yang telah familiar di telinga kita adalah “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S Adz-Dzaariyaat: 56).
Doa adalah ibadah. Shalat, sebagai ibadah pokok (tiang) dalam Islam isinya hanya dua hal, yakni doa dan pujian terhadap Allah. Secara spesifik, shalat sunat bahkan dihubungkan atau disebut langsung sebagai doa. Shalat duha, istikharah, tahajud, taubat, hajat, dan seterusnya adalah doa. Shalat dua rakaat sebelum subuh adalah doa yang sangat dasyat. Pahalanya bumi dan seluruh isinya. Allahu Akbar.
Berdasarkan hal tersebut, kata “beribadah” dalam firman Allah di atas dapat disubstitusi oleh kata “berdoa”. Allah ciptakan jin dan manusia semata-mata untuk berdoa. Lantas, untuk siapa kita berdoa? Pasti untuk kita sendiri. Jadi, Allah menciptakan jin dan manusia untuk jin dan manusia itu sendiri. Allahu Akbar. Nikmat mana lagi yang akan kita dustakan! Kita tidak bisa mengelak. Ada-nya kita adalah eksistensi dari Kasih Sayang Allah itu sendiri. Kita adalah doa yang dikabulkan.
Bagaimana dengan shaum? Tentu kamu juga sudah familiar dengan firman Allah dalam hadits Qudsi berikut ini. “Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR Bukhari). Ini berarti bahwa shaum adalah doa untuk Allah. Dengan kata lain, dalam shaum keberadaan kita seluruh dan seutuhnya untuk Allah. Shaum adalah ibadah kepasrahan yang total. Pemasrahan diri yang total biasanya hanya dilakukan di dalam doa. Dengan demikian, sekali lagi, shaum adalah doa.
Memahami uraian di atas, esei-esei butut yang bertumpuk di sudut itu tampak semakin terpuruk. Kian terasa betapa selama ini mereka telah betul-betul menjadi pengganggu yang serius. Memang tidak semua WAG didatangi setiap hari dalam satu bulan ini. Di beberapa WAG, dengan pertimbangan tertentu, hanya sesekali saja ia muncul. Tapi, setiap hari atau pun hanya sesekali, sama saja: keduanya mengusik. Oleh sebab itu, sekali lagi mohon maaf, lahir dan batin. Sekaligus dengan ini juga pe-cambuk mohon pamit. Kita akan bertemu di surga kelak. Insha Allah. Selamat iedul fitri! [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB