Histeria Antifa dan Konyolnya Orang-orang Amerika
Histeria muncul ketika seorang presiden yang berbohong mengambil setiap kesempatan, tidak untuk menyembuhkan luka-luka nasional kita, tetapi untuk menyalakannya; ketika orang-orang hidup dalam ekosistem berita yang tidak memberikan pengecekan realitas tetapi mengobarkan prasangka dan menimbulkan ketakutan.
Oleh : Nicholas Kristof
Apa yang dapat kita lakukan saat mengetahui adanya krisis yang terjadi di kota Coquille, di tepi laut Oregon? Coquille adalah kota tenang tempat komunitas para penebang kayu berpenduduk 3.800 orang bermukim. Hampir semuanya berkulit putih. Kota antah berantah yang terkucil ratusan mil dari mana pun. Portland berjarak 250 mil ke utara, sementara San Francisco berada 500 mil ke selatan.
Namun, ketika Fox News memberitakan dengan sangat gusar tentang ‘para perusuh dan penjarah’, dan Presiden Trump pun memperingatkan soal gerakan anti-fasis yang dikenal sebagai antifa, kota itu turut menggeliat. Jadi, manakala sekelompok kecil penduduk setempat merencanakan protes damai “Black Lives Matter” di Coquille, awal bulan ini, tersebar pula kabar bahwa tiga bus aktivis antifa bergerak menuju ke Coquille, untuk menghancurkan kota.
Sheriff dan wakil-wakilnya segera mengenakan rompi antipeluru, menyiapkan kendaraan lapis baja MRAP mereka, dan segera mengambil posisi untuk melawan datangnya invasi. Hampir 200 orang lokal, beberapa memanggul senapan dan yang lain memegang bendera, berkumpul untuk melindungi kota mereka (mengepung segelintir orang yang datang untuk melambaikan tanda-tanda “Black Lives Matter”).
“Saya merasa defensif dan ingin melindungi rumah saya,” kata seorang pria, Timothy Robinette, kepada surat kabar lokal, The World. Seorang sheriff dari daerah terdekat, John Ward, memperingatkan warga dengan aplod di status publik Facebook-nya, bahwa anti-fasis dapat mengamuk ke daerahnya juga.
“Saya diberi tahu bahwa mereka mencari-cari pertengkaran,” kata dia. Ward menambahkan, dia tidak punya masalah dengan protes damai–protes Black Lives Matter yang digelar secara damai di Brookings, kota terdekat– tetapi dia mengisyaratkan bahwa warga mungkin ingin membantu polisi menangkis setiap serangan antifa.
“Tanpa bertanya,” katanya, “aku yakin kita juga punya banyak anak-anak muda setempat, siap dengan senjata yang akan melindungi warga kita.”
Tentu saja, tidak ada anarkis yang datang, mengamuk dan memporandakan Coquille. Para anarkis pun tak pernah muncul. Pertempuran Coquille berakhir tanpa awal.
Histeria serupa tentang invasi antifa telah meletus di seluruh negeri. Saya bertanya kepada follower saya di Facebook bagaimana warga yang sungguh-sungguh dapat menjadi korban dari kepanikan seperti itu, dan saya terpana dengan banyaknya yang melaporkan kecemasan serupa di kota mereka sendiri. Kepanikan yang terkadang justru menciptakan situasi berbahaya.
Di Forks, Washington, wilayah yang ‘sangat kulit putih’, sebuah keluarga ras campuran dari Spokane yang berkemah di daerah itu diasumsikan warga sebagai bagian dari protes antifa yang jadi rumors. Surat kabar lokal, The Peninsula Daily News, melaporkan bahwa penduduk setempat secara agresif mendatangi keluarga tersebut–seorang ibu, ayah, anak perempuan 16 tahun dan seorang nenek peot yang tak akan mungkin menyerang—dan menuduh mereka itu sebagai bagian dari antifa.
Kendaraan keluarga itu dibuntuti empat mobil berisikan relawan pertahanan kota yang sebagian bersenjata api; batang-batang pohon diletakkan melintang menghalangi jalan agar mereka tak bisa meninggalkan area perkemahan. (Empat orang siswa sekolah menengah yang memfungsikan otak mereka, datang menyelamatkan dengan memotong batang-batang kayu itu dengan gergaji mesin, sementara petugas sheriff akhirnya mengantar keluarga itu ke tempat yang aman.)
