Spiritus

Yesus: Quid Fecit Pro Me?

Yesus tahu bahwa kematian melalui salib, bukan saja menyakitkan secara fisik tapi juga jiwanya, karena mati di salib adalah sebuah penghinaan untuk penjahat. Yesus bukan penjahat tetapi harus menanggungnya karena itulah cara untuk menyelamatkan manusia. Yesus tidak mengelak dari proses kematian yang ada di depan mata-Nya karena Dia tahu Bapa di surga menghendakinya.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Bertahun-tahun silam ada seorang anak muda bangsawan Jerman bernama Nicholas Zinzendorf. Dia dikenal sebagai aristokrat yang pintar, kaya, dan banyak bakat. Dia bahkan dikenal sebagai “anak Tuhan” yang terberkati. Dia juga sedang belajar menjadi diplomat karir di Dresden.

Suatu ketika dia sedang dalam perjalanan ke Paris. Dia lalu mampir beberapa hari di Dusseldorf. Suatu hari dia mengunjungi galeri seni lukis karya pelukis terkenal. Matanya terpaku pada lukisan “Ecce Homo” Yesus Yang Sengsara” karya Sternberg. Di bawah lukisan itu ada tulisan:

“Hoc feci pro te; Quid fecit pro Me? Artinya: Ini yang Aku lakukan untukmu: Apa yang engkau lakukan untuk-Ku?”

Memandang mata Yesus dalam lukisan itu sambil membayangkan Yesus berbicara kepadanya, pemuda seperti terpukul dan merasa malu. Seolah ada suara yang terus terngiang-ngiang: Apa yang engkau lakukan untuk-Ku? Dia terpaku memandang lukisan itu berjam-jam sampai galeri itu ditutup. Ada tanya yang terus berkecamuk dalam dirinya.

Dia lalu pulang dalam gelapnya malam, tetapi sebuah hari yang baru terbit baginya. Sejak saat itu dia mengabdikan hati dan jiwanya, hidup dan kekayaannya, singkatnya semua yang dia miliki hanya untuk Kristus.

*

Ketika Yesus berkata “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan”, (Yoh 12,23), Yesus  berbicara secara kontradiktif. Kemuliaan yang dimaksud adalah sengsara dan kematian-Nya. Dia menyadari sepenuhnya saat itu adalah saat Dia turun ke level paling dalam dan tragis dalam hidup manusia. Tetapi itu adalah persembahan terbaik yang Dia berikan untuk Allah dalam ketaatan total sekaligus pemberian diri bagi keselamatan manusia.

Yesus tahu bahwa kematian melalui salib, bukan saja menyakitkan secara fisik tapi juga jiwanya, karena mati di salib adalah sebuah penghinaan untuk penjahat. Yesus bukan penjahat tetapi harus menanggungnya karena itulah cara untuk menyelamatkan manusia. Yesus tidak mengelak dari proses kematian yang ada di depan mata-Nya karena Dia tahu Bapa di surga menghendakinya.

Dalam rasa sakit yang amat dalam, Dia terus memikul salib-Nya sampai puncak golgota. Dia tidak sedang berusaha memenangkan sebuah medali atau penghargaan, tetapi Dia mau memenangkan jiwa kita dari kematian. Dia hendak mengambil kembali jiwa kita dari cengkeraman maut kepada hidup abadi.

Setiap orang mempunyai SAAT tersendiri dimana dia diuji untuk mengambil keputusan; hidup bagi dirinya sendiri saja atau juga bagi Tuhan. Sekali dia memutuskan untuk sebuah nilai luhur dia harus mampu bertahan. Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, atau dengan kata lain sudah mati dari segala keinginan pribadi, biasanya akan lebih kuat bertahan.

Jika kita bisa memandang Yesus yang menderita di salib dan menemukan pertanyaan yang sama di mata-Nya, kita harus mampu mengambil keputusan untuk diri kita sendiri karena itulah SAAT KITA.

Apa yang telah engkau buat untuk Aku?

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Yoh Neumann Bougenville Jakarta).

Back to top button