Akankah ‘Bersin Afghanistan’ Membuat Taiwan Terkena Flu?
Afghanistan mungkin menabur keraguan, membentuk gagasan bahwa orang tak begitu saja dapat terus mengandalkan AS. Steven Erlanger setuju bahwa, “Keputusan AS di Afganistan dapat menjadi pukulan lain terhadap kredibilitas AS.” Hal itu juga bisa memperparah luka akibat tahun-tahun Trump dan memperkuat gagasan bahwa dukungan Amerika untuk sekutunya bukan tidak terbatas.
Oleh : Thomas Ameyaw-Brobbey
JERNIH—Banyak orang—terutama tentu saja orang Amerika– telah menyatakan kekecewaannya pada bagaimana Afghanistan dikemas dan diserahkan kepada Taliban, laiknya hadiah Natal dari Sinterklas. Namun, Presiden Biden berdiri tepat di belakang keputusan untuk menarik diri itu. Karena—menurut Biden, itu ”… adalah keputusan yang tepat untuk rakyat (Amerika).” Baillah, mungkin Biden benar.
Runtuhnya pemerintah Afghanistan dengan kecepatan keruntuhan domino–meskipun telah diperkuat 20 tahun dukungan dan pelatihan militer AS–memvalidasi skeptisisme bahwa kehadiran AS dan upaya berkelanjutan untuk memungkinkan pemerintah Afghanistan terus berdiri. Penarikan itu mungkin merupakan berkah, karena mungkin menyelamatkan nyawa orang-orang Amerika. Pasukan AS telah berkurang dari sekitar 15.500 menjadi 2.500 personel, sementara Taliban berada pada kekuatan militer terkuatnya sejak 2001. Berdasarkan bukti bahwa pasukan Afghanistan tidak memiliki keinginan untuk berperang, kita dapat mengatakan bahwa pasukan Amerika akan berada di bahaya besar jika mereka ada di sana pada saat negara itu diambil-alih Taliban.
Namun, beberapa cendekiawan berpendapat bahwa fenomena penarikan personel militer dari Afghanistan itu menghancurkan (kredibilitas) kepresidenan Biden. Beberapa jurnalis percaya bahwa itu adalah kebijakan Donald Trump yang mau tak mau harus diimplementasikan oleh Joe Biden, dan “..dia akan membayar harga yang cukup mahal untuk kekacauan yang berlangsung.”
Yang lain mengklaim bahwa itu menegaskan kegagalan Amerika dalam perencanaan militer, intelijen, pembangunan bangsa, dan yang paling penting, kegagalan untuk melindungi orang-orang yang telah bersumpah untuk membela, membuat mereka—antara lain–jatuh ke kematian dari pesawat yang terbang meninggalkan mereka.
Akankah situasi Afghanistan akan mempengaruhi hubungan jangka panjang AS-Taiwan? Akankah kasus Afghanistan akan mendorong Taiwan untuk mencari jaminan keamanannya, atau mencari langkah-langkah diplomatik terhadap Cina? Ataukah justru AS menggunakan Afghanistan untuk memvalidasi mengapa Taiwan perlu terus hidup di bawah payung keamanan AS? Bagian ini menegaskan bahwa masalah Afghanistan kemungkinan memiliki konsekuensi yang mengerikan pada kredibilitas Amerika di Taiwan di mata publik. Namun, meskipun saat ini ada ‘perhatian berlebihan’ terhadap AS, negara itu tetap saja menjadi bagian yang lebih besar dari dunia mereka. Kebijakan politik tingkat atas tampaknya tak akan banyak berubah, dan sebaliknya, tren yang berjalanlah yang akan menang.
Sejak kaum Nasionalis di bawah Chiang Kai-Shek melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949, kembalinya mereka ke daratan dan berkuasa tetap menjadi ilusi. Hal itu bahkan memudar seiring waktu. Karena kembali secara militer tidak memungkinkan, Taipei telah memutuskan untuk menegaskan kemerdekaan, menyerukan Cina daratan untuk melihat kepada realitas waktu dan alih-alih terus ngotot menjadikan satu Cina, mengajaknya mengesampingkan beban sejarah dan terlibat dalam dialog positif. Sebuah langkah yang tentu ditolak Beijing.
Cina daratan telah melakukan upaya sadar untuk menyatukan kembali, sementara kedua belah pihak terus “menghormati pilihan jalur pembangunan dan sistem sosial masing-masing.” Namun, AS menopang Taiwan sejak 1950-an, dan Taiwan ada hingga saat ini tak lain karena payung keamanan AS. Dukungan AS itu untuk menetralisasi ancaman komunis di kawasan Pasifik. Strategi ini bertahan karena AS berpendapat Cina menimbulkan ancaman besar, belakangan diperburuk oleh pertumbuhan ekonomi dan segala eksternalitas terkait.
