Spiritus

Self-Control, Self-Awareness, dan Self-Protection dalam Puasa

Shiyam (صِيَام) dan shaum (صَوْم) keduanya adalah kata benda, berarti menahan diri. Puasa berasal dari bahasa Sanskerta upavasa. Upavasa merupakan bentuk gabungan dari kata benda vas (berarti hidup) dan upa (berarti dekat). Secara terminologi upavasa diartikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam menjalani hidup.

Oleh  : Setiadi Ihsan

JERNIH—I. Negara sedang terbelah. Kira-kira demikian pesan Rocky Gerung pada Kamis, 14 April 2022. Fenomena negara “terbelah” ini terasa sejak tujuh tahun terakhir, ditandai pertentangan dua kubu pendukung calon presiden di Pemilu Tahun 2014, terus berlanjut hingga kini.

Keterbelahan negara ini makin terasa di berbagai platform media sosial. Salah satu kejadian nahas akibat keterbelahan itu ialah pengeroyokan pada Ade Armando saat unjuk rasa mahasiswa 11 April 2022 yang berlangsung bersamaan dengan umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Apa hubungan keterbelahan dengan shaum atau puasa Ramadan? Shiyam diserap dari bahasa Arab ص و م—yaitu shaum—yang sering dipadankan sebagai puasa. Shiyam (صِيَام) dan shaum (صَوْم) keduanya adalah kata benda, berarti menahan diri. Puasa berasal dari bahasa Sanskerta upavasa. Upavasa merupakan bentuk gabungan dari kata benda vas (berarti hidup) dan upa (berarti dekat). Secara terminologi upavasa diartikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam menjalani hidup.

Mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarub illallah) seiring dengan pesan Al-Qur’an Surat Az-Zumar (39): 3:

  … وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ… Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…”

Al-muqarrabiin atau al-muqarrabuun adalah mereka yang didekatkan atau dekat dengan Allah. Isa putra Maryam adalah contoh sosok yang didekatkan dengan Allah (وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ). Beliau begitu taat kepada-Nya laksana malaikat yang didekatkan kepada Allah:

لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ ۚ

Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah).  QS An-Nisa (4): 172.

Di surat lain, al-muqarrabuun merujuk pada orang yang beriman paling dahulu (QS Al-Waqi’ah (56): 11); orang yang meninggal dan memperoleh ketenteraman, rezeki, serta jannah kenikmatan (QS 56: 88-89). Al-muqarrabuun berkaitan dengan mereka yang bertasbih, mengimani, tidak meremehkan kandungan Al-Qur’an, serta tidak mendustakan rezeki-Nya  (QS 56: 74-81). Firman dalam QS 83: 28: “mata air yang diminum orang-orang yang didekatkan kepada Allah”—ini merujuk kepada mereka yang mengimani Al-Qur’an.

Dari penjelasan ini, dapat dipahami puasa wajib bulan Ramadhan mampu mengantarkan seorang hamba taat kepada Allah, mengimani dan menjadikan Al-Qur’an sebagai tuntunan, serta tidak mendustakan kenikmatan (rezeki) yang Ia anugerahkan. Ini sebabnya selama shaum Ramadhan kaum beriman selalu diimbau berupaya mendekatkan diri kepada Allah, seperti taddarus dan taddabur Al-Qur’an, bertasbih, berzikir, bergerak dengan kesadaran kepada Allah, termasuk ‘itikaf, serta berinfak dengan harta benda sebagai bentuk syukur atas nikmat-Nya. Semua itu merupakan pelatihan (training program) yang harus dilakukan segenap kaum mukminin.

Shiyam ataushaum merupakan upaya pengendalian diri (self-control). Tiga larangan yang menandakan umat Muslim sedang menahan diri adalah makan, minum, dan berhubungan seks suami-istri. Di luar puasa, ketiganya halal, meski sering jadi penyebab manusia lupa dari upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan demikian, ibadah bulan Ramadhan adalah bentuk training program berisi upaya menahan diri atas segala hal yang menjauhkan diri kepada Allah, diganti dengan kegiatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Training program ini idealnya membuahkan hasil orang yang mampu mengendalikan diri dan berhak menyandang gelar muttaqiin.

