Cina tak Lagi Butuh K-Pop
Seoul — K-Pop menjelajah dunia lewat Cina. Kini, BTS — boyband papan atas di industri K-Pop — dilarang tampil di Cina.
Bersama BTS, Parasite — thriler komedi pemenang Festival Film Cannes — juga batal melanda sekujur Tiongkok. Semula, Parasite dijadwalkan diputar di sebuah festival di Cina bulan Juli 2020, tiba-tiba Beijing membatalkan tanpa alasan.
BTS dan Parasite, menurut Dong Sun-hwa dalam tulisannya di Korea Times, adalah korban proteksionisme kultural Tiongkok.
Sejak 2016, Beijing memberlakukan pembatasan tak resmi terhadap hallyu atau budaya Korea. Politisi Korea Selatan (Korsel) yakin semua ini adalah tindakan balasan Beijing terhadap Seoul, yang berselisih soal penyebaran sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korsel.
Beijing melihat penyebaran THAAD sebagai ancaman keamanan nasional. Korea, yang menempatkan sistem itu di Propinsi Gyeongsang Utara tahun 2017, menyebut rudal ini bagian dari pertahanan diri.
Pembatasan tak resmi terhadap film, musik, dan pertunjukan artis Kora, dimulai setelah konflik ini.
Menariknya, sejauh ini tidak ada pembatalan acara temu penggemar bintang K-Pop lainnya; Winner, GO17, dan Seventeen, di Cina pada akhir tahun.
Beberapa mengatakan itu bentuk pelonggaran kebijakan Beijing, tapi seorang pakar industri hiburan Korea melihat sebaliknya.
Isu THAAD
Lim Dae-geun, profesor Studi Sinema di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), mengatakan THAAD tampaknya menjadi dalih pembatasan.
“Inti masalahnya adalah sikap pemerintah Tiongkok terhadap budaya asing secara keseluruhan,” kata Dae-geun kepada The Korea Times. “Jika Beijing mengubah sikap, hallyu akan menikmati popularitas seperti yang terjadi sebelum 2016.”
Cina, masih menurut Dae-geun, sedang berusaha meningkatkan industri hiburan dalam negeri dengan kekuatan sendiri. Sebelumnya, Cina banyak menerima bantuan Korea untuk pengembangan produk hiburan. Kini, Cina mendapatkan pijakan untuk berdiri sendiri.
“Cina menganggap hallyu tidak diperlukan lagi,” kata Dae-geun.
Pelaku industri K-Pop, yang menolak disebut nama, juga melihat hal serupa. Cina saat ini tidak peduli dengan hallyu, dan lebih suka fokus terhadap penyebaran budaya sendiri.
Kualitas konten budaya Cina, kata pelaku industri itu, telah merevolusi banyak kreasi seperti blockbuster sci-fi The Wandering Earth (2019), yang dibuat Frant Gwo dan mendapat pengakuan internasional.
Banyak orang mengatakan Cina, yang telah lama bermimpi menaklukan pasar hiburan global, akan mewujudkan impiannya menjadi ikon budaya Asia berikutnya.
Mengenai acara temu fans K-Pop di Cina, pelaku industri itu mengatakan; “Itu mah acara kecil, yang hanya mengundang ratusan orang dan tak perlu ijin pemerintah.”
Alasan lain Beijing membatasi budaya Korea adalah konten ideologi yang terdapat dalam budaya Korea. “Hallyu perpaduan budaya AS, Jepang, dan Hong Kong, yang pada dasarnya kapitalisme,” kata Dae-geun.
Secara implisit, konten hallyu mengandung ide-ide AS dan Barat; demokrasi politik, keadilan sosial, dan isu gender. Cina berusaha memblokir semua gagasan Barat, karena dianggap bisa menimbulkan masalah.
“Buktinya, film Korea tidak bermuatan ideologis seperti Seopyeonje (1993) diperbolehkan diputar di festival lokal, Mei lalu,” kata Dae-geun. “Itu kan film yang mengungkapkan budaya tradisional Korea.”
Beijing, masih menurut Dae-geun, lebih memilih terlibat perang psikologis sebagai alasan terakhir. Hallyu adalah sumber kebanggaan orang Korea dalam psikologi bduaya. Pembatasan terhadap K-Pop bertujuan membentuk opini negatif di kalangan orang Korea terhadap hallyu.
“Semua ini berawal dari THAAD. Tapi saya percaya Korea tidak akan terpukul dengan pembatasan itu,” katanya.
Menguntungkan
Harus diakui pasar Cina sangat menguntungkan bagi K-Pop, dan Korea tidak akan menyerah dengan pembatasan yang dilakukan Beijing. Prof Dae-geun menawarkan strategi menghadapi semua ini.
“Cina saat ini fokus ke pasar Asia Tenggara, lewat keterlibatannya dalam berbagai proyek kerjasama budaya dengan Thailand dan Indonesia,” katanya. “Seoul bisa bergabung dengan membentuk kerjasama trilateral tanpa harus kembali memasuki pasar Cina.”
Hong Kong dan Taiwan bisa digunakan sebagai jembatan ke Cina. Namun, situasinya tidak akan mudah karena protes pro-demokrasi di Hong Kong dan tindakan keras Beijing.
“Singkatnya, Korea tidak perlu mengekspor produk jadi buatan Korea,” katanya. “Dalam hal film, penulis Korea apat menjual skenario ke Beijing, dan teknisi dapat mengidet film-film Cina.”
Lainnya, awasi distribusi konten Cina ke Korea.