Melalui sejarah dan legalitas (Konsensus 1992), Cina menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri, yang perlu dibawa kembali dengan segala cara, termasuk kekerasan. Sikap itu tanpa kompromi. Aaron Friedberg berpendapat, hal itu harus dilakukan karena dukungan Amerika untuk Taiwan mengganggu Cina dan dominasi Cina di Asia tidak dapat dihindari.
“AS harus berhenti menjadikan Taiwan sebagai pengganggu dalam hubungan Beijing-Washington” untuk memperluas kerja sama Cina-AS. Namun, yang lain melihat Cina sebagai kekuatan dengan tujuan strategis di luar Taiwan, dan bahwa jika AS menarik diri, tantangan global dan regional Cina justru tidak hanya akan bertahan, melainkan tumbuh menguat.
Gambar-gambar dari Bandara Kabul, menunjukkan kekacauan dan ketakutan orang-orang saat mereka melarikan diri dari negara itu, dapat membuat publik Taiwan merinding, merenungkan apa yang akan terjadi jika AS juga meninggalkan mereka.
Pemuda Taiwan telah membeli mantra kemerdekaan Taiwan, dalam perbedaan langsung dengan rekan-rekan mereka di daratan. Para pemuda curiga para pemimpin mereka mungkin menyerah pada tekanan Cina untuk reunifikasi. Dengan demikian, mereka menuntut pengawasan lebih dalam semua perjanjian dengan Cina, cukup diawasi dan dipantau oleh rakyat untuk melindungi ambisi demokrasi dan kemerdekaan mereka yang berjuang keras.
Ini adalah tuntutan utama ketika mereka menyerbu parlemen Taiwan pada tahun 2014. Para pemuda ini kemungkinan akan mulai mencurigai kredibilitas dan kesediaan AS untuk melindungi mereka, mengambil inspirasi dari Kabul. Afghanistan mungkin menabur keraguan, membentuk gagasan bahwa orang tak begitu saja dapat terus mengandalkan AS. Steven Erlanger setuju bahwa, “Keputusan AS di Afganistan dapat menjadi pukulan lain terhadap kredibilitas AS.” Hal itu juga bisa memperparah luka akibat tahun-tahun Trump dan memperkuat gagasan bahwa dukungan Amerika untuk sekutunya bukan tidak terbatas. Memang, menurut dia, “Keragu-raguan ini sekarang akan semakin terasa di antara negara-negara yang bermain di dunia, seperti Taiwan.”
Pada Maret 1973, militer AS meninggalkan Vietnam Selatan setelah menandatangani Perjanjian Perdamaian Vietnam. Segera, pemerintah-pemerintah yang didukung AS di Indochina jatuh ke tangan pemerintahan Marxis. Keberhasilan Marxis secara global mengalir ke Selatan, termasuk Afrika dan Amerika Latin.
Pada tahun 1979, Uni Soviet melakukan intervensi di Afghanistan untuk mendukung rezim pro-komunis pro Soviet yang diguncang oleh pemberontak internal. Para pemberontak menentang pasukan gabungan Afghanistan dan Soviet untuk membuat konflik tersebut menjadi sangat merugikan bagi Soviet.
Pasukan Soviet mulai mundur pada Mei 1988, membuka jalan bagi para pemberontak untuk menggulingkan pemerintah yang didukung Soviet pada 1992. Penarikan Soviet yang melemah mendahului runtuhnya rezim-rezim Marxis di Eropa Timur dan Uni Soviet sendiri pada Desember 1991. Karena itu tidak mengherankan bahwa penarikan AS dari Afghanistan menyebabkan jatuhnya rezim yang dibangun dan disangga oleh Washington.
Presiden Biden jelas tentang antisipasinya. “Tidak ada peluang bahwa satu tahun, satu tahun lagi, lima tahun lagi, atau bahkan 20 tahun lagi sepatu bot militer AS tetap menapak tanah Afghanistan, akan membuat perbedaan.”
Meskipun preseden ini ada, Taipei tidak mungkin mengubah kebijakan AS yang ada, meskipun ada perhatian berlebihan dari para pemimpinnya. Pasalnya, kondisi Afghanistan dan Taiwan berbeda. AS dan Taiwan menikmati hubungan tidak resmi yang kuat dan kemitraan keamanan yang unik. AS juga bersekutu dengan negara lain yang keamanannya terkait nasib Taiwan, seperti Jepang.
Hubungan AS-Afghanistan adalah kemitraan bilateral yang dipandu oleh Enduring Strategic Partnership Agreement (komitmen ekonomi dan politik) yang ditandatangani pada tahun 2012. Kita tidak dapat menyangkal bahwa aliansi dapat menyebabkan jebakan (terjerat dalam perang orang lain) atau pengabaian (membatalkan kontrak aliansi atau gagal untuk memenuhi komitmen eksplisit).
