Hidup di Tengah Pusaran Bencana Corona New York
Kaum buruh migran asal Bangladesh, Meksiko, Ekuador, India, Cina, Filipina dan Nepal menjadi korban-korban utama di pusat episentrum virus corona di Queens
NEW YORK CITY– Anil Subba, pengemudi Uber asal Nepal yang tinggal di kawasan Jackson Heights, Queens, New York City, kini hanya tinggal nama. Ia meninggal Cuma beberapa jam setelah dokter di Rumah Sakit Elmhurst mengira dirinya cukup kuat untuk dilepas dari ventilator yang selama perawatan terus dipakainya.
Di sebuah lingkungan zona merah pandemi, Edison Forero, 44, seorang pekerja restoran asal Kolombia, masih meriang dibakar demam ketika teman serumahnya menuntut dirinya meninggalkan kamar sewaannya. Mereka tak ingin tertular, karena itu tega membiarkannya menyongsong nasib yang lebih tak jelas di luar.
Tidak jauh di Jackson Heights, Raziah Begum, seorang janda dan pengasuh anak dari Bangladesh, khawatir dirinya segera sakit. Dua dari tiga teman sekamarnya sudah memiliki gejala Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Semua orang di apartemen menganggur, dan mereka mencukupkan diri hanya makan satu kali sehari.
“Kami sangat lapar, tetapi saya lebih takut lagi akan sakit,” kata Ny Begum, 53, yang menderita komplikasi diabetes dan tekanan darah tinggi.
Di sebuah kota yang rusak diobrak-abrik virus corona, tak sedikit wilayah yang sama menderitanya dengan kawasan Queens Tengah: petak seluas tujuh mil persegi yang menjadi kantong-kantong padat imigran asing. Di kawasan-kawasan seperti itu, pada pecan-pekan pertama merebaknya wabah saja telah tercatat 7 ribuan kasus.
Dalam sebulan sejak pandemi meledak di New York, virus itu telah menghajar orang kaya dan orang miskin, mereka yang terkenal dan yang anomim. Tetapi ketika angka kematian terbang meningkat, penularannya telah mengungkap adanya ketidaksetaraan di tengah tudingan adanya orang-orang yang ‘membandel’, menghancurkan lingkungan imigran kelas pekerja jauh lebih cepat daripada yang lain.
Lingkungan-lingkungan yang bertetangga–Elmhurst, East Elmhurst dan Jackson Heights, telah muncul sebagai pusat penyebaran wabah di New York.
Pada Rabu lalu, komunitas-komunitas dengan populasi gabungan sekitar 600 ribuan orang itu dalam catatan Departemen Kesehatan dan Kebersihan Mental Kota New York telah menyetor lebih dari 7.260 kasus virus corona. Manhattan, dengan populasi hampir tiga kali lebih banyak, mencatat 10.860 kasus.
Dinas Kesehatan belum merilis data tentang ras atau etnis mereka yang terkena. Departemen Perencanaan Kota juga memperingatkan agar orang-orang tidak menarik kesimpulan sembaranga berdasarkan kode ZIP (kode pos wilayah).
Namun secara sendiri-sendiri, baik pekerja kesehatan dan tokoh masyarakat seolah bersepakat bahwa pandemi secara tidak proporsional telah berdampak pada pekerja harian Hispanik, karyawan restoran dan petugas kebersihan, yang merupakan bagian terbesar dari populasi di wilayah yang sering dirayakan sebagai salah satu tempat paling beragam di dunia itu. Orang-orang Latin merupakan 34 persen dari korban-korban meninggal yang terjadi di New York City, menjadi kelompok ras atau etnis terbesar yang paling parah dilanda pandemi.
Sementara lingkungan yang banyak didiami para pekerja imigran dari India, Bangladesh, Cina, Filipina dan Nepal, serta sejumlah komunitas etnis lain, juga hancur oleh pandemi.
Elmhurst Hospital Center yang dikelola Pemerintah Kota New York adalah salah satu rumah sakit yang paling awal dan paling parah terkena virus ini. Lusinan pasien Covid-19 yang keleleran tak dapat kamar telah menyumbat lorong. Mereka—aturan mengharuskan, sendirian menunggu adanya tempat tidur, dikungkung ketakutan, dan sering tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
“Kami adalah pusat dari pusat gempa,”kata anggota Dewan Kota, Daniel Dromm, yang mewakili Elmhurst dan Jackson Heights. Dia menjadi emosional ketika tahu lima teman dan lebih dari dua lusin konstituennya terkena penyakit yang dibawa virus. “Ini telah mengguncang seluruh lingkungan yang ada,” katanya.
Ada banyak orang, karena kepedulian dan tanggung jawab mereka, segera tersohor tanpa mereka mau. Di antara mereka termasuk Pendeta Antonio Checo–seorang pendeta di Gereja Episkopal St. Markus di Jackson Heights; Lorena Borjas, seorang aktivis transgender; dan Kamal Ahmed, presiden Masyarakat Bangladesh.
