Hari ini di 1924, De Afschaffing van het Khalifaat
Mungkin di situlah agungnya Islam, yang memberi penganutnya banyak sekali ruang untuk berbeda, memungkinkan adanya nuansa untuk mengambil yang terbaik pada saatnya yang paling mungkin, dari berbagai sisi kecil varian demi penyempurnaan yang terus dan terus berkelanjutan
JAKARTA—Sebagian orang Islam mungkin menangisi hari ini, sebagian lainnya tidak. Dan tak mungkin kita dengan sangat simplistic menghakimi mana yang benar. Mereka yang menangisi tak selamanya seorang ‘radikal’—dalam cita rasa kata dan pengertian yang mendominasi saat ini. Sementara yang woles saja pun tak selamanya kalangan Muslim permisif yang sering dianggap lalai bahkan dari kewajiban shalat yang paling asasi.
Terlalu banyak alasan rasional yang bisa menjadi dasar sikap Muslim dunia merespons hal itu. Alasan yang membentang selama enam abad, seiring muncul, menguat, lalu jatuhnya kekhalifatan tersebut. Paling tidak karena system kekhalifahan dengan tata cara, gaya dan model yang diambil Turki pun masih memiliki peluang untuk dikritik sebagai ‘tidak Islami’. Dan mungkin di situlah agungnya Islam, yang memberi penganutnya banyak sekali ruang untuk berbeda, memungkinkan adanya nuansa untuk mengambil yang terbaik pada saatnya yang paling mungkin, dari berbagai sisi kecil varian demi penyempurnaan yang terus dan terus berkelanjutan.
Tanggal 3 Maret 1924 Kekhalifahan Turki Utsmani resmi berakhir. Majelis Agung Nasional Turki yang bersidang sejak Februari memutuskan untuk menghapus jabatan khalifah. Sultan Abdul Majid II, khalifah saat itu, dipersilakan meninggalkan Turki, berangkat bersama keluarga menuju Swiss.
Kekhalifahan Utsmani berkuasa lebih dari enam abad. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian Asia, Afrika, dan Eropa. Puncak kejayaan Utsmani berlangsung pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566), setelah itu semakin lemah karena berbagai konflik internal, selain sekian banyak kekalahan perang yang dialami melawan bangsa Eropa.
Sebenarnya surupnya Kekhalifahan Ottoman, menurut ‘Ensiklopedi Islam’ terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve, sudah terjadi sejak 1 November 1922, yakni saat kesultanan dihapuskan. Pada 29 Oktober 1923, Republik Turki muncul memproklamasikan diri, dengan presiden pertama Mustafa Kemal. Sejak tahun 1928, Turki sepenuhnya sekuler manakala ketentuan ‘Islam sebagai agama resmi negara’ dihapuskan dalam undang-undang.
Sejak naiknya Sultan Hamid II menduduki tahta kekhalifahan pada 1876, Ottoman makin mundur. Berbeda dari khalifah sebelumnya yang lemah, Hamid II justru memerintah dengan absolut dan penuh kekerasan. Karena itu timbul rasa tidak senang baik di kalangan sipil maupun di kalangan militer. Gerakan-gerakan oposisi terhadap pemerintah absolut Sultan Abdul Hamid II inilah yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Turki Muda dengan pelopornya, antara lain, Ahmad Riza (1859-1931), Muhammad Murad (1853-1912), Pangeran Sahabuddin (1877-1948) dan belakangan, Mustafa Kemal.
Di tubuh militer Turki, semakin banyak usaha untuk menggulingkan Sultan dengan membentuk komite-komite rahasia, seperti komite perkumpulan persatuan dan kemajuan. Salah seorang pemimpin komite itu adalah Mustafa Kemal.
