Catatan Menjelang Buka (6) : Cahaya
Pada terang siang sesungguhnya kita berada dalam ancaman kegelapan. Itu sebabnya, sekali lagi, pada siang Allah mewajibkan kita berpuasa. Sebagai ibadah khusus yang diminta oleh Allah langsung, shaum menjadi tanda Mahakasih dan Mahasayangnya Allah Ajja wa Jalla, agar kita tidak tersesat dalam terang siang yang sesungguhnya adalah gelap itu sendiri.
Oleh : Acep Iwan Saidi
JERNIH–Hari ke-6, kembali kita masuk ke dalam putaran jarum jam yang menunjuk angka menjelang magrib, saat matahari pergi ke barat. Cahaya siang bergeser, digilir oleh datangnya cahaya malam. Ini siklus sebaliknya saat kita mulai shaum tadi pagi, yakni fajar yang menggeser sisa-sisa sinar bulan.
Gerak dari terang ke gelap atau sebaliknya, dari gelap ke terang sedemikian, tentu merupakan peristiwa alam mahabesar sekaligus mahapenting. Bayangkan jika matahari dan bulan sama-sama berhenti tepat di gardu pertukaran itu. Saya tidak berani memberi ilustrasi. Untuk mendapat jawaban memuaskan, sebaiknya Anda membuka Al-Quran Surat Al-Qiyamah saja.
Ini kali saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua jarang mengingat itu, bukan? Setiap fajar menyingsing dan matahari terbenam, kita seolah tidak merasakan apa-apa. Semua seperti berjalan biasa saja. Alamiah. Kita selalu mempunyai fokus yang lain.
Saat fajar tiba, misalnya, kita bahkan masih sering berada dalam lelap. Tak sempat pula kita menyaksikan embun yang turun di kelopak bunga, yang lalu raib entah kemana. Barangkali ia telah kurban diri pada akar mawar, agar kembang merona sepanjang hari. Tapi, siapa peduli. Di kampung dulu, si pelung, ayam tetangga, selalu saja yang lebih siaga.
Lantas, ketika petang datang menjemput siang, kita pun selalu masih centang-perenang dalam kemacetan lalu-lintas kota yang garang. Jika tidak begitu, pasti masih lengket pada agenda rapat, masih tertimbun kertas kerja yang terus menggunung, berkelindan dalam hasrat menguasai dunia yang tak berjeda. Entah telah berapa lama kita tidak pernah menyaksikan matahari beringsut ke barat, perlahan menyelinap ke balik bukit. Tak kamu dengar isak menjauh, bukan?
Shaum, Allahu Akbar, terletak di antara dua titik pergantian cahaya itu, dalam interval yang merentang di antara gelap ke gelap. Kita memang tidak tahu di antara gelap malam dan terang siang, manakah yang menjadi dasarnya, mana pula penyambungnya: apakah siang yang menjadi penyambung malam ke malam, atau malam yang mengantarai siang ke siang.
Dengan keterbatasan nalar, kita hanya tahu bahwa shaum dilaksanakan siang hari. Kita diwajibkan untuk menjaga diri seketat-ketatnya pada siang. Siang seolah sebuah ancaman.
Sementara malam, fakta simboliknya menunjukkan hal yang berlawanan. Ingatlah, para malaikat diturunkan malam hari (lailatur qodar). Kita diberi tahu tentang malam 1000 bulan, bukan siang 1000 matahari. Saat mengutus Jibril untuk menemui kekasih-Nya di Hira, Allah pun memilih malam. Dan ketika Sang Kekasih dipanggil menghadap ke Arasy-Nya melalui Mi’raj, malam pula yang dipilih. Bukankah pada malam juga kamu diberi kesempatan terbuka untuk bersimpuh kepada-Nya, dalam khusu’ tahajudmu?
Jika begitu, Cahaya sesungguhnya hadir ketika malam, ketika gelap. Atau gelap sesungguhnya adalah Cahaya. Sedangkan siang, bisa jadi, hanya menghadirkan ilusi terang.
Pada terang siang sesungguhnya kita berada dalam ancaman kegelapan. Itu sebabnya, sekali lagi, pada siang Allah mewajibkan kita berpuasa. Sebagai ibadah khusus yang diminta oleh Allah langsung, shaum menjadi tanda Mahakasih dan Mahasayangnya Allah Ajja wa Jalla, agar kita tidak tersesat dalam terang siang yang sesungguhnya adalah gelap itu sendiri. Shaum adalah ibadah yang “menjaga kita untuk tetap berada di dalam Cahaya Maha Cahaya”—meminjam sajak Emha Ainun Najib.
Nah, kini kita berada pada titik pergeseran siang ke malam. Secara kasat mata kita bergerak dari terang ke gelap, tapi secara hakikat justeru sebaliknya: kita beringsut dari Gelap ke Cahaya. Berbuka puasa, dengan demikian, menjadi semacam tanda pembuka Cahaya di satu sisi dan penutup Gelap pada sisi yang lain.
Untuk ini penting terus-menerus diingat sabda Baginda Yang Mulia, puasa membawa pelakunya ke dalam dua kebahagiaan, yakni kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat menemui Rabbnya. Bagaimana tidak bahagia, kita berada dalam Cahaya. Selamat berbuka, hanyutlah dalam Cahaya Mahacahaya! [ ]
*Ketua Forum Studi kebudayaan FSRD ITB