Saya Aman Bagimu
Keislaman seseorang tidak hanya dilihat dari ikrar syahadat dan salatnya, melainkan juga dari bagaimana ia memelihara lisan dan perbuatannya.
Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
“SAYA aman bagimu” adalah bagian dari akhlak Islam yang agung. Yang mana keislaman seseorang tidak hanya dilihat dari ikrar syahadat dan salatnya, melainkan juga dari bagaimana ia memelihara lisan dan perbuatannya
Rasulullah saw bersabda, “Muslim sejati adalah yang menjaga muslim lainnya dari (keburukan) lisan dan perbuatannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saudaraku, jika setiap muslim meluruskan niat, menjaga ucapan dan perbuatannya dari hal-hal yang bisa menyakiti orang lain, maka betapa indah hidup ini. Penuh dengan rasa saling percaya, jauh dari rasa saling curiga. Dikelilingi rasa tenteram, jauh dari rasa khawatir dan rasa tidak aman.
Seorang muslim dengan muslim yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang setiap bagiannya saling menguatkan. Atau bagaikan satu tubuh yang jika disakiti satu bagian dari tubuh, maka bagian yang lain turut merasakan sakitnya. Maka, bagaimana kita bisa saling menyakiti jika ternyata itu sebenarnya menyakiti diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa saling melukai, jika ternyata itu sesungguhnya melukai diri kita sendiri.
Jadi, frase “Saya aman bagimu” adalah bagian dari akhlak Islam yang agung. Yang mana keislaman seseorang tidak hanya dilihat dari ikrar syahadat dan salatnya, melainkan juga dari bagaimana ia memelihara lisan dan perbuatannya agar tidak menzalimi orang lain. Seorang muslim dipertanyakan keislamannya jika ia masih mengganggu orang lain, masih merugikan dan menyakiti orang lain.
Sesungguhnya Islam jika hadir dalam hati seseorang, maka tercermin dalam akhlaknya sehari-hari. Islam adalah kedamaian dan keselamatan, jadi setiap muslim adalah yang memancarkan kedamaian dan keselamatan itu melalui akhlaknya. Seorang muslim yang sejati akan memiliki akhlak mulia, yakni menjaga, memelihara lingkungan di sekitarnya dari kezaliman dirinya sendiri.
Maka dari itu, muslim yang sejati akan bertetangga dengan rukun, berteman dengan akrab, bermitra dengan penuh tanggung jawab dan rasa amanah. Tidak pernah terbersit dalam hatinya untuk menyakiti atau mengkhianati. Karena baginya berinteraksi dengan orang lain merupakan ladang amal ibadah kepada Allah Ta’ala.
Mari kita perhatikan setiap kali kita mengakhiri salat, kita menutupnya dengan salam ke arah kanan dan kiri, “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh!” Yang artinya, “Semoga Allah memberikan keselamatan bagimu dan semoga Allah mencurahkan rahmat dan keberkahan bagimu.”
Dari ucapan salam saat menutup salat ini, sesungguhnya kita sedang memberikan jaminan kepada orang-orang di sebelah kanan, di sebelah kiri, dan di sekitar kita bahwa setiap tutur kata dan perbuatan kita tidak menyakiti apalagi membahayakan mereka.
Oleh karena itu, sebelum kita membahas urusan-urusan yang lain, urusan pertama yang kita perhatikan adalah apakah kita mengganggu orang lain atau tidak?! Setiap kita akan melakukan sesuatu, pastikan dulu apakah perbuatan kita itu akan mengganggu, merugikan, melukai, menyakiti, membahayakan orang lain atau tidak. Semakin kita terampil bertanya dulu kepada diri sendiri sebelum bertindak, maka semakin terpelihara akhlak kita.
Ada yang minum air kemasan sambil berjalan kaki. Kemudian, setelah minuman itu habis, ia lemparkan begitu saja kemasan plastiknya ke selokan. Tidak ada sama sekali raut wajah merasa bersalah pada dirinya, ia lakukan hal itu tanpa beban sedikit pun.
Padahal, sangat mungkin sampah yang ia buang sembarangan itu menjadi penyebab dari tersumbatnya aliran air, lalu menyebabkan banjir. Sedangkan banjir bisa menimbulkan berbagai macam kerugian bagi orang lain. Mulai dari timbulnya berbagai macam penyakit sampai mengancam jiwa orang lain.
Jika ada yang berbuat demikian, maka bisa dipastikan akhlaknya belum baik. Dan, boleh jadi dalam urusan lain yang lebih besar pun ia cenderung berbuat menuruti hawa nafsunya, tanpa memikirkan apakah merugikan orang lain atau tidak.
Perbuatan yang merugikan orang lain itu tidak selalu berbentuk perbuatan yang secara langsung menyangkut pada orang lain, seperti memaki atau memukul. Perbuatan seperti di contohkan tadi, membuang sampah sembarangan juga termasuk, karena dampak yang ditimbulkannya bisa sangat merugikan.
Apalagi, sebelum terkena dosa karena merugikan orang lain, perbuatan seperti ini juga sudah terkenai lebih dahulu dengan dosa merusak lingkungan. Padahal Allah berfirman, “..Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi..” (QS. al-Baqarah [2]: 11)
Jika saja setiap orang berpikir dahulu apa yang akan terjadi akibat dari perbuatannya, maka sungai akan bersih dari sampah, gunung dan hutan akan selamat dari penebangan liar. Apakah banjir dan longsor yang merenggut banyak korban itu semata-mata hanyalah gejala alam?
Allah Ta’ala berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum [30]: 41)
Ada pengendara motor yang kebut-kebutan di jalan umum sambil knalpotnya yang bersuara sangat bising. Apakah ini mengganggu dan merugikan orang lain? Ya! Perbuatan seperti ini bisa mengganggu orang lain yang sama-sama berhak menggunakan jalan tersebut. Belum lagi bisa memicu kecelakaan yang membahayakan fisik bahkan jiwa orang lain.
Apakah berjualan, membuka kios di atas trotoar bisa mengganggu dan mencelakai orang lain? Jelas bisa. Ini adalah perbuatan zalim karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Trotoar bukanlah tempat berjualan, melainkan sarana untuk pejalan kaki. Apalagi jika di trotoar tersebut terdapat jalur bagi saudara-saudara kita penyandang tuna netra. Jika jalur tersebut tertutupi kios atau gerobak, bagaimana saudara-saudara kita ini bisa berjalan dengan baik, bahkan malah bisa membuat mereka celaka.
Belum lagi merepotkan para pejalan kaki lainnya, karena kios atau gerobak yang menutupi trotoar menghalangi jalan, sehingga mereka mengambil jalur lain misalnya dengan berjalan di atas jalur kendaraan. Hal ini tentu saja bisa menimbulkan kesemrawutan, kemacetan bahkan bisa menimbulkan kecelakaan.
Pantang bagi kita mencari keuntungan dengan cara-cara yang zalim. Yakinlah bahwa rezeki yang halal itu dijemput juga dengan cara-cara yang halal. Untuk apa mendapat keuntungan banyak tapi tidak berkah, disebabkan cara mendapatkannya yang menzalimi orang lain.
Demikian juga untuk berprestasi di tempat kerja, bukanlah dengan cara menjatuhkan rekan kerja, melainkan dengan meningkatkan kemampuan dan kualitas kerja kita. Berlomba-lomba dalam kebaikan itu baik, sedangkan berbuat zalim itu sumber malapetaka. Karena perbuatan zalim pasti akan kembali pada pelakunya. Wallahu a’lam bishowab. [*]