Perintah Memasuki Islam Secara “Kaffah”
Ibadah ritual itu bersifat dogmatik. Tidak dapat ditawar, dan diperbincangkan apa-mengapa-bagaimana. Walaupun dengan alasan agar dimengerti otak. Diterima logika akal dan sebagainya. Penentuan dogmatis itu hanya Allah SWT dan Rasul–Nya yang tahu. Umat Islam wajib menerima apa adanya tanpa mempertanyakan mengapa begini mengapa begitu.
Oleh : H.Usep Romli HM
JERNIH– Perintah memasuki atau menjalankan Islam secara “kaffah” (lengkap sempurna, menyeluruh) terdapat dalam Quran, S.Al Baqoroh ayat 208 : “Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara lengkap sempurna menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan yang sesungguhnya merupakan musuh nyata bagi kalian.”
Jadi perintah itu ditujukan kepada segenap orang beriman. Siapa saja, dari kalangan mana saja, bangsa apa. Pokoknya, semua kalangan yang mengaku beriman. Yaitu telah mengikrarkan diri melalui ucapan persaksian (syahadat) “tidak ada sembahan selain Allah” dan “Muhammad utusan Allah”.
Karena itu, salah sekali jika ada anggapan, seruan “kaffah” itu hanya untuk bangsa Arab atau etnis tertentu saja. Sebab tidak ada satu bangsa, warna kulit atau etnis yang diistimewakan atau dihinakan. Ukuran kemulian suatu bangsa atau etnis, semata-mata hanya ketakwaannya saja. Ketundukpatuhan menjalankan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala laranganNya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa, bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Dan sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah, adalah yang bertakwa di antara kalian.” (Q.s. al Hujurat : 13).
Maka dengan demikian, wajiblah orang-orang beriman, menjadi seorang Muslim yang lengkap sempurna. Menjalankan Islam dengan berbagai aspeknya, baik yang bersifat vertikal (hubungan dengan Allah SWT) maupun bersifat horisontal (hubungan dengan sesama manusia).
Hubungan vertikal kepada Allah SWT, melalui tata cara ritual ibadah, yang sesuai dengan contoh atau petunjuk dari Rasulullah Saw. Tidak mengada-ada, sekeinginan sendiri. Semua bentuk ibadah ritual dalam Islam, sudah dibakukan tata cara, waktu, tempat, berikut hukum-hukumnya (wajib,sunat, mubah, dll). Bergeser sedikit saja, maka ibadah itu batal. Tidak sah dan tertolak.
Misalnya salat fardlu. Magrib, isya, subuh, zuhur dan asar, sudah ditentukan waktu dan jumlah rakaatnya. Zakat sudah ditentukan jumlahnya (mencapai “nishab” batas minimal harta yang wajib dizakati), dan waktunya (“haul”, genap setahun kepemlikan). Haji berlangsung setiap tahun, tgl.8-13 bulan Zulhijjah, bertempat di Kabah (Mekkah), Arafah, Mudzalifah dan Mina. Tidak bisa, ibadah haji dilaksanakan di luar bulan Zulhijjah. Atau bulan Zuhijjah tapi bertempat di luar Mekkah, Arafah, Mudzalifah, Mina. Apalagi menggunakan alasan, agar tidak banyak keluar ongkos dan tidak jauh dari tempat tinggal.
Puasa wajib berlangsung sebulan pada bulan Ramadan saja. Di luar bulan Ramadan diperbolehkan puasa. Tapi hukumnya sunat. Serta dilakukan di luar hari-hari terlarang (haram) untuk puasa. Seperti tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), 10-13 Zulhijjah (Idul Adha dan hari “tasyrik”), atau hari Jum’at (kecuali sebelum dan sesudahnya puasa juga) .
Ibadah ritual itu bersifat dogmatik. Tidak dapat ditawar, dan diperbincangkan apa-mengapa-bagaimana. Walaupun dengan alasan agar dimengerti otak. Diterima logika akal dan sebagainya. Penentuan dogmatis itu hanya Allah SWT dan Rasul-Nya yang tahu. Umat Islam wajib menerima apa adanya tanpa mempertanyakan mengapa begini mengapa begitu.
Ibadah horisontal , yang bersifat sosial, sangat elastis. Tergantung kondisi lingkungan. Di sini berlaku pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Namun tetap tidak terpisahkan dari ibadah ritual yang bersendikan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Tidak bertentangan satu sama lain. Seiring sejalan, sejinjing sepikulan.
Dalam berekonomi, misalnya, tidak boleh menggunakan sistem riba atau renten yang diharamkan oleh Allah SWT (Q.s.Al Baqarah : 275-276, 278, Ali Imran : 130, An Nisa : 161). Juga dalam berpolitik, harus berada pada koridor “kerjasama dalam kebajikan dan takwa” (Q.s.Al Maidah : 2).
Demikian juga di bidang-bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Sehingga benar-benar lengkap sempurna : iman Islam, ibadah Islam, ahlak Islam dan amal perbuatan sosial (politik, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, pertahanan keamanan) juga Islam.
Jika terjadi, ibadah vertikal Islam, namun ibadah horisontal tidak Islam alias bertentangan dengan prinsip ketakwaan (menjalankan perintah Allah SWT sekaligus meninggalkan larangannya) maka akan terjurumus kepada “tattabi’u khuthuwatusy syaitan”. Mengikuti adat perilaku perbuatan setan, yang dilarang keras oleh Allah SWT itu.
Mengaku iman kepada Allah SWT, beribadah sesuai petunjuk Rasulullah Saw, tapi berahlak buruk. Kasar dan meremehkan orang lain. Memakan riba, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Berpolitik hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan kroni sendiri. Berbudaya hanya untuk memuaskan hawa nafsu, dst.
Itulah yang menjadikan seorang beriman tidak “kaffah”. Tidak lengkap sempurna. Sehingga diperintahkan wajib “kaffah”. Lengkap sempurna dalam menjalankan Islam.
Teriring harapan,semoga kita sebagai orang beriman mampu memenuhi kewajiban itu. Sehingga menjadi seorang Muslim yang benar-benar lengkap sempurna. [ ]
*Semasa hidup, almarhum adalah wartawan, sastrawan dan pengelola pesantren. Semoga tulisan ini menjadi amal jariyah almarhum.