Teman-teman, ini gila. Ini adalah ukuran kebodohan. Bagaimana wacana publik yang menipu telah membuat segerombolan pria gagah perkasa, bersenjata api, tapi kerjanya tak lebih dari menakut-nakuti orang-orang lemah tak berdaya—termasuk nenek-nenek yang tengah kemping cari angin. Semua hanya karena karena warna kulit mereka. Lalu orang-orag gagah tapi pilon itu menganggap diri sebagai pahlawan pembela komunitas.
Semua keburukan ini akan bisa menjadi jendela kerusuhan yang akan mungkin meletus menjadi aksi actual, jika di musim dingin nanti Trump dikalahkan dalam pemilihan tetapi mengklaim bahwa dirinya dicurangi oleh imigran gelap yang ikut memilih secara ilegal.
Saya kadang-kadang menemukan histeria massal di negara lain. Di sebuah daerah terbelakang di Indonesia, saya pernah melaporkan adanya gerombolan yang memenggal kepala orang-orang yang dianggap penyihir, lalu membawa-bawa kepala para penyihir itu di ujung tombak. Tetapi saya tidak pernah membayangkan Amerika Serikat dapat mengalami delirium semacam itu.
Antifa, kependekan dari anti-fasis, tidak membunuh siapa pun. Dan tampaknya mereka hanyalah bagian sangat kecil yang hadir dalam protes “Black Lives Matter”. Tak satu pun dari mereka yang ditahan aparat federal karena tuduhan serius dalam kerusuhan itu terkait dengan antifa.
Meski demikian, gerakan ini memiliki status mistis dalam beberapa narasi sayap kanan, sementara Trump dan Fox News telah membesar-besarkan ancaman itu. (The Seattle Times menangkap Fox memalsukan foto untuk membesar-besarkan kerusuhan di Seattle.)
Para ekstremis pemancing sentiment ras juga mencoba memanipulasi ketakutan publik. Satu akun Twitter yang konon dijalankan oleh kelompok antifa, @Antifa_US, mengumumkan pada 31 Mei bahwa “malam ini malam … kami pindah ke daerah perumahan … tudung putih … dan kami mengambil apa yang menjadi milik kami.” Tetapi Twitter mengatakan bahwa akun itu sebenarnya dijalankan oleh supremasi kulit putih yang menyamar sebagai antifa.
Kepanikan antifa ini adalah tempat rasisme dan histeria bersilangan, di negara di mana jumlah senjata api lebih banyak dibanding manusia. Mereka muncul ketika seorang presiden yang berbohong mengambil setiap kesempatan untuk tidak menyembuhkan luka-luka nasional kita, tetapi untuk menyalakannya; ketika orang-orang hidup dalam ekosistem berita yang tidak memberikan pengecekan realitas tetapi mengobarkan prasangka dan menimbulkan ketakutan.
Anda mungkin berpikir bahwa histeria semacam ini akan mengoreksi diri sendiri: warga akan melihat bahwa tidak ada orang yang muncul dan kemudian menyadari bahwa mereka telah dimanipulasi oleh orang-orang yang memperlakukan mereka sebagai boneka. Tetapi narasi yang sebenarnya mendapatkan daya tarik di beberapa bagian, yakni keberadaan senjata-lah memaksa antifa untuk mundur.
NBC News, yang telah menerbitkan laporan yang sangat baik tentang histeria ini, mengutip seorang “pembela” bersenjata dari kota terpencil, Klamath Falls, Oregon. Dia ini mengatakan bahwa para pejuang antifa sedang dalam perjalanan “untuk membakar segalanya dan membunuh orang kulit putih.”
Setelah tidak ada yang muncul, seorang pemilik bar lokal mengatakan di Facebook bahwa ia bangga dengan jumlah “para pembela” bersenjata. Ia membual dengan mulutnya yang dipenuhi sejarah omong kosong bahwa para aktivis antifera telah diusir karena mereka “berjalan ke sarang lebah.” [The New York Times]
Nicholas Kristof adalah kolumnis “The Times” sejak 2001. Telah memenangkan dua Hadiah Pulitzer, untuk liputan di Tiongkok dan genosida di Darfur. Anda dapat mendaftar untuk menerima buletin email gratis dua kali seminggu dan mengikutinya di Instagram. Buku terbarunya adalah “Tightrope: Americans Reaching for Hope.” @NickKristof