Aliansi Pekerja Taksi New York mengatakan 28 pengemudi mereka telah tewas– sebagian besar dari mereka adalah imigran yang tinggal di Queens. Make the Road New York, sebuah organisasi advokasi yang melayani warga Latin kelas pekerja di kawasan itu mengatakan, delapan anggotanya di Queens telah meninggal. “Tragedi sedang berlangsung,”kata Wakil Direktur Javier H. Valdés.
Krisis dengan segera mengubah banyak kawasan pemukiman. Roosevelt Avenue, arteri komersial paling vital yang biasanya dipenuhi dengan penjaja jalanan, salon-salon kecantikan dan barbershop serta gerai-gerai yang menjual surat kabar dalam berbagai bahasa, semuanya telah ditutup. Area itu kini dicekam sunyi. Kesunyian yang menakutkan itu sesekali dipecahkan bunyi sirene dan derap kereta yang operasionalnya juga sudah dikurangi.
Sejumlah pedagang kaki lima, karena harus bertahan hidup, memang telah kembali. Tetapi sekarang mereka menjual masker dan pakaian dalam Tyvek buatan DuPont. Dengan ditutupnya gereja dan masjid, keluarga orang-orang yang meninggal hanya bisa meratap di rumah.
Kepadatan chockablock yang selama ini menjadi symbol tak diinginkan dari wilayah Queens, mungkin juga merupakan awal kehancurannya. Para dokter dan tokoh masyarakat mengatakan kemiskinan, rumah-rumah yang terlalu penuh sesak dan tidak adanya tindakan nyata pemerintah telah membuat penduduk sangat rentan terhadap virus.
“Saya kira kota itu tidak bisa menegaskan tingkat bahaya yang ia alami,” kata Claudia Zamora, pelaksana tugas wakil direktur New Immigrant Community Empowerment, sebuah kelompok advokasi para pekerja di Jackson Heights.
Pada awal Maret, kata Zamora, Dinas Kesehatan Kota mengirim brosur dengan tips mencuci tangan. Itu saja, tanpa adanya petugas yang memberikan pendampingan, atau setidaknya poster multibahasa yang memungkinkan banyak orang di wilayah itu bisa mengerti.
Kini orang-orang yang terkena sakit termasuk buruh harian seperti Ángel, 39, seorang pekerja konstruksi dari Ekuador. Dia meminta agar hanya nama depannya yang dituliskan, karena status imigrasinya.
Seperti banyak orang, dia mengatakan dirinya bekerja di lokasi pembangunan gedung di Manhattan sampai kemudian jatuh sakit. Dia mengatakan tidak memilih untuk dirawat di Rumah Sakit Elmhurst karena gejala yang ada tidak dianggapnya mengancam jiwa. Dia memilih menderita dan mengobati diri di apartemennya di Corona, Queens, yang dia bagi bersama tiga pekerja lainnya. “Saya tidak punya siapa pun untuk membantu saya,” kata Angel.
Para pejabat Kota New York membantah bahwa mereka telah mengabaikan lingkungan imigran kota untuk berjuang sendiri. Departemen Kesehatan Kota, kata para ASN (Aparatur Sipil Negara) New York itu, telah mencetak poster-poster fakta soal virus corona dalam 15 bahasa. Dinas Kesehatan Kota, kata mereka, telah melakukan kampanye layanan publik multibahasa di kereta bawah tanah dan di televisi, dan telah memperbarui secara terus-menerus iklan-iklan mereka di berbagai media etnis, termasuk tentang perlunya melakukan social distancing.
Ronny Barzola, seorang warga Amerika keturunan Ekuador berusia 28 tahun dari Kew Gardens, yang bekerja untuk layanan pengiriman makanan Caviar, adalah salah satu dari sedikit orang yang beruntung masih memiliki pekerjaan. Dia mengolesi tangannya dengan hand sanitizer sepanjang hari. Dia khawatir akan ibu dan saudara perempuannya, yang keduanya sakit di rumah tetapi tidak dapat menjalani tes. “Tidak mungkin untuk mengisolasi, ketika semua orang berbagi apartemen yang sama,” kata Barzola.
Subba, seorang pengemudi Uber yang kita sebut di awal tulisan, sempat keluar dari Uber dan bekerja untuk aplikasi layanan perjalanan lain, Via. “Tetapi sebulan lalu dia berhenti menyusuri jalan, setelah menjemput penumpang yang sakit,”kata sepupunya, Munindra Nembang. Menurut Nembang Pak Subba, 49, menderita diabetes. Istri dan dua anaknya juga terbukti terinfeksi.
Ratusan imigran Nepal lainnya juga sakit, kata Nembang, termasuk pengemudi Uber lainnya yang meninggal pada Rabu kemarin. “Beberapa tengah dirawat di ruang ICU, ada yang menggunakan ventilator, ada yang masih dalam antrean,”kata Nembang. “Kami merasa sangat sedih.”
Jauh sebelum kedatangan virus corona pun, banyak warga Queens yang hidup dengan kondisi kesehatan yang buruk. Dr. Dave Chokshi, kepala Petugas Kesehatan Lingkungan pada the New York City Health and Hospitals Corporation, mengatakan bahwa tingkat penderita diabetes, tekanan darah tinggi dan kondisi kronis lainnya di Queens Tengah, jauh lebih tinggi daripada rata-rata populasi di New York.
