Cara Ketat Jerman Gulirkan Bundesliga di Saat Pandemi
Pertandingan live pada putaran berikutnya terdengar lagi gemuruh suara penonton. Tentu saja ini hanya sekadar backsound audio yang disuarakan lewat televisi. Jadi, penonton di rumah merasakan bak pertandingan lazimnya
BERLIN– Semua mata penggemar sepakbola sekarang sedang tertuju ke liga utama Jerman, Bundesliga. Liga ini bak oase bagi soccermania di seluruh dunia yang tak bisa menonton Premiere League atau LaLiga, dua liga negara Eropa yang paling menyedot perhatian dunia dan paling sensasional.
Pierre-Emerick Aubameyang, forward Arsenal yang hijrah dari Borussia Dortmund pasti sedih melihat eks timnya menggunduli Schalke 4-0 ketika bendera start Bundesliga dikibarkan kembali 16 Mei lalu. Bahkan mungkin Jurgen Klopp lebih memilih kembali ke Dortmund, tim yang ia olah hingga selalu menjadi seteru Die Roten, Bayern Munchen.
Berhenti sejak 8 Maret 2020, Bundesliga yang disiarkan langsung lewat jaringan televisi FOX Sport kemudian banyak diisi dengan konten rerun. Paling tidak para pengegmar Bundesliga tak kehilangan gairah kendati menikmati tontonan lawas. Semisal pertandingan klasik atau kisah para pebola kugiran di negeri Bavaria itu.
Bagi DFB (PSSI-nya Jerman) jelas tak mungkin menyudahi begitu saja liga utama yang masih menyisakan sembilan pertandingan lagi. Atau seperti yang diambil oleh salah satu negara Eropa. Apalagi persaingan di lima besar masih tinggi. Sebaliknya di tiga zona degradasi juga masih ngeri-ngeri sedap.
DFB membuat regulasi mengikuti protokol kesehatan. Ujicoba satu pertandingan sebelum kemudian diistirahatkan yang tanpa penonton rupanya berhasil. Maka, Bundesliga cukup hanya istirahat dua bulan satu minggu saja. Tetapi regulasi kian ketat.
Misalnya saja sebelum digulirkan kembali, seluruh pemain dari 18 tim beserta staf harus dikarantina selama seminggu dan wajib mengikuti tes Covid-19. Kemudian bus yang membawa tim ke stadion tak bisa lagi hanya satu. Di dalamnya harus renggang. Jumlahnya bisa dua sampai tiga bus.
Begitu tiba di lapangan, seluruh yang hadir wajib cek suhu badan. Di stadion sendiri hanya boleh diisi sebanyak 213 orang saja. Mereka di antaranya pemain, staf, pengelola lapangan, tim televisi untuk live, petugas medis, hingga media. Ruang duduk tim yang biasanya di pinggir lapangan hijau hanya boleh diisi oleh pelatih dan asisten. Seluruh pemain duduk di bangku penonton. Bahkan di Allianz Arena atau di Iduna Park setiap sela kursi model pilot seat dilepas agar tak diisi, alias bukan hanya diberi tanda silang.
Botol-botol hand sanitizer disediakan di mana saja. Termasuk digantung atau diikat di area player seat sehingga mudah dijangkau untuk mencuci tangan.
Lalu, semuanya wajib mengenakan masker, kecuali pemain yang berlaga, wasit dan pelatih. Selebihnya termasuk pemain pengganti atau yang baru digantikan musti menutup mulut dan hidung. Semua orang yang tak merumput menjaga jarak, paling tidak terpisah dua meter.
Ketika melakukan selebrasi gol dilarang berangkul-rangkul apalagi menumpuk badan. Yang dibolehkan hanya βtosβ, βgive me fiveβ atau salam siku. Tabrakan dada masih boleh asal tak berpelukan.
DFB juga mensyaratkan tersediakan minimal 30 bola sepak. Ketiga puluh si kulit bundar itu terus-menerus di-sanitizing, alias dilap dengan cairan pembersih. Bola-bola itu setelah dibersihkan lalu diletakkan lagi di pinggir lapangan.
Interview pemain pascapertandingan tetap dilakukan. Tetapi si reporter harus ambil jarak. Caranya dengan menyodorkan mikrofon yang telah dilengkapi monopod. Mikrofonnya pun harus dibungkus agar tak terciprat air liur atau keringat pemain.
Stadion memang terasa sepi tanpa penonton. Tak terdengar teriakan dan yel-yel. Dalam konteks pertunjukan sepakbola asing rasanya tanpa suara ingar-bingar yang khas itu.
Sewaktu kick-off pertama, memang pertandingan terasa seperti tarkam. Yang menggema adalah teriakan-teriakan pemain dan pelatih. Tetapi pengelola Bundesliga tak kurang akal.
Pertandingan live pada putaran berikutnya terdengar lagi gemuruh suara penonton. Tentu saja ini hanya sekadar backsound audio yang disuarakan lewat televisi. Jadi, penonton di rumah merasakan bak pertandingan lazimnya. Seru dan mendebarkan, bolehlah teriak-teriak sendiri di ruang tivi.
Siapa lagi yang disenangkan selain klab dan penonton? Siapa lagi kalau bukan sponsor. T-Mobile misalnya sebagai sponsor utama Bayern Munchen yang membayar lebih dari 30 juta euro selama setahun pasti brand-nya tetap dilihat penonton di lapangan.
Bayangkan jika liga berhenti sedangkan pertandingan masih tersisa seperempat lagi, pasti rugi bandar. Begitu pula perusahaan kimia Evonik yang merogoh anggaran sampai 35 juta euro untuk Dortmund.
Hak siar televisi yang salah satunya digenggam FOX Sport tentu juga bisa berlanjut. Bukan tidak mungkin rank FOX naik akibat menyiarkan Bundesliga secara live. Sedangkan televisi lainnya tiarap.
Jadi, Bundesliga memikirkan semua hal. Sepakbola bukan sekadar pertandingan olahraga, tetapi ada industri bermain pula di dalamnya. Semua hepi walau pandemi. [Andra Nuryadi]