Namun, kecil kemungkinan AS akan meninggalkan Taipei seperti yang terjadi di Kabul, melihat rangkaian aliansi yang terkait dengan Taiwan dan pengaruhnya terhadap kekuatan global AS. Dalam hal penarikan, AS akan menerapkan langkah-langkah diplomatik yang sesuai dengan Beijing, mirip dengan ketika mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taipei pada 1979.
Selain itu, AS dan Taiwan memiliki persepsi ancaman yang sama—Cina–, dan dengan demikian, mereka memiliki tujuan strategis yang serupa. Taiwan prihatin dengan meningkatnya ancaman terhadap kemerdekaannya. Baru-baru ini, AS juga terlalu khawatir tentang pertumbuhan kekuatan regional dan global Cina.
Terlepas dari ancaman keamanan langsung, uluran tangan Cina di luar negeri tampaknya telah meningkatkan pengaruh global yang dirasakannya, kemungkinan akan memenangkan pertemanan. Dengan demikian, Presiden Biden berharap untuk memperbaiki aliansi dan terlibat dengan mereka untuk “memenuhi [tantangan] hari ini dan besok… termasuk ambisi Cina yang berkembang untuk menyaingi Amerika Serikat.
Namun, AS berpendapat bahwa tujuan strategisnya di Afghanistan adalah kontraterorisme-–bukan kontra pemberontakan atau pembangunan bangsa, yang (mungkin) telah tercapai. Oleh karena itu, tidak ada dasar untuk tetap tinggal di Afghanistan, seperti yang disimpulkan oleh pemerintahan Trump dan Biden. Jadi, bukan berarti AS siap melihat sekutunya jatuh. Namun demikian, para pemimpin di Afghanistan pun tidak memiliki kepentingan khusus selain memperkaya diri mereka sendiri di bawah perlindungan AS.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa pasukan Afghanistan yang dilatih AS tidak dikalahkan di medan perang. Mereka menjadi tahi lalat melalui korupsi dan mengkhianati negara mereka. Aparat keamanan melihat pemerintah sebagai pihak yang korup dan tidak sah, mendorong mereka untuk juga menjadi korup. Laporan tengah tahunan kepada Kongres pada Juni 2020 melaporkan korupsi yang merajalela tetap menjadi tantangan kritis. Ada 80 persen orang Afghanistan percaya bahwa pemerintah itu korup. Korupsi mengakibatkan pengurangan 66 persen tentara dan 73 persen polisi antara Desember 2019 dan Mei 2020.
AS dibuat percaya bahwa pasukan keamanan Afghanistan berjumlah 352.000. Namun, pemerintah Afghanistan bisa mengkonfirmasi, yang ada hanya 254.000. Para komandan militer Afghanistan menciptakan nama-nama hantu untuk keuntungan pribadi. Mereka memperkaya diri dengan gaji pegawai. Lazim ketahuan, beberapa petugas negara bahkan tidak dibayar selama enam sampai sembilan bulan.
Taliban menengahi kesepakatan dengan beberapa pejabat pemerintah. Para pemimpin Taliban menawarkan uang—150 dolar AS-– sebagai imbalan bagi personel pasukan pemerintah untuk menyerahkan senjata mereka, atau bergabung dengan mereka.
Karena para komandan memperkaya diri mereka sendiri, sebagian besar pasukan memilih untuk memutuskan kesepakatan dengan Taliban, menyerah, atau menyembunyikan diri begitu saja daripada mempertaruhkan hidup mereka untuk tujuan yang sia-sia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak ada yang siap dan rela berjuang dan mati demi pemerintahan yang korup dan tidak sah itu.
“Semua orang hanya mencari jalan keluar untuk dirinya sendiri,” kata banyak rakyat Afghanistan. Sementara Afghanistan berada di peringkat 165 pada indeks persepsi korupsi Transparency International 2020, Taiwan berada di peringkat 28. Apalagi menurut Economist Intelligence Unit, Taiwan adalah negara paling demokratis di Asia, peringkat ke-11 secara global. Dengan demikian, kecil kemungkinan praktik korupsi yang membuat Afghanistan jatuh, dapat menggeser Taiwan. Namun demikian, para pemimpin di Taiwan akan mencari jaminan AS melalui mitra demokrasi Asia Pasifiknya. [Modern Diplomacy]
*Thomas Ameyaw-Brobbey adalah asisten Profesor Hubungan Internasional, Diplomasi dan Keamanan di Fakultas Hukum dan Administrasi Publik, Universitas Yibin, Sichuan, Cina.