“Ditambah krisis, banyak penduduk kekurangan asuransi kesehatan dan bergantung pada rumah sakit umum untuk prosedur rutin,” kata Diana Ramírez Barón, seorang dokter di Grameen VidaSana, sebuah klinik di Jackson Heights untuk para perempuan tanpa dokumen.
“Mereka bilang kepada warga,”Tetap tinggal di rumah dan panggil saja dokter Anda,” kata Ramirez, merujuk pada brosur pedoman kesehatan masyarakat untuk orang yang diyakini mengidap virus corona. “Tapi mereka tidak punya dokter. Mereka kemudian menjadi takut dan langsung pergi ke ruang gawat (ER).”
Patricia Rivera, seorang imigran Meksiko, mengatakan dia menjaga jarak dari rumah ibunya di East Elmhurst ketika virus itu membunuh tujuh anggota keluarganya bulan lalu, menginfeksi semua kecuali satu orang. Tetapi kemudian ibunya, yang menderita kesulitan bernafas, perlu dibawa ke rumah sakit.
Rivera, 38, membawa ibunya ke Pusat Medis Rumah Sakit Flushing, tetapi saat pulang khawatir dirinya akan menginfeksi rumahnya yang penuh sesak, termasuk ada seorang paman yang berusia 70 tahun. Dia menemukan beberapa masker respirator N95 yang diberikan kepada seorang putranya yang bekerja di sebuah lokasi pembangunan gedung, dan membagikannya kepada anggota keluarganya.
“Kita semua merasakan ketakutan,”kata Ny Rivera, yang bekerja di sebuah usaha binatu. Dia membawa hasil dan pakaian-pakaian yang akan dicuci ked an dati rumah-rumah yang dikarantina.
Bagi banyak orang, rasa takut jatuh sakit semakin meningkat dengan meningkatnya prospek menjadi tunawisma. Johana Marin, 33, seorang pelayan sebuah kedai makan di Jackson Heights, mengatakan dia menghabiskan beberapa hari di rumah sakit.
“Saya pikir saya akan mati dan tidak pernah lagi melihat keluarga saya di Kolombia,” katanya.
Ketika dia dipulangkan, wanita yang menyewakan kamarnya menolak untuk mengizinkannya tinggal. Ny Marin menemukan tempat perlindungan di apartemen seorang bibi yang, menurut dia, sekarang mendesaknya untuk pergi.
Dromm, anggota Dewan Kota, mengatakan kisah seperti itu semakin umum dan dia mendesak kota untuk mengubah kamar hotel yang kosong menjadi rumah sementara bagi mereka yang keluar dari rumah sakit atau pasien dengan gejala ringan yang berisiko menulari orang lain. Pemerintah Kota mengatakan segera mempertimbangkan hal tersebut.
Tantangan dalam menangani kematian kian jelas, ketika para pejabat pemerintah kota membahas penggalian kuburan sementara, dan keluarga meminta konsulat untuk membantu mereka memulangkan anggota keluarga yang telah meninggal ke negara asal mereka. Sementara itu, kebutuhan hidup terus tumbuh. Ribuan orang kehilangan pekerjaan, dan yang tidak berdokumen alias warga tanpa KTP sejauh ini telah dikecualikan dari bantuan pemerintah.
Di sebuah dapur umum yang dijalankan di Flushing oleh LSM La Jornada, sebagian besar pengunjung, sampai saat ini, adalah ibu tunggal. “Sekarang dua pertiganya adalah pria yang berusaha memberi makan keluarga mereka,”kata Direktur La Jornada, Pedro Rodríguez. Ia khawatir jumlah penduduk yang menganggur akan meroket drastic. “Tsunami akan datang,”kata Rodriguez. “Segera.”
Meskipun keputusasaan tumbuh, banyak yang menemukan cara untuk membantu orang lain. Seorang nenek asal Meksiko berbagi resep untuk pengobatan demam dengan herbal tradisional. Seorang pengemudi Pakistan mengantarkan makanan buatan rumah untuk mereka yang memerlukan, dan sukarelawan asal Nepal–termasuk Pak Nembang yang tak bisa menyanyi itu, membagikan masker dan alat pelindung diri gratis kepada mereka yang harus tetap bekerja.
Namun, bagi ribuan orang, kehidupan telah dikurangi menjadi dimensi kamar sewaan yang kecil.
Ny Begum, mantan pengasuh anak dari Bangladesh, mengatakan dirinya diliputi ketakutan. Dia menghabiskan hari-harinya secara kompulsif dengan membersihkan kamar mandi apartemen dan menghindari teman-teman sekamarnya yang sakit. Pemilik kamar sewa telah menuntut sewa bulan April dan mengancam menggusurnya.
Untuk menguatkan hatinya, Ny Begum tak henti menoleh kepada Al-Quran yang ia simpan di samping tempat tidurnya. “Saya berdoa setiap hari,” katanya. “Berdoa agar virus corona segera meninggalkan Amerika.”
[Annie Correal/Andrew Jacobs/Ryan Christopher Jones/The New York Times]