Catatan Menjelang Buka (4) : Setan Pada Aroma Kopi
Pada bulan Ramadhan setan-setan memang di belenggu, tapi itu setan dalam wujud makhluk, bukan sifat. Ia yang telah bersenyawa dengan sifat manusia pastilah bebas-bebas saja. Karena itu, ada setan dalam lapar, seperti ada juga yang menempel pada aroma kopi.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Ini kali kita memasuki hari ke-4. Apakah menu yang sudah tertata di meja membuat Anda ingin segera melahapnya?
Di antara banyak hal yang suka mengganggu jika kita sedang lapar adalah bebauan (aroma). Dan jika laparnya karena puasa, bebauan tersebut pasti bisa lebih tajam menyengat. Aroma seduhan kopi, misalnya, bisa merambat dalam jarak 100 meter lebih.
Mungkin bukan aroma kopi itu benar yang menusuk, tetapi karena lapar yang memanggil. Bisa jadi juga bukan lapar yang berulah, melainkan setan yang melambai.
Pada bulan Ramadhan setan-setan memang di belenggu, tapi itu setan dalam wujud makhluk, bukan sifat. Ia yang telah bersenyawa dengan sifat manusia pastilah bebas-bebas saja. Karena itu, ada setan dalam lapar, seperti ada juga yang menempel pada aroma kopi.
Soal bebauan sebenarnya terdapat beberapa jenis. Anthony Synnott, misalnya, melalui bukunya “The Body Social: Symbolism, Self, and Society” (2002), mengategorikan bebauan menjadi tiga jenis, yakni bau alami (seperti bau tubuh), bau manufaktur/pabrikan (deodoran, produk makanan, minuman, dll), dan bau simbolik (bau metaforik). Tapi, umumnya kita tidak terlalu peduli, bahkan tidak ngeuh tentang bau alam dan bau simbolik. Pengetahuan dan pemahaman kita biasanya hanya terfokus pada bau pabrik. Itu pun bukan merupakan studi serius atau perhatian khusus.
Mengapa? Karena indera penciuman sendiri memang jarang digunakan. Bebabuan lebih banyak masuk ke dalam tubuh kita tanpa disengaja. Dengan kata lain, kita lebih banyak menerima bebauan daripada mengendusnya.
Mengapa pula? Sebab mengendus tampaknya bukan kebiasaan manusia, melainkan lebih merupakan insting binatang. Itu mengapa kita mengenal anjing pengendus; sedangkan untuk pekerjaan sama tapi dilakukan manusia, kita mengategorikannya sebagai memata-matai. Bayangkan juga jika, misalnya, untuk membedakan baju yang bagus dengan yang jelek di sebuah toko, Anda lakukan dengan cara mengendus. Pemilik toko pasti akan menganggap Anda punya kelainan, jika tidak mau disebut gila. Indera penciuman, sebagaimana dikategorikan Aristoteles, memang berada pada level paling bawah. Dua posisi teratas adalah penglihatan dan pendengaran.
Tapi, coba simak deskripsi yang ditulis James Joyce, melalui tokoh rekaannya, dalam novel A Portrait of the Artist as a Young Man, yang dikutip Synott:
“cold night smell in the chapel. But it was a holy smell. It was not like the smell of the old peasants who knelt at the back of the chapel at Sunday mass. That was a smell of air and rain and turf and corduroy. But they were very holy peasants”.
Atau yang ditulis George Orwell, juga dikutip Synott, berikut ini:
“a whiff of something cold and evil-smelling—a sort of compound of sweaty stockings, dirty towels, faecal smells blowing along corridors, forks with old food between the prongs, neck-of- mutton stew, and the banging doors of the lavatories and the echoing chamber-pots in the dormitories”.
Joyce pasti memiliki kepekaan terhadap bau alam dan metaforik sehingga mampu berujar—melalui tokoh-tokohnya—bau malam, bau yang kudus, bau udara, hujan, tanah berumput hingga beledu. Demikian juga Orwell. Ia mampu mengidentifikasi hawa dingin berbau jahat—semacam senyawa kaos kaki dan bau keringat. Orwell bahkan mampu mengendus makananan yang tertinggal lama di sela-sela gigi.
Kini bayangkan kita yang memiliki kepekaan demikian. Di hadapan menu yang menggoda di meja, mungkin kita bukan hanya ingin menyantapnya seperti biasa, melainkan hendak melahap seluruhnya dengan segera. Bagaimana tidak demikian, sebab bukankah seluruh makanan itu menghembuskan aroma sorga. Semoga memang begitu. Semoga itu karena shaum kita hari ini diterima Yang Mahakuasa. Aamiiin. Selamat berbuka! [ ]