Spiritus

Setetes Embun: Kesempatan Kedua

Selalu ada kesempatan kedua, kesempatan ketiga bahkan keempat dan seterusnya. Jangan pernah meragukan kemurahan hati Tuhan dan kuasa pengampunannya.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Seorang perawat muda ditugaskan menjaga dan merawat seorang anak yang sakit kritis karena infeksi selaput lendir hidung dan tenggorokan. Kesempatan hidup sangat kecil. Sebuah selang dimasukkan untuk membantu dia bernafas. Tugas perawat ini membersihkan selang secara rutin. Suatu ketika perawat ini tertidur. Begitu bangun selang ini sudah tertutup, pasien tak bisa bernafas lagi dan dia pun panik. Bukannya melakukan tindakan secara prosedur, dia malah menelpon dokter dari rumahnya. Begitu dokter tiba, anak ini sudah meninggal.

Dokter kepala bernama Dr. Cronin sangat marah dan segera menulis rekomendasi pemecatannya. Perawat ini benar-benar terpukul, menyesal dan hanya bisa menangis. Dengan keras dokter berkata: “Sebelum dipecat, apakah ada yang ingin saudara katakan?”. Perawat ini sambil menangis menjawab: “Tolong, beri saya kesempatan lagi”. Dokter mengusirnya pergi.

Tapi sepanjang malam, Dr. Cronin tak bisa tidur. Ada suara terngiang-ngiang di telinganya: “Ampunilah kesalahan kami”. Besok paginya Dr. Cronin ke kantor dan merobek surat pemecatannya.

Beberapa tahun kemudian, gadis muda tadi menjadi kepala rumah sakit besar dan menjadi salah satu perawat yang dihormati di Inggris.

**

Kisah Yesus dan wanita pendosa ini ada dalam Injil Yohanes 8,1-11 saat ini. Kisah ini tidak dapat disangkal kaya akan makna teologis dan moral, dan penuh drama psikologis dan manusiawi.

Dalam episode ini Yesus tampak terlalu “lunak” terhadap dosa. Benarkah demikian? Sebetulnya tidak seperti itu.

Pertama, tuntutan para Ahli Taurat dan orang Farisi sebetulnya tidak terlalu fair. Jika merujuk pada hukum Musa, maka yang harus dihukum bukan hanya wanita melainkan juga pelaku pria. (Im 20,10; Ul 22,22). Nyatanya mereka hanya berani dengan wanita lemah. Kedua, tidak ada contoh tentang perlakuan demikian untuk yang berzinah. Melempari batu sampai mati biasanya terjadi kepada orang yang menghujat atau menghina.

Ada ungkapan yang berbunyi: “Adalah hal yang buruk jika seorang berdosa jatuh ke tangan sesama pendosa” (F.B.Meyer). Artinya, keadaan bisa lebih mengancam nyawa karena yang jadi hakim adalah penjahat sendiri.

Jebakan mereka pada Yesus nampaknya sulit dihindarkan. Akan tetapi Yesus terlalu pintar untuk dijatuhkan dengan strategi macam ini.

Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu. (Yoh 8,7).

Kata-kata-Nya bagaikan peluru yang menembak relung kesadaran mereka. Alih-alih memusatkan seluruh perhatian, energi dan kemarahan kepada wanita yang berdosa, Yesus menuntut mereka untuk melihat diri sendiri, merenungi diri sendiri: apakah aku juga orang berdosa?

Santo Agustinus dengan indahnya menggubah kata-kata Yesus dengan nada lain: “Silahkan wanita ini dihukum, tapi jangan oleh pendosa. Hukum harus dilaksanakan tapi jangan oleh mereka yang melanggarnya”.

Kalimat Yesus membuat para penyerangnya menjadi terdiam. Lalu pergi diam-diam, mulai dari yang tertua sampai yang muda.

Kalimat Yesus berikutnya: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. Disini sangat jelas bahwa Yesus mengakui wanita itu memang berbuat dosa. Yesus tidak menyangkal dosa wanita itu.

Akan tetapi Yesus saat itu tidak mau fokus pada dosa wanita itu, karena Yesus tahu pengalaman wanita itu, mulai dari penangkapan dan diseret ke depan Yesus sambil diteriaki, sudah menjadi trauma tersediri baginya. Semua itu sudah cukup sebagai hukuman bagi wanita ini.

Rangkaian kisah dramatis ini mengajarkan kita tentang kemurahan hati Allah yang luar biasa. Paus Fransiskus dalam kotbah minggu perdana setelah dilantik sebagai Paus mengatakan: “Allah tidak pernah lelah mengampuni kita,…kitalah yang justru lelah memohon ampun kepada-Nya”.

Selalu ada kesempatan kedua, kesempatan ketiga bahkan keempat dan seterusnya. Jangan pernah meragukan kemurahan hati Tuhan dan kuasa pengampunannya.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo, CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris, Weetebula, Sumba tanpa Wa)

Back to top button