Jerman Ungkap Kejahatan HAM Pemerintah Cina di Xinjiang
Jerman juga mencatat laporan penganiayaan, kekerasan seksual dan kasus kematian di kamp reedukasi milik Cina
BERLIN— Setelah sebelumnya dunia hanya menerima pesan-pesan tak resmi seputar kekejian serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, Cina, kini hal itu terbuka melalui sebuah dokumen rahasia yang lebih terverifikasi. Sebuah dokumen rahasia milik Kemenlu Jerman mencatat aneka jenis kejahatan kemanusiaan di kamp-kamp reedukasi Cina di Xinjiang.
Meski demikian, pemerintah di Berlin masih cenderung bersikap lunak terhadap Cina.
Dokumen milik Kementerian Luar Negeri Jerman yang bocor ke public itu antara lain mengatakan,” Situasi kemanusiaan di Xinjiang, Cina, semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir”. Catatan Berlin itu merangkum adanya ‘peningkatan signifikan’ aksi represif dan diskriminasi sistemik di Cina terhadap minoritas Muslim Uighur.
Meski demikian, pemerintah Jerman cenderung berhati-hati ketika mengangkat masalah pelanggaran kemanusiaan yang sangat serius itu kepada pemerintah Cina. Para analis berpendapat, terlalu besar kepentingan ekonomi Jerman yang dipertaruhkan dalam persoalan itu. Saat ini sederet perusahaan Jerman seperti Siemens, BASF atau Volkswagen, mengoperasikan pabrik mereka di Xinjiang.
Dokumen rahasia seputar pelanggaran HAM oleh Pemerintah Cina di Xinjiang itu dikumpulkan Kemenlu Jerman dari laporan lembaga-lembaga penjaga HAM, advokasi kemanusiaan, organisasi internasional dan kedutaan asing, hingga Desember 2019. Laporan tersebut nantinya akan digunakan Badan Federal Urusan Migrasi dan Pengungsi untuk menentukan permohonan suaka dari Cina.
Kekerasan seksual dan kematian
Menurut Kemenlu Jerman, saat ini ada lebih dari satu juta warga Uighur di Xinjiang dinyatakan menghilang di lembaga permasyarakatan atau kamp reedukasi yang dibangun pemerintah Cina sejak 2016. Kebanyakan dari mereka ditahan untuk waktu tidak terbatas, sebagian dipindahkan ke kamp kerja paksa, yang lain dipulangkan di bawah pengawasan otoritas lokal.
Laporan tersebut mengklaim motto “transformasi melalui pendidikan” yang digunakan pemerintah Cina pada realitanya berupa “ungkapan halus untuk program pelatihan ideologi yang ketat.” Jerman juga mencatat laporan penganiayaan, kekerasan seksual dan kasus kematian di kamp reedukasi milik Cina.
Warga Uighur yang memiliki keluarga di luar negeri juga diawasi secara ketat. Mereka yang secara rutin berkomunikasi dengan sanak saudara di pelarian, sering kemudian masuk ruang interogasi atau kamp tahanan.
Menurut laporan itu, pemerintah Cina antara lain menekan pemerintah Mesir, Kazakhstan, Malaysia, Pakistan dan Thailand untuk mendeportasi etnis Uighur kembali ke Cina. Tidak ada laporan lanjutan tentang “keberadaan” mereka yang diusir dari pelarian, catat Kemenlu Jerman.
Warga Cina yang dianggap termasuk kelompok “subversif” terancam menghilang ‘selamanya’ jika mereka dipulangkan ke Cina. Selain warga etnis Uighur, minoritas etnis dari Tibet juga mendapat perlakuan serupa.
Selama ini pemerintah Beijing berdalih bahwa pendekatan militeristik di Xinjiang diperlukan untuk memerangi geliat terorisme. Serangan teror terakhir terjadi pada 2014 silam, ketika sebuah bom meledak di Urumqi dan menewaskan 31 orang. Sejak saat itu Cina memperketat pengawasan terhadap etnis Uighur.
Dalam laporannya, Kemenlu Jerman mengakui adanya hubungan antara kelompok separatis bersenjata di Uighur dengan organisasi teror seperti Taliban di Afghanistan dan Alqaidah.
Namun dalam kebijakannya meredam aksi teror di Xinjiang, pemerintah Cina terkesan ingin menghukum semua warga etnis Uighur, termasuk upaya mengeliminasi identitas lokal dengan membatasi perkembangan bahasa, agama dan budaya warga Uighur. Selain itu mereka juga ditempatkan di bawah pengawasan elektronik.
Laporan itu mencatat pemerintah mencurigai semua warga beragama Islam mendukung atau ikut aktif menyebarkan pandangan ekstremis.
Sikap lunak Pemerintah Jerman
Bangsa Uighur mengidentifikasikan diri sebagai warga Turkistan Timur. Pakar etnologi mencatat kebanyakan warga Uighur merasa lebih dekat kepada kebudayaan Asia Tengah ketimbang Cina. Mereka menuntut kemerdekaan atau hak otonomi yang lebih luas bagi Xinjiang.
Tapi walaupun pemerintah Jerman mengetahui situasi kemanusiaan di Cina, pejabat negeri itu cenderung berdiam diri atau melunak di ruang publik. November 2019 lalu, Kanselir Angela Merkel mengakui pemerintah memang “harus mengritik” situasi di Xinjiang, tapi dia tidak membeberkannya secara detil.
Tahun lalu Menteri Luar Negeri Heiko Maas meminta Cina menaati perlindungan HAM dan mendesak Beijing “mengklarifikasi posisinya” terkait kamp tahanan bagi minoritas agama. Dalam wawancaranya dengan harian Süddeutasche Zeitung, Maas mengatakan “jika” ratusan ribu warga Uighur benar-benar “ditahan” di kamp-kamp reedukasi, “maka masyarakat internasional tidak bisa menutup mata,” ujarnya. [deutsche welle]