Spiritus

Pemimpin Kikir, dan Nabi Pun Mengganti

“Wa ayyu dâ adwa minal bukhl?” “Penyakit manakah yang lebih gawat dari kikir?” Mungkin karena itu Rasulullah lalu menyatakan, “Pemimpin kalian Basyar bin Bara’ bin Ma’rur.” Jadi, bukan lagi Hurr yang kikir itu.

JERNIH–Syahdan, ujian pertama dari iman adalah harta. Mengapa? Sebab, bukankah manusia pada dasarnya pelit dan berpembawaan suka menumpuk harta?

Kata Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, banyak orang yang memberikan harta bendanya, berderma, berkorban, tetapi dalam hati kecilnya tetap terselip rasa bakhil, lantaran dia takut kekurangan. Ibn Mas’ud sendiri tergolong miskin. Ia mendapat harta dari Zainab, istrinya, yang kaya. Zainab pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah dia beroleh pahala memberi zakat kepada suaminya itu. Rasulullah menjawab, “Untukmu dua pahala: pahala sedekah dan pahala kekerabatan.”

Wa ayyu dâ adwa minal bukhl?” Demikian sebuah hadis. Rasulullah memang pernah bertanya kepada Banu Salamah, “Siapa pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Hurr bin Qais. Itu, lho, orang yang kikir!”

Lalu, Nabi SAW mengucapkan kalimat dalam hadis tadi: “Penyakit manakah yang lebih gawat dari kikir?” Mungkin karena itu Rasulullah lalu menyatakan, “Pemimpin kalian Basyar bin Bara’ bin Ma’rur.” Jadi, bukan lagi Hurr yang kikir itu.

Orang yang kikir hakikatnya tidak kaya, meski isi rekeningnya di bank bermiliar atau triliunan, tanahnya berlembah-lembah, asetnya melimpah ruah. Orang yang diperbudak harta macam itu hidupnya sepi dan gelisah karena yang dipikirkan setiap hari cuma duit dan duit. Kebiasaan memberi akan membuat jiwa lapang dan bahagia karena bisa membahagiakan orang.

“Barangsiapa bersedekah senilai sebiji kurma dari penghasilan yang baik–dan Allah tidak menerima kecuali yang baik–niscaya Allah akan menerima dengan Tangan Kanan- Nya, lalu mengembangkannya untuk pemiliknya, sebagaimana kalian membesarkan anak kuda, sehingga sedekah itu menjadi besar seperti gunung,” (H.R. Al-Bukhari).

Tetapi, Rasulullah menyuruh kita memperhatikan skala prioritas. Sebab, bermurah-murah kepada orang lain, tetapi kurang memperhatikan yang fardu, seperti orangtua dan kerabat, pertanda kita mulai riya, suka pamer, dan senang dipuji. [dsy/sumber : Harta Itu Manis, KH Ana Suryana Sudrajat, 2006]

Back to top button