Imam Al Ghazali Tentang Tipu Daya Yang Menimpa Para Ulama [1]
Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya. Sehingga Umar bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh setibanya di Syam. Lalu Umar berkata, “Kami adalah kaum di mana Allah meninggikan kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam.”
JERNIH—Menurut Imam Al Ghazali, sejatinya kalangan ulama ini terbagi menjadi beberapa golongan. Salah satu golongan dari mereka, adalah kalangan yang terlalu mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu rasional.
Mereka sibuk dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan penjagaan dirinya dari tindakan maksiat dan mengabaikan ketaatan. Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri. Anehnya, mereka menyangka memiliki posisi di hadapan Allah swt. Bahkan mereka berasumsi bahwa Allah tidak akan menyiksa mereka, karena ilmunya telah mencapai suatu tahap tertentu. Mereka merasa bisa memberi syafaat terhadap orang lain, dan mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya. Mereka sebenarnya tertipu.
Kalau saja mereka mau melihat dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan titik pandang bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua :
Ilmu Muamalat danIlmu Mukasyafah, yaitu pengetahuan terhadap Allah swt dan sifat-sifat-Nya.
Sementara Ilmu Muamalat berfungsi sebagai komplementer hikmah yang dituju, yaitu pengetahuan tentang halal dan haram, pengetahuan etika jiwa yang tercela dan terpuji. Mereka itu seperti seorang dokter yang mampu mengobati orang lain, sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya mampu mengobati dirinya sendiri, tetapi hal itu tidak dilakukan.
Lalu apa gunanya pengobatan tersebut? Sungguh jauh dari harapan, di mana terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang yang mau meminum obat tersebut setelah merasakan demam. Mereka melupakan firman Allah swt.:“Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan jiwa dan benar-benar merugi orang yang mengotorinya”. (Q.S. asy-Syams: 9-10).
Allah tidak berfirman, “Barangsiapa yang mengetahui penyucian jiwa dan menulis ilmunya, serta mengajarkannya kepada manusia”. Mereka pun alpa terhadap sabda Nabi saw.: “Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak tambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah dari Allah kecuali jauh dari-Nya”.
“Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari Kiamat adalah seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh Allah kemanfaatan atas ilmunya”.
Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan. Mereka itu adalah para Ulama yang tertimpa tipu dayanya sendiri, dan semoga Allah menjaga kita dari tingkah laku mereka. Mereka sebenarnya terhimpit oleh kecintaan duniawi, egoisme dan mencari kemudahan dunia saja, sembari berangan-angan bahwa ilmunya mampu menyelamatkan dirinya di akhirat tanpa harus beramal.
Kelompok pertama
Sedangkan kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan amal-amal lahiriah, meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan kondisi ruhani jiwanya. Mereka tidak mau menghapus sifat-sifat tercelanya di hadapan Allah swt. seperti: sombong, riya’, dengki, ambisi posisi dan status, berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari popularitas di tengah-tengah negeri dan penduduknya.
Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh kealpaannya terhadap hadis Nabi saw.: “Riya’ adalah syirik kecil”. “Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan kayu kering”. “Cinta harta dan kemuliaan bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air menumbuhkan sayur mayur”. Dan hadis-hadis lainnya.
Mereka pun melupakan firman Allah swt.:“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (Q.S. asy-Syu’ara’: 89).
Mereka alpa hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah belaka. Padahal yang hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya. Ia ibarat orang berpenyakit kudis, lantas dokter memerintahkan untuk mengoleskan dan meminum obat, tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa meminum obat.
Akhirnya, penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya masih bercokol. Padahal akar penyakit itu justru dari dalam, karenanya semakin bertambahlah penyakit dalamnya. Seandainya sumber penyakit dari dalam hilang, pasti yang di luar semakin ringan. Begitu pula kotoran-kotoran manakala bertengger dalam hati, akan tampak pengaruhnya pada fisik.
Kelompok kedua
Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahwa pelanggaran tersebut dicaci oleh syari’at. Hanya saja, karena mereka terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya lepas dari cacian tersebut.
Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari cobaan seperti itu. Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada pihak yang telah sampai pada taraf ilmu pengetahuan. Sementara mereka kalangan Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut, sehingga mereka terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri, bahwa cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan.
Mereka beralasan apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama, menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama Allah. Mereka lupa pesta iblis karena tindakan mereka itu, mereka juga alpa bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi Saww. dan bagaimana kehinaan orang-orang kafir.
Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya. Sehingga Umar bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh setibanya di Syam. Lalu Umar berkata, “Kami adalah kaum di mana Allah meninggikan kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam.”
Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk meraih kemuliaan agama, dan ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu dan menghormati agama dengan tindakannya. Ketika mereka membahas rasa dengki teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia tidak menduga bahwa tindakannya itu pun merupakan kedengkian pula.
Lantas ia berkelit,“Ini merupakan kemarahan demi kebenaran, mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan kezalimannya.” Tentu tindakannya merupakan tipudaya. Sebab manakala ia menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan bukan dengan amarah, tetapi dengan rasa gembira karena mampu mengkounter temannya.
Kalau di hadapan manusia ia tampak marah, padahal hatinya gembira. Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari berucap, “Tujuan saya, sebenarnya memberi kontribusi faedah kepada manusia,” padahal ucapannya itu didasari riya’. Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yang sepadan atau di atasnya, bahkan orang yang ada di bawahnya.
Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia memuji-muji dan menampakkan kecintaannya. Ketika ditanya soal tindakannya itu, ia menjawab, “Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama ummat Islam, dan menolak bahaya dari penguasa itu.” Padahal ia terkena tipudayanya sendiri. Tentunya, bila memang demikian tujuannya, pasti ia akan senang bila yang melakukan itu orang lain. Seandainya ada seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa, ia justru emosi pada tindakan orang lain itu.
Ketika ia bisa meraih harta dari penguasa, lantas muncul di benaknya bahwa harta itu haram, tiba-tiba syetan berbisik, “Ini harta tanpa pemilik, bisa dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Andakan pemuka ummat dan pakar mereka. Karena Andalah agama ini bisa tegak.”
Di sini ada tiga tipudaya: Pertama, bahwa ada harta yang tidak ada pemiliknya. Kedua, demi kemaslahatan ummat Islam. Ketiga, ia adalah pemuka ummat.
Lantas apakah ada seorang pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi seperti para Nabi, para sahabat dan Ulama-ulama ummat yang utama? Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa as. berkata, “Seorang alim yang buruk ibarat batu di pinggir jurang, tidak mencerap air tidak pula memancarkan air” yang dialirkan ke pertanian.” Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang terpedaya, dan tindakan destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi kebajikannya.
Kelompok ketiga
Mereka mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan menyucikan fisiknya, menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak jiwa dari sifat-sifat qalbu, sehingga tetap memelihara riya’, dengki, takabur, dendam dan ambisi meraih posisi.
Mereka sedang berupaya memerangi diri mereka untuk bebas dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut akar yang tumbuh dalam hatinya, tetapi mereka terpedaya.Sebab dalam pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa tersembunyi, berupa rekayasa syetan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin dalam dan curam.
Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama sekali. Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari rumput, ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman dan rumput yang ada. Tetapi ia tidak mencabut akar-akar rumput yang ada di dalam tanah, dengan menduga bahwa semuanya sudah selesai. Ketika alpa akan akar-akar rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali dan merusak tanaman.
Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah. Kadang-kadang mereka tidak mau bergaul dengan sesama, sebagai ekspresi kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata. Terkadang mereka melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain agar ia tidak dipandang sebelah mata saja. [Bersambung]