Menurut Eugene Rogan dalam ‘The Fall of the Ottomans: The Great War in the Middle East, 1914–1920’, kekalahan pertama yang membuat pengaruh besar adalah kalahnya Ottoman dari Kerajaan Italia (Perang Italo-Turki) yang berlangsung 29 September 1911-18 Oktober 1912. Nama perang itu adalah Perang Tripolitanian, merujuk pada lokasi peperangan, yakni di Libya modern dan sekitarnya.
Awalnya, Italia mengklaim wilayah Afrika utara yang sejatinya merupakan teritori Kekhalifahan Usmani. Italian mengklaim dengan dasar kekalahan Ottoman dalam perang melawan Rusia pada 1877-1878, yang membuat sejak itu Turki disebut ‘The Sick Man of Europe’. Libya yang kaya akan bahan tambang dan mineral itu hanya dijaga 4.000 pasukan Ottoman. Italian juga mengklaim, masyarakat setempat lebih suka pemerintahan Italia ketimbang rezim Ottoman.
Perang pun pecah. Turki yang dilanda korupsi di tubuh Istana, terpana manakala Italia menyerang dengan skuadron udara. Sesuatu yang tidak mereka punya. Ditambah kelemahan-kelemahan lain, pada pertengahan Oktober 1912 pasukan Turki kalah telak.
Italia menghabiskan biaya 1,3 miliar lira untuk perang itu, yang segera diganti dengan menguras sumber daya alam Libya. Ottoman rugi besar, terutama karena perang itu membuat kelemahannya selama ini terbuka luas, yang akhirnya juga memicu gerakan nasionalisme rakyat wilayah Balkan. Jika orang Italia yang doyan makan pizza saja bisa menghajar Ottoman, mengapa kita yang makan dengan menu lebih variatif tidak?
Akhirnya tegaklah Liga Balkan pada 1921, sebagaimana ditulis dengan detil oleh Eyal Ginio dalam ‘ The Ottoman Culture of Defeat: The Balkan Wars and Their Aftermath’. Dengan dorongan sentiment etnis, negara-negara yang sebelumnya pun telah memperoleh otonomi dari Kekhalifahan Ottoman, yakni Montenegro, Yunani, Bulgaria, dan Serbia, memberanikan diri menuntut kemerdekaan 100 persen dari Kekhalifahan Utsmani.
Perang Balkan I berlangsung antara Oktober 1912 hingga Mei 1913. Jumlah personel pasukan Ottoman sekitar 400 ribu personel lebih sedikit. Liga Balkan pun dibantu Rusia, sementara Ottoman disokong Kerajaan Austria-Hungaria. Saat perang berakhir, ada 100 ribu prajurit Liga Balkan mati atau terluka, sementara di pihak Ottoman mencapai 340 ribu orang.
Kekalahan di Perang Balkan itu menyebabkan The Sick Man lebih sakit lagi. Sejarah Turki modern mencatat kekalahan itu sebagai tragedi besar bernama ‘Balkan harbi faciasi’.
Sikap Turki pada PD I
Pada pertengahan tahun 1914 Perang Dunia I pecah. Kekhalifahan Usmani bergabung dengan Blok Sentral bersama Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria, dan lain-lain. Mereka berhadapan dengan Blok Sekutu yakni Prancis, Inggris Raya, Kekaisaran Rusia, Italia, Amerika Serikat, Liga Balkan, dan Kerajaan Hejaz (kini Arab Saudi).
Kekalahan paling penting yang mengubah strategi Ottoman dari menyerang ke bertahan adalah hasil dari Perang Sarikamish melawan Rusia. Ottoman lupa, di musim dingin, taka da negara mana pun yang bisa mengalahkan Rusia. Kekuatan Rusia di perang yang berlangsung di Kota Sarikamish (kini Turki bagian Timur) pada 22 Desember 1914 hingga 17 Januari 1915 itu membuat pasukan Ottoman dipaksa mundur. Kekalahan ini semakin membuat warga Turki di dalam negeri menginginkan terjadinya reformasi, sebagaimana banyak orang Indonesia di tahun 1998.
