Veritas

Ketika Bashar al-Assad Harus Mewarisi Kekuasaan Sang Ayah

  • Kecelakaan lalu-lintas di Damaskus, yang membunuh Bassel, mengubah hidup Bashar al-Assad.
  • Ia dipanggil Hafez al-Assad, ayahnya, dari London dan dipersiapkan sebagai pemimpin Surian dalam enam tahun.
  • Bashar al-Assad mampu mempertahankan kekuasaannya tahun 2011, tapi tidak saat ini.

JERNIH — Entah apa yang dilakukan Bashar al-Assad di Rusia pada hari pertamanya sebagai penerima suaka. Mungkin ia merenungkan sesuatu, atau peristiwa yang membuatnya harus mewariskan kursi kepemimpinan Suriah setelah Hafez al-Assad, ayahnya, meninggal dunia tahun 2000.

Hafez al-Assad tidak pernah mempersiapkan Bashar sebagai pemimpin Suriah. Ketika Bashar melanjutkan sekolah di bidang optamologi di London, tempat dia bertemu seorang Muslimah Sunni yang menjadi istrinya, Hafez tak keberatan.

Namun segalanya berubah setelah insiden kecelakaan lalu-linta tahun 1994. Bassel, kakak Bashar yang dipersiapkan dan digembleng Hafez al-Assad untuk memimpin Suriah, tewas dalam kecelakaan itu.

Hafez al-Assad memanggil pulang Bashar dari London. Bashar pulang membawa Asma, Muslimah Sunni yang dinikahinya. Untuk semua itu, Asma harus meninggalkan pekerjaannya di JP Morgan.

Hanya ada sedikit waktu untuk menggembleng Bashar tentang politik. Terutama tentang posisinya sebagai pemimpin minoritas Alawites di tengah mayoritas Muslim Sunni di Suriah. Ia mengikuti kursus militer, juga di bawah bimbingan sang ayah.

Di tengah kesibukan itu, Hafez al-Assad meninggal. Bashar menjadi presiden lewat referendum. Ia maju tanpa lawan. Ia dilantik sebagai presiden Suriah pada usia 34 tahun.

Sebagai orang muda, Assad dianggap bisa membawa perubahan bagi warga Suriah yang mendambakan kebebasan. Bashar diharapkan melakukan reformasi, dan menghapus penindasan bertahun-tahun, plus liberalisasi ekonomi.

Secerdas Sang Ayah

Pada ahun pertama Bashar berkuasa, warga Suriah merasakan ada sesuatu yang berubah. Bashar mencitrakan diri sebagai pemimpin sederhana. Ia mengendari mobil yang membawa keluarganya. Ia melonggarkan beberapa pembatasan berat di masa ayahnya.

Sebagai gambaran singkat, Suriah di masa Hafez al-Assad adalah negara tertutup nyaris paranoid. Suara penentangan sekecil apa pun akan direspon dengan berat, yang membuat seseorang masuk penjara atau lebih buruk lagi.

Hafez al-Assad adalah ketua Partai Ba’ath — gerakan politik sosialisme Arab yang digagas Michael Aflak. Gerakan ini mengangankan Pan-Arabisme yang melepaskan diri dari pengaruh kolonial.

Alih-alih menyatukan Dunia Arab, Hafez al-Assad menggunakan ideologi Ba’athisme untuk membangun tirani minoritas. Ia penganut Alawites, yang populasinya hanya 11 persen di Suriah. Ia berusaha mengontrol 69 persen Muslim Sunni.

Bashar mewariskan gagasan itu. Ia mencitrakan diri sebagai pelindung kaum minoritas dari penindasan Islamis. Minoritas yang dimaksud adalah Alawites, bukan Druze atau pemeluk agama lain.

Itu terbukti ketika Druze dan pemeluk agama minoritas lainnya bersatu dalam gerakan penggulingan kekuaasan.

Bashar relatif pendiam. Namun, menurut wartawan yang mewawancarainya, Bashar seceredas ayahnya. Ia memiliki kemampuan mengagumkan untuk mempertahankan kekuasaan, meski pada akhirnya harus tumbang juga.

Maret 2011, ketika demontrasi damai pecah di sejumlah kota di Suriah, Bashar — sebagai panglima angkatan bersenjata — merespon dengan memerintahkan tindakan brutal terhadap pengunjuk rasa. Musim Semi Damakus, begitu orang menyebut aksi demo ini, berubah menjadi Perang Saudara Suriah.

Sebanyak 500 ribu orang tewas, dan penduduk anti-Bashar al-Assad mengungsi ke mana saja ke belahan dunia ini. Yang tak punya ongkos pergi jauh, bergerombol di Lebanon. Saat itu, hampir separuh penduduk Suriah melarikan diri atau menjadi pengungsi di perbatasan Turki.

Bashar tahu sangat tidak mungkin mengandalkan Alawites. Ia megundang Hizbullah, Iran, dan terakhir Rusia. Jet tempur Rusia mengabom habis-habisan posisi pemberontak. Bashar tidak menyebut Perang Saudara, tapi perang melawan teroris.

Kecuali Alawites, semua yang melawan pemerintahnya bukan saudara tapi teroris.

Bashar juga mewariskan kebiadaban sang ayah. Tahun 2013, misalnya, ia memerintahkan serangan bom kimia terhadap markas pemberontak di sekitar Damaskus. Korbannya bukan hanya pemberontak, tapi juga rakyat sipil.

Setelah Sekutu Pergi

Dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada kepentingan abadi. Bashar merasakan hal itu.

Setelah pemboman Israel terhadap Lebanon, Hizbullah kehilangan banyak pasukan dan merasa perlu menarik pasukannya dari Suriah. Bashar hanya bisa menyaksikan semua itu.

Iran menahan diri untuk mengirim pasukan, karena situasinya tak memungkinkan. Serangan kilat pemberontak, mengacaukan semua skenario perang Bashar untuk mempertahankan kekuasannya.

Rusia lebih suka menghabiskan sumber daya-nya di Ukraina. Moskwa tidak bisa lagi membantu Suriah dengan membom pemberontak.

Pada akhirnya, tirani minoritas itu sedemikian rapuh ketika ditinggal sekutu. Bashar ditakdirkan harus terguling. Bukan Bassel, sang kakak, yang dipersiapkan untuk memimpin tapi tewas di saat kekuasaan ayahnya berada di puncak kebrutalan.

Back to top button