Siapa muttaqiin itu? Merujuk pada surat Al-Baqarah (2): 177, muttaqiin adalah orang yang menjadikan kebajikan (al-birru) sebagai kiblat (ideologi) diri. Ciri mereka: beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta; memerdekakan hamba sahaya; mendirikan shalat; menunaikan zakat; menepati janji; bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. 

Menurut Maram Behairy, seorang seniman Muslimah Amerika, takwa ialah kesadaran diri (self awareness), termasuk jelas atas keinginan dan cara mendapatkannya. Inilah simbol dari kehendak bebas dan hak pilihan dalam memutuskan suatu keinginan.

Kata taqwa memiliki turunan waqaya, artinya penghalang atau pelindung dari sesuatu yang bisa berakibat buruk. Misal, kita memahami krim wajah sebagai pelindung dari terik matahari yang memungkinkan tidak terjadi kontak langsung antara sinar matahari dan kulit wajah yang dapat merugikan. Jadi pelindung membuat “ruang” atau “tameng” antara zona bahaya dan zona aman. Untuk menghindari perilaku jahat, kita menghindari bergaul dengan orang jahat. Tindakan “menghindari” inilah bentuk takwa, yaitu menciptakan pelindung (waqaya), sehingga lebih sesuai dengan yang kita inginkan.

Maram Behairy memberi ilustrasi penerapan konsep waqaya di wilayah emosional. Mungkin Anda kehilangan kesabaran jika anak-anak menyentuh barang tertentu. Waqaya sederhana bisa dengan membeli lemari berkunci. Jika anak-anak sudah cukup usia, waqaya dengan bicara tentang menghormati barang milik orang lain dan konsekuensi tegas bila melanggar. Dengan begitu Anda sengaja menghindari ledakan emosi karena sadar bila mengendalikan anak-anak dengan rasa takut berakibat buruk pada hubungan dan perkembangan emosinya. Anda juga bisa lebih sigap mengantisipasi tanda kemarahan, misalnya pusing, jantung berdebar kencang, atau telapak tangan berkeringat? Waqaya bisa dengan segera istirahat begitu merasakan tanda kemarahan, menyendiri, berwudhu, atau mandi. Dengan menciptakan penghalang/pelindung dari ledakan, kita bisa mencegah tindakan melewati batas.

II.  Otokritik bagi kita yang terbiasa menjalankan shiyam bulan Ramadhan ialah kenapa begitu lewat bulan Ramadhan kita mudah kembali lepas kontrol? Kembali kepada kemungkaran, jauh dari tuntunan Al-Qur’an, dan mendustakan nikmat-Nya.  Apa yang salah dengan puasa kita?

Inilah tantangan besar bagi setiap muslim. Kita bisa mengevaluasinya menggunakan waqaya sesuai kriteria dalam Al-Baqarah: 177. Menjadi seorang yang berkiblat pada kebaikan (al-birru) membutuhkan serangkaian tindakan, amalan shalihan—bukan sekadar ritual atau keyakinan. Amalan shalihan itulah puncak kebaikan seorang muttaqiin.

Hadis riwayat Abu Hurairah ini cukup menggambarkan hikmah puasa demi pengendalian diri: “Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah berkata-kata kotor, jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencela atau mengganggunya, hendaklah dia mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim No. 1151).

Imam Nawawi menjelaskan kedalaman hadis tersebut: “Jika seseorang dicela orang lain atau diajak berkelahi ketika sedang berpuasa, dia dianjurkan berkata, ‘Inni shoo-imun, inni shoo-imun.’” Artinya: Aku sedang puasa, aku sedang puasa—sebanyak dua kali atau lebih. (Al-Adzkar, hal. 183). Begitulah puasa. Selain mencapai target takwa, dengan menjaga kesadaran diri dan keutamaannya puasa menjadi mekanisme pelatihan umat—yaitu mengendalikan dan memasang proteksi diri.

Bila kaum Muslimin memahami puasa Ramadan sebagai upaya melatih pengendalian diri, aksi pengeroyokan terhadap orang yang berbeda pendapat itu tidak perlu terjadi—meskipun dia menjadi “puncak” indikasi keterbelahan bangsa. [ ]

Setiadi Ihsan, alumnus Jurusan Farmasi ITB, mantan pembina Karisma Salman ITB. Sekarang bekerja di Yayasan Bakrie Amanah dan pengajar di Universitas Garut.

Back to top button