Alan Whitehorn dalam ‘The Armenian Genocide: The Essential Reference Guide ‘ menulis bahwa pimpinan militer Turki Anwar Pasha secara terbuka menyalahkan orang-orang Armenia sebagai biang keladi kekalahan. Mereka dianggap terlalu berpihak pada Rusia. Whitehorn menyatakan, pengkambinghitaman ini menjadi awal terjadinya pembantaian sistematis 1,5 juta orang Armenia. Pembantaian yang kemudian dilanjutkan oleh rezim Republik Turki setelah kekhalifahan jatuh.
Kekalahan demi kekalahan itu membuat terbitnya gerakan nasionalisme di kalangan masyarakat Arab. Rogan menulis, rasa nasionalisme akibat kesukuan membuat suku-suku di Timur Tengah, yang kala itu masih di bawah kekuasaan Ottoman, bersatu dan bersama-sama mengangkat senjata. Istanbul mencoba meredamnya dengan bantuan Kekaisaran Jerman pada akhir 1918. Namun pasukan Arab di bawah kendali Kerajaan Hejaz juga kuat karena didukung Prancis dan Inggris. Kita bisa menyaksikan lebih detil hal ini dalam film kolosal ‘Lawrence of Arabia’ yang dibintangi Peter O’Toole—yang bukan anak Jawa itu.
Kontak senjata antar kedua kubu pecah di kawasan kota tua Tel Megiddo, sehingga konfliknya disebut sebagai Perang Megiddo. Kota Tel Megiddo kini masuk ke teritori Israel dan pertempurannya turut berlangsung di sekitaran wilayah Suriah modern. Bagi Sekutu, perang itu menjadi fase terakhir dalam kampanye milternya di wilayah Palestina dan Semenanjung Sinai.
Keruntuhan Utsmani
Dengan sedemikian banyak kekalahan itu, politik Ottoman di dalam negeri pun kacau. Gerakan bersenjata pun marak. Setelah Istanbul dan Izmir diduduki, gerakan nasionalis Turki yang dipimpin Mustafa Kemal memenangkan perang kemerdekaan pada 1922.
Kekhalifahan Ottoman dibubarkan pada 1 November 1922. Khalifah terakhir, Mehmed VI, meninggalkan bekas daerah kekuasaannya 16 hari kemudian. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mendeklarasikan berdirinya Republik Turki pada 29 Oktober 1923, dan menetapkan ibukota berpindah ke Ankara.
Sejak itu, golongan pendukung kekhalifahan praktis tak punya kekuatan lagi. Upaya meyakinkan orang-orang Turki agar kekhalifahan kembali tegak dihajar dengan hebat oleh kubu nasionalis atas nama intervensi asing sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Mustafa Kemal memulai restorasinya, bahkan dengan mencoba menanggalkan banyak nilai-nilai Islam atas nama modernisme.
Lalu pada 3 Maret 1924, hari ini 96 tahun lalu, Majelis Agung Nasional Turki resmi membubarkan Kekhalifahan Utsmani.
Respons Muslim di Indonesia
Kurang dari 24 jam setelah kejatuhan Ottoman, koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda memberitakannya. Pada 4 Maret 1924, nieuwsblad (koran) Batavia, ‘Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië’ atau ‘Het Nieuws’ memberitakannya dengan judul “De afschaffing van het Khalifaat” (Penghapusan Khilafah).
Beritanya berbunyi: “De Turksche Nationale Vergadering bespreekt de afschaffing en de deportatie van den Khalief, terwijl alle leden van de Sultans-famillie voor eeuwig van het recht om in Turkije te verblijven beroofd zouden worden. Majelis Nasional Turki membahas penghapusan dan deportasi Khalifah, sementara itu hak semua anggota keluarga Sultan Abdul Madjid II untuk tinggal di Turki akan dicabut selamanya.”
