PersonaVeritas

Mendadak MADAS, Solidaritas atau Premanisme?

Kasus pengusiran lansia, ancaman “melumpuhkan kota”, hingga aksi massa membuat nama MADAS mencuat tajam. Antara klaim persaudaraan dan tudingan premanisme, publik Surabaya menuntut kejelasan dan tanggung jawab.

WWW.JERNIH.CO –  Di tengah dinamika sosial Kota Surabaya yang kian kompleks dan heterogen, organisasi kemasyarakatan tumbuh sebagai ruang artikulasi kepentingan warga. Di antara banyaknya ormas yang hadir, nama MADAS belakangan menjadi salah satu yang paling sering disebut—bukan hanya karena basis massanya yang besar, tetapi juga karena kiprahnya yang kerap bersinggungan langsung dengan isu-isu publik.

 Namun, di balik popularitas tersebut, tak sedikit masyarakat yang masih bertanya-tanya: siapa sebenarnya MADAS, dan mengapa namanya tiba-tiba mencuat ke permukaan ruang publik?

MADAS merupakan akronim dari Manunggal Darah Surabaya, sebuah organisasi kemasyarakatan yang lahir dan berkembang di Kota Pahlawan. Secara kultural, MADAS kerap diasosiasikan dengan komunitas warga keturunan Madura yang telah lama menetap dan berakulturasi di Surabaya.

Ikatan emosional, nilai kekeluargaan, serta solidaritas yang kuat menjadi ciri khas komunitas ini. Meski demikian, secara organisasi MADAS menegaskan diri sebagai wadah terbuka bagi siapa pun yang memiliki visi sejalan dalam membangun kota dan mempererat silaturahmi lintas latar belakang.

Dalam pergerakannya, MADAS mengusung beberapa pilar utama. Persatuan—atau “manunggal”—menjadi fondasi utama agar anggotanya tetap solid dalam menghadapi tantangan sosial dan ekonomi perkotaan. Di samping itu, organisasi ini juga aktif dalam advokasi masyarakat, terutama pendampingan hukum bagi warga yang merasa hak-haknya terabaikan.

Pemberdayaan ekonomi melalui jaringan usaha dan UMKM turut menjadi perhatian, sementara di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), MADAS kerap mengklaim bersinergi dengan aparat TNI dan Polri demi menjaga kondusivitas wilayah Surabaya dan sekitarnya.

Secara struktural, MADAS dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat di tingkat akar rumput. Salah satu figur sentralnya adalah H. Berlian Ismail Marzuki, yang menjabat sebagai Ketua Umum. Di bawah kepemimpinannya, MADAS dikenal lebih terorganisir dan intens membangun komunikasi dengan pemerintah daerah, baik Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jawa Timur. Relasi ini menempatkan MADAS pada posisi strategis sebagai mitra sekaligus aktor sosial yang diperhitungkan.

Di luar aktivitas pengawalan dan keamanan, MADAS juga aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan. Bakti sosial seperti pembagian sembako, santunan anak yatim, serta respons terhadap bencana alam menjadi agenda rutin.

Organisasi ini juga kerap terlibat dalam pengamanan acara besar, baik keagamaan maupun budaya. Selain itu, dialog antar-etnis dengan ormas lain dilakukan untuk meredam potensi konflik horizontal dan menjaga semangat Bhinneka Tunggal Ika di tengah masyarakat multikultural Surabaya.

Identitas MADAS juga tampak kuat melalui simbolisme yang mereka gunakan. Seragam dengan logo khas menjadi penanda visual keberanian dan persatuan. Bagi anggotanya, bergabung dengan MADAS bukan sekadar menjadi bagian dari sebuah ormas, melainkan masuk ke dalam keluarga besar yang menjunjung tinggi harga diri, loyalitas, dan kehormatan bersama.

Namun, wajah MADAS di ruang publik tidak selalu dipersepsikan positif. Memasuki akhir tahun 2025, nama organisasi ini tiba-tiba mencuat dan menjadi perbincangan hangat akibat serangkaian peristiwa kontroversial.

Pemicunya adalah kasus pengusiran paksa seorang lansia berusia 80 tahun, Nenek Elina, di wilayah Sambikerep, Surabaya. Rumah sang nenek diratakan dengan alat berat pada Agustus 2025 oleh pihak yang mengklaim kepemilikan lahan, dengan dugaan keterlibatan oknum yang disebut-sebut sebagai anggota MADAS.

Kasus ini kembali viral pada penghujung Desember 2025 setelah video kondisi Nenek Elina menyebar luas dan memantik kemarahan publik. Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, bahkan turun langsung mengecam peristiwa tersebut dan mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat.

Gelombang kemarahan publik berujung pada aksi massa. Pada 26 Desember 2025, ratusan warga dan aktivis menggeruduk kantor MADAS di Jalan Marmoyo, Surabaya. Mereka menuntut keadilan bagi Nenek Elina dan memprotes praktik premanisme yang diduga berlindung di balik atribut ormas. Aksi ini sempat memanas ketika massa mencopot sejumlah atribut organisasi yang terpasang di gedung tersebut.

Sebelum kasus tersebut, MADAS juga sempat menjadi sorotan akibat pernyataan kontroversial dalam sebuah aksi unjuk rasa di depan Polda Jawa Timur. Seorang orator melontarkan ancaman akan “melumpuhkan Kota Surabaya” jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Pernyataan ini dianggap mengganggu stabilitas keamanan dan memperkuat persepsi negatif sebagian masyarakat terhadap ormas tersebut.

Situasi semakin rumit dengan munculnya kisruh identitas dan perpecahan internal. Beberapa kelompok menggunakan nama serupa—seperti MADAS Madura Asli atau MADAS Nusantara—sehingga menimbulkan kebingungan publik.

Pihak DPP MADAS pun mengklarifikasi bahwa tindakan-tindakan anarkis yang viral bukan dilakukan oleh organisasi resmi mereka, melainkan oleh oknum yang mencatut nama MADAS. Alih-alih meredam polemik, klarifikasi ini justru membuka mata publik terhadap dinamika internal dan kompleksitas tubuh organisasi tersebut.

Tak dapat dimungkiri, nama MADAS juga kerap dikaitkan dengan isu klasik “premanisme berkedok ormas”, mulai dari konflik lahan, jasa pengawalan, hingga pengelolaan parkir. Setiap gesekan sosial yang terjadi di lapangan, nama MADAS sering muncul dalam perbincangan, menjadikannya simbol yang kontroversial—antara kekuatan solidaritas komunitas dan bayang-bayang penyalahgunaan kekuasaan.

Pada akhirnya, MADAS merupakan cerminan paradoks organisasi kemasyarakatan di kota besar. Di satu sisi, ia berperan sebagai perekat sosial dan mitra potensial pemerintah dalam menjaga ketertiban serta membantu masyarakat. Di sisi lain, kontroversi yang melibatkan oknum-oknum tertentu menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan publik jika nilai-nilai kemanusiaan dan hukum diabaikan.

Masa depan MADAS—seperti halnya ormas lain—akan sangat ditentukan oleh kemampuannya membersihkan diri, menegakkan disiplin internal, dan membuktikan bahwa kekuatan massa dapat diarahkan untuk kepentingan bersama, bukan sebaliknya.(*)

BACA JUGA: Kalibata Membara dan Tragedi Sang Mata Elang

Back to top button