Hathib bin Balta’ah, Sahabat Nabi yang Mengkhianati Upaya Penaklukan Mekkah
Betapa terkejutnya Ali dan sahabat lainnya ketika membaca surat Hathib yang berisi pembocoran hal-hal yang berkaitan dengan rencana penyerangan kota Mekkah. Para sahabat marah, menilai Hathib telah berkhianat.
JERNIH—Tidak semua ayat AlQuran yang turun berkaitan dengan perilaku para sahabat Nabi SAW senantiasa menyoal hal-hal baik dari mereka. Salah satunya adalah ayat yang turun berkenaan dengan apa yang dilakukan sahabat Nabi yang ikut berhijrah, bahkan ikut berperang, baik di Badar maupun Uhud, Hathib bin Balta’ah.
Hatib bin Balta’ah merupakan sahabat Nabi yang ikut hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sama seperti sahabat yang lain, Hatib meninggalkan sejumlah harta dan keluarga yang ada di Mekkah saat peristiwa hijrah.
Pada saat Nabi SAW merasa bahwa kekuatan umat Islam di Madinah sudah cukup, Rasulullah berencana menaklukan kembali kota suci tersebut. Penaklukan kembali kota Mekkah ini dikenal sebagai peristiwa fathu Mekkah.
Rasulullah yang kala itu berada di Madinah sudah bersiap untuk menyerang kota Makkah karena kaum kafir telah melanggar perjanjian Hudaibiyah. Hatib yang mengetahui rencana Rasulullah tersebut, tiba-tiba dibisiki niat buruk. Ia menulis sepucuk surat untuk orang-orang Mekkah, yang dimaksudkan untuk membocorkan strategi dan saat penyerangan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat beliau.
Padahal, penyerangan itu direncanakan tiba-tiba dan rahasia, karena Nabi Muhammad SAW pun di hadapan para sahabatnya pernah bersabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar, hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Hatib ketika itu mengutus seorang perempuan untuk membawa surat yang ditulisnya ke Mekkah.
Tetapi dengan izin Allah, Rasulullah SAW mengetahui apa yang dilakukan Hatib. Sahabat Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khattab, Ammar bin Yassir, Thalhah bin Ubaidillah dan yang lain pun segera diutus Rasulullah untuk mencegat perempuan kurir tersebut.
Ketika mereka berhasil menyusul perempuan itu di tengah padang pasir, Ali bin Abi Thalib meminta surat yang dibawanya. Meski semula menolak, perempuan itu akhirnya menyerahkan surat yang ditulis Hathib.
Betapa terkejutnya Ali dan sahabat lainnya ketika membaca surat Hathib yang berisi pembocoran hal-hal yang berkaitan dengan rencana penyerangan kota Mekkah. Para sahabat marah, menilai Hathib telah berkhianat. Mereka pun segera melaporkan hal itu kepada Nabi.
Hathib pun segera diambil dari rumahnya, dibawa ke hadapan Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksud Hathib menulis surat tersebut.
Mendengar pertanyaan Rasulullah yang sedikit marah, Hathib langsung mengiba dan memohon kepada Rasulullah agar beliau tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Ia bersumpah, dirinya tidak murtad, tidak pula bermaksud berkhianat.
“Kaum muhajirin semuanya memiliki orang-orang yang melindungi keluarga mereka di Mekkah,” kata Hathib. “Kecuali aku. Padahal keluargaku berada di tengah-tengah mereka. Aku hendak berjasa kepada kepada mereka, dengan harapan mereka tidak akan mengganggu keluargaku!”
Rasulullah terdiam, lalu menjawab, “Dia berkata benar! Jangan berkata mengenai Hathib kecuali yang baik!”
Melihat kejadian itu, Umar bin Khattab yang berwatak sedikit pemberang pun naik pitam. Baginya Hathib tetaplah mengkhianati Nabi dan para sahabat yang lain. Umar berkata,” Izinkan saya, ya Rasul, memenggal kepala orang munafik ini!”
Rasulullah melarang Umar, dan menjawab,”Bukankah dia telah ikut berperang dalam Perang Badar, ya Umar! Mendengar hal itu air mata Umar berlinang. Allah dan Rasul-Nya mengampuni dan memaklumi sikap Hathib bin Balta’ah.
Berkanaan dengan kisah ini, Allah mewahyukan Alquran surat al-Mumthanah: ayat 1 kepada Nabi,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan salah satu contoh kelemahan manusia ketika menghadapi masalah keluarga. Hathib yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW dan ikut andil dalam Perang Badar pun, masih terjerumus ke dalam perbuatan salah karena ingin melindungi keluarganya di Mekkah. Allah memaafkannya dan Rasul pun memahami motif tindakannya.
Dari kisah ini, kita bisa belajar banyak hal. Di antaranya bahwa ajaran yang dibawa Rasulullah SAW adalah ajaran kasih sayang dan memaafkan. Hathib, dalam cerita di atas, bisa dikatakan penghianat. Hukuman bagi seorang penghianat pada umumnya adalah mati, sebagaimana dipahami Umar yang ingin membunuh Hathib. Namun Rasulullah berkata lain, memaafkannya dengan penuh lapang dada.
Menghukumi seseorang yang salah tidak boleh dengan emosi. Sebab, ketika emosi seseorang kehilangan akal sehatnya. [ ]