“Het Nieuws ini paling terdepan dan intens dalam mengabarkan berita penghapusan,” kata sejarawan Septian AW. Satu hari sebelumnya, 3 Maret 1924, ‘Het Nieuws’ memang telah mengabarkan rencana penghapusan sistem khilafah, sebagaimana tuntutan Partai Rakyat Republik milik Mustafa Kemal Pasha.
“De Turkesche volkspartij verklaarde zich met overweldigende meerderheid voor het wets ontwerp inzake de afzetting van den khalief en afschaffing van het Kalifaat. Partai Rakyat Republik menyatakan diri mendukung RUU tentang pemberhentian khalifah dan menghapuskan kekhalifahan,” tulis koran itu.
Sementara koran Batavia lainnya, Bataviaasch Nieuwsblad juga memberitakan peristiwa penghapusan itu dalam terbitan 5 Maret 1924. Surat kabar itu menurunkan berita tentang Belangrijke Besluiten (Resolusi Penting) dari Turksche Rijk (Negeri Turki), yang isinya soal penghapusan sistem khilafah di Turki.
Di Surabaya, pemberitaan meluas dengan terbitnya berita di De Indische Courant terbitan 7 Maret 1924. Isinya menyoal soal hasil pertemuan Majelis Agung Nasional Turki yang menyetujui penghapusan khilafah, sekulerisasi Turki dan pengasingan Khalifah Abdul Majid II ke Swiss.
Beberapa pekan kemudian, surat kabar berbahasa Melayu, ‘Neratja’, yang dikelola KH Agus Salim memuat serial tulisan yang berjudul ‘Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam’. Dalam tulisan itu, tak hanya ditulis soal penghapusan Kekhilafahan Islam dan situasi Turki terbaru, melainkan pula digambarkan merebaknya situasi kalut di dunia Islam atas peristiwa tersebut.
Hal itu berlainan dengan situasi di kalangan Komunis Indonesia. Manakala kaum Muslim pribumi mengulasnya dengan nada sedih, kaum Komunis membahas soal penghapusan itu dengan nada yang sinis. Sebuah artikel pada ‘Medan Moeslimin’ yang dikelola Haji Misbah—salah seorang pimpinan ‘SI Merah’, pada 15 April 1924—
46 tahun sebelum pas kelahiran saya, mengatakan kepada pembacanya untuk tidak telibat dalam hal apapun yang bersangkutan dengan Turki.
“Khalifah, dengan persatuan Islamnya, hanya menyebabkan kerugian besar bagi umat Islam. Kendati kolaborasi khalifah dengan Jerman baik sekali, jihadnya (dalam Perang Dunia I,) telah gagal total. Adalah ilusi mengharapkan khalifah membawa persatuan umat Islam, membawa kebahagian dan kebebasan, karena hanya komunis yang akan mampu mewujudkannya,” tulis Misbach, sebagaimana kliping yang dimiliki Septiawan.
Tetapi berlawanan dengan Haji Misbach, saat itu mayoritas umat Islam tetap menginginkan tegaknya kembali khilafah. Pada Kongres Al-Islam di Garut, Mei 1924, atau dua bulan setelah penghapusan Khilafah, dalam pidato pembukaan kongres yang diadakan Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad itu KH Agus Salim menempatkan persoalan dalam konteks perjuangan antara dunia Islam dan pemerintah kolonial.
“Kongres Al-Islam ini perlu mencari persatuan maka merupakan sebuah kewajiban dalam mencari solusi atas permasalahan khilafah,” kata Agus Salim saat itu. Seiring waktu, persoalan itu pun terus menjadi bahan polemik di dunia Islam. Mungkin tak seharusnya memecah, melainkan menyadarkan bahwa perbedaan itu wajar saja tanpa harus disikapi overkill. Bukankah sejak lama pepatah tua Melayu berkata,” Kepala sama berbulu, pendapat berlain-